Badan Wisaka meluncur tidak dapat tertahan lagi.
Bruuuk.
Pemuda itu dimuntahkan oleh ular, Wisaka terpelanting di udara. Dia bersalto dan menjejak tanah lantai goa. Berdiri limbung dengan badan yang basah oleh lendir berwarna hijau. Sesaat dia berdiri sambil mengusap wajahnya. Secepatnya berlari keluar goa menuju kediaman Kyai Abdullah.
"Kakek ... Kakek, aku sudah dapatkan pusakanya!" Wisaka berteriak-teriak dari halaman pondok.
Kyai Abdullah, Faruq dan Onet keluar dari dalam pondok. Begitu melihat keadaan Wisaka, Faruq tertawa terpingkal-pingkal.
"Hahaha ... kamu dari mana, Kakang?" tanya Faruq.
"Diam kau!" hardik Wisaka.
"Upps." Faruq menutup mulutnya.
"Ini, Kek," kata Wisaka. Pemuda itu menyodorkan kotak berukir. Kyai Abdullah menerimanya, kemudian menyuruh Wisaka segera membersihkan diri.
Wisaka berlalu, kemudian kembali menghadap Kyai Abdullah setelah selesai mandi. Kyai Abdullah dan Wisaka mempelajari ilmu pedang. Pedang itu bernama Pedang Naga Api, kini menjadi milik Wisaka.
Pemuda gagah itu duduk di depan Kyai Abdullah bersiap menerima transfer tenaga dalam. Mula-mula terasa hangat, tetapi lama-kelamaan badannya mulai panas. Tulang-tulang terasa sakit. Baru kali ini Wisaka merasakan sakit disekujur tubuhnya.
"Tahan! Sebentar lagi selesai," ujar Kyai Abdullah. Seolah-olah tahu apa yang dipikirkan oleh Wisaka. "Sakit, Kek, sepertinya aku tidak kuat," keluh Wisaka.
Kyai Abdullah tidak memperdulikan Wisaka yang mengaduh kesakitan, kakek tua itu terus mentransfer ilmunya.
"Laki-laki itu harus kuat," ujarnya.
Sore hari Wisaka baru bisa beristirahat. Dia kembali seperti bermimpi melakukan perjalanan waktu ke alam lain. Sebelumnya Wisaka melihat Eyang Astamaya yang sedang mengejar Untari alias Dewi Kematian, tetapi tidak berhasil.
*****
Di belahan bumi lain, Wisaka melihat seseorang bercadar hitam sedang mengajari muridnya yang juga berpenutup muka. Seperti mengenal wanita itu, Wisaka memperhatikan baik-baik, menatapnya tanpa kedip.
"Bukankah wanita itu yang menghadangku kemarin? Menyebut-nyebut dendam segala, tetapi dendam apakah itu?" Wisaka membatin.
Mereka asyik berlatih, melompat ke sana-sini dengan lincah. Sesekali terdengar teriakan-teriakan mereka, terkadang seruan dan makian.
"Tahan, Sekar!" Dengan suara serak wanita bercadar mengayunkan pedangnya. Rupanya muridnya bernama Sekar.
Crash ... crash ... crash.
Ayunan pedang membabat Sekar, perempuan muda itu segera menghindar, kemudian balik menyerang. Sekar mengayunkan pedang di tangannya. Wisaka mengenali pedang yang bergagang kepala naga tersebut.
"Adakah terdapat luka di punggung tangannya?" desis Wisaka bertanya kepada dirinya sendiri.
Wisaka berusaha untuk melihat punggung tangan wanita yang berpenutup muka itu, di sela-sela kecepatan tangannya berlatih ilmu pedang, Wisaka tidak melihat luka tersebut.
"Terimalah ini, Eyang!" teriak wanita itu.
"Sudah aku bilang, pakai suara laki-laki!" hardik orang yang dipanggil Eyang.
Oh, Wisaka kini mengerti mengapa Sekar menyamar menjadi seorang laki-laki. Sesaat wanita yang bernama Sekar itu tertegun, kemudian tertawa renyah. Sambil mengayunkan pedang dia melompat dan menyerang.
"Hihihi, lupa, Eyang! Awas!" teriaknya.
Sabetannya dapat dihindari oleh gurunya, justru serangan baliknya lebih berbahaya. Eyang Guru melompat sambil menendang dada Sekar.
Brukkk.
Sekar terjengkang, terlempar mundur, kemudian terjerembab dan terlentang di tanah.
"Murid payah!" maki Eyang Untari. "Bangun, ingat! Kau punya dendam kepada si keparat Astamaya dan muridnya," sambungnya.
Sekar bangun, menepuk-nepuk celananya yang kotor. Dia berjalan gontai menuju ke hadapan gurunya, kemudian duduk di batu besar.
