Wisaka memandang nanar orang yang baru datang. Dia yakin sekali bahwa itu adalah Pak Amir. Wisaka ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Pak Amir kepada Faruq.
Faruq kaget melihat kemunculan Pak Amir. Laki-laki tambun itu mengira yang bersuit tadi adalah Wisaka. Faruq memperhatikan orang di depannya itu. Dilihat dari gelagatnya dia tahu laki-laki di depannya itu tidak bermaksud baik. Tanpa melihat mukanya Faruq tahu kalau umur orang asing itu sudah tua.
"Orang tua, mengapa kau menghalangi jalanku, singkirkan tanganmu yang keriput itu!" seru Faruq.
"Hahaha ... hahaha, ini adalah hutan kekuasaanku, tidak ada yang terjadi di sini tanpa sepengetahuanku," ujarnya sambil bertolak pinggang.
'Maksudnya apa hutan kekuasaannya?" pikir Wisaka.
"Memang kau seorang raja hutan, he he he?" tanya Faruq. Rupanya pikiran Faruq sama dengan pikiran Wisaka.
"Kau orang asing, banyak ngoceh!" teriak Pak Amir marah.
"Eit ... eit, mengapa marah-marah kau orang tua, nanti tambah tua," ejek Faruq.
"Sialan kau, ngelunjak orang tua, hiaaat!" Pak Amir mengeluarkan jurusnya menyerang Faruq.
Wisaka heran mengapa Pak Amir yang dilihatnya kini seperti berubah. Dulu dia begitu bijaksana dalam segala hal, akan tetapi kini sikapnya seperti bukan dirinya. Wisaka tetap diam duduk di pohon, tidak menampakkan diri kepada Pak Amir.
"Kakang, kamu di mana? Tolonglah aku, Kang!" Teriakan Faruq menggema. Dia berharap Wisaka datang menolongnya.
"Panggil sekalian emak bapakmu, Jang," ejek Pak Amir.
Faruq tidak menjawab, dirinya sibuk menghindari serangan Pak Amir, memutar-mutar tongkat kaboanya. Angin menderu dari putaran tongkat, Wisaka heran dibuatnya. Rupanya Faruq punya simpanan kekuatan yang dahsyat.
Serangan dari Pak Amir dapat dimentahkan Faruq, muka Faruq sudah pucat karena baru pertama kali inilah dia bertarung. Selama ini dirinya selalu berdiri di belakang Wisaka.
"Sehebat apa kemampuanmu, Gendut? Ayo keluarkan, ha ha ha ha ha!" Pak Amir berseru mengejek kemampuan Faruq.
Mendidih amarah Faruq dihina orang yang tidak dikenalnya. Namun, Faruq masih berusaha menahan diri untuk tidak menyerang duluan. Pemuda itu menunggu Pak Amir melakukan serangan kembali. Faruq tidak menyangka akan mengalami kejadian seperti ini.
Entah apa yang memicu Pak Amir begitu marah, padahal mereka tidak mengganggu hutan, hanya sekedar lewat saja. Mata merah melotot di balik penutup wajah. Bersiap kembali untuk menggempur Faruq.
Faruq melihat ke sekeliling, dia berharap Wisaka datang menolongnya. Nihil, harapan tinggal harapan. Wisaka masih membiarkannya bertarung sendirian. Dalam hati Faruq yakin, Wisaka sedang melihatnya kini.
Pak Amir kembali menyerang Faruq, Faruq sedikit kewalahan. Pemuda itu bertahan dengan tongkatnya. Sekali waktu dirinya melompat dengan bertumpu pada tongkat itu. Tubuhnya yang tambun terpelanting ke arah Pak Amir.
Bruuuk.
Tendangan telak dari Faruq berhasil memukul dada Pak Amir. Orang tua itu terjengkang ke belakang.
"Wow," desis Wisaka sambil menutup mulutnya. Tidak disangka Faruq sekuat itu.
Pak Amir yang terduduk di tanah, menyeka mukanya hingga tak sadar penutup wajahnya terbuka. Tentu saja Wisaka semakin terkaget-kaget karena apa yang menjadi dugaannya benar. Wisaka shock melihat kenyataan ini.
"Kurang ajar!" teriak Pak Amir. "Bocah ingusan, berani-beraninya kau menyerangku!" serunya lagi.
"Heh, Pak Tua, dalam pertarungan kalau gak diserang ya menyerang! gitu aja tidak tahu, sudah berapa lama kau menjadi pendekar?" tanya Faruq sambil garuk-garuk kepala.
"Rasakan pembalasanku, Bocah!" hardik Pak Amir.
Tiba-tiba cuaca berubah mendung, angin kencang menerbangkan daun-daun kering. Pak Amir mendongak ke atas, tangannya terentang. Bulu-bulu kasar perlahan-lahan tumbuh di sekujur tubuhnya. Wisaka yang melihat kejadian itu sangat terkejut. Muka Pak Amir mengecil dan bersisik.
"Astaga, bukankah itu Iprit?" gumam Wisaka.
Begitu juga Faruq, kaget luar biasa melihat perubahan tubuh Pak Amir. Dia mundur dan waspada dengan memutar tongkatnya perlahan.
"Inikah penebar teror itu?" pikirnya Faruq. Dia teringat cerita Wisaka tentang kekejaman iblis keparat ini. Kini makhluk itu berdiri di hadapannya. Dirinya bisa apa? Faruq semakin pucat wajahnya.
"Bersiaplah kurobek lehermu itu, Anak Muda!" teriaknya. Lidahnya menjulur keluar masuk. Merah dan bercabang. "Aku haus," sambungnya sambil mendesis. Suaranya tidak begitu jelas.
Dug ... dug ... dug.
Langkah binatang itu.berat, bumi seperti bergetar. Wisaka masih mengawasi aksi selanjutnya. Binatang jelmaan Pak Amir mendekati Faruq. Entah mengapa Faruq diam terpaku, dia tidak berusaha untuk menghindari iblis itu. Matanya menatap kosong. Wisaka masih menunggu aksi berikutnya dari mahluk itu.
Perlahan-lahan wujud baru Pak Amir menyentuh pundak Faruq. Dia meraba leher itu, kemudian bersiap untuk menyedot darahnya. Lidahnya menjilati leher Faruq penuh nafsu.
Pletak.
Sebuah benda keras mengenai kepala berbentuk ular tersebut. Kepala iblis itu menoleh dengan cepat, matanya berkilat-kilat penuh kemarahan. Bola mata menyala semerah biji saga.
Mahluk jadi-jadian itu melepaskan mangsanya sejenak, ia mendesis-desis keras. Air liurnya yang berbau busuk berleleran seiring keluar masuk lidahnya.
Secepat kilat makhluk itu menuju tempat Faruq, setelah dirasa tidak ada orang datang. Kali ini ia tidak akan membiarkan mangsanya lolos, Faruq adalah santapan lezat pelepas dahaga.
Sesaat sebelum binatang itu sampai ke leher Faruq dan menghisap darahnya, Wisaka melompat dari tempat persembunyiannya.
"Hentikan, Pak Amir!" teriak Wisaka.
Wisaka melompat dan melemparkan serangan jurus Kabut Tameng Matahari. Makhluk itu terjengkang. Demi melihat siapa yang datang, mahluk itu mundur ketakutan.
"Mengapa kau mundur, Pak Amir? Ayo hadapi aku!" serunya.
Pak Amir bergeming. Matanya melotot tak percaya bertemu Wisaka di tengah hutan ini. Wisaka seperti tahu apa yang sedang Pak Amir pikirkan.
"Mengapa? Heran melihat aku di sini? Bukankah dulu kau yang menyuruhku untuk menemui Kyai Abdullah?" tanya Wisaka beruntun.
"Ssss ... ssss ... ssss," desis makhluk itu sambil menggeleng.
"Apakah kau sudah tidak bisa berbicara bahasa manusia?" tanya Wisaka.
"Ssss ... ssss ... ssss." Makhluk itu mendesis lagi.
"Berarti benar adanya kau makhluk jahanam itu, kau kirim aku ke tempat Kyai Abdullah, padahal kau bukan muridnya Kyai, biar kau bebas, benar begitu makhluk keparat?" tanya Wisaka lagi. "Tadi kamu bisa berbicara, jawab!" hardik Wisaka
Wisaka berang, dia ancang-ancang melancarkan serangan jurus Matahari Terbenam. Bumi berubah berwarna jingga, angin menderu, pucuk pohon-pohon berayun-ayun kencang. Perlahan-lahan tangan Wisaka berubah menjadi jingga.
"Sebelum kau binasa, jawab pertanyaanku! Mengapa kau mengaku sebagai murid Kyai Abdullah? Dan kau telah menuduh Awang sebagai biang kerok teror di kampung kita?"
Pertanyaan Wisaka begitu beruntun, makhluk itu berbalik, dan berubah kembali menjadi manusia. Secepatnya dia melesat pergi dari tempat tersebut. Pak Amir takut melihat kehadiran Wisaka, kini rahasianya terbongkar.
Wisaka menghantamkan serangannya. Sayang, Pak Amir terlanjur berlari menjauh. Namun, Wisaka masih mendengar teriakannya di kejauhan. Entah bagian badannya yang mana yang terkena hantaman Wisaka.
Pemuda itu cepat-cepat menghampiri Faruq. Wisaka membebaskan pemuda tambun itu dari pengaruh ilmu hipnotis Pak Amir.
"Sialan, orang tua sudah bau tanah itu, rupanya penebar teror di kampung," kata Wisaka geram, kemudian menepuk pundak Faruq hingga tersadar.