"Eyang, aku tidak tahu, siapa itu Astamaya apalagi muridnya?" tanya Sekar.
"Bodoh! Nanti aku kasih tahu ciri-cirinya," bentak Eyang Untari.
Wisaka melihat Sekar tertunduk. Mungkin dia bingung dengan dendam yang menjadi tanggung jawabnya kini. Walaupun sesungguhnya gadis itu tidak mengerti, dendam apa yang harus dibalaskan.
Kembali Wisaka melihat ke arah mereka, terlihat mereka bercakap-cakap. Wisaka memasang telinganya baik-baik. Akan tetapi dia tidak mendengar percakapan mereka kini.
"Aneh," desis Wisaka. "Tadi aku bisa mendengar semua percakapan mereka. Lalu, tangan Sekar, mengapa tidak terluka? Apakah kejadian ini sebelum Sekar bertemu dan bertarung denganku kemarin?" Walaupun ini seperti dalam mimpi, tetapi Wisaka ingat kejadian tempo hari.
Kepala Wisaka dipenuhi tanda tanya. Perjalanan-perjalanan waktu yang semakin sering terjadi akhir-akhir ini. Membuat dirinya semakin terseret ke dalam masalah, yang tidak seharusnya dia berada di situ.
Bagaimana harus membereskan ini semua, sedangkan masalahnya sendiri belum terselesaikan. Kampung yang sudah lama dia tinggalkan, menunggu penyelesaian tentang misteri kematian sahabatnya.
Wisaka melihat Dewi Kematian dan muridnya itu semakin kecil dan menjauhinya. Kini, dia seperti melihat adegan selanjutnya. Eyang Astamaya yang bertarung dengan naga penjaga kitab, akhirnya berhasil mendapatkan kitab pusaka itu.
****
Dengan sisa tenaganya akhirnya Eyang Astamaya itu, sampai di goa tempat tinggalnya. Galuh, sang rusa peliharaannya, menyambutnya di mulut goa. Saking lelahnya dia ambruk dan tertidur di sebuah batu besar.
Keesokan harinya, selain mempelajari isi kitabnya itu, dia juga menuliskannya di dinding goa. Dirinya yakin suatu saat akan datang orang yang ditakdirkan menjadi muridnya. Dalam kesepiannya Eyang Astamaya masih berharap bertemu dengan Untari suatu saat kelak.
Galuh menemani hari-harinya berlatih. Siang sampai senja hari, Eyang Astamaya akan berada di atas goa bermandikan cahaya matahari sore. Jurus matahari terbenam sempurna sudah kini.
"Hemm!"
Wisaka terusik dengan suara dehem seseorang. Rupanya Kyai Abdullah yang membangunkannya. Orang tua itu berdiri dengan jubah putih dan tasbih di tangan.
"Sudah saatnya kau pulang," kata Kyai Abdullah.
"Benarkah?" Mata Wisaka berbinar. "Apakah ilmuku sudah mumpuni, Kakek?" tanya Wisaka.
"Kakek kira cukup untuk bisa menumpas iblis keparat itu, berhati-hatilah dengan Amir, dia bisa memanfaatkan kemampuanmu," nasehat Kyai Abdullah.
"Sebenarnya siapakah Pak Amir itu, Kek?"
"Tugasmu untuk mencari tahu," jawab Kyai Abdullah penuh misteri.
"Faruq, apakah kau akan tinggal di sini atau ikut denganku?" tanya Wisaka kepada Faruq.
Sesaat Faruq seperti bimbang. Melihat ke arah Kyai Abdullah lalu ke arah Wisaka, bingung untuk memutuskan.
"Ikutlah bersama Wisaka," suruh Kyai Abdullah memutuskan. "Bantulah dia semampumu," sambungnya lagi.
"Baiklah, Kakek," kata Faruq sambil mengangguk.
Wisaka, Faruq dan Onet bersiap meninggal pondok Kyai Abdullah. Mungkin seminggu perjalanan akan sampai di kampung halaman Wisaka. Onet berteriak seolah-olah berpamitan.
Ek ek ek ek ek ... eaak eak eak.
Kyai Abdullah hanya tersenyum sambil melambaikan tangannya mendapatkan salam dari Onet. Setelah tidak kelihatan lagi punggung mereka, orang tua itu kembali memasuki pondok.
Kali ini dalam perjalanan pulang, Wisaka dan Faruq lebih banyak diam. Ingin sesegera mungkin mencapai tujuan. Banyak tanggungjawab yang kini diemban Wisaka. Mau tak mau semua harus dibereskan satu persatu.
Belum seharian mereka berjalan, dari kejauhan nampak dua orang berjalan beriringan. Wisaka memberi tanda kepada Faruq yang berjalan di belakangnya untuk berhenti.
"Ada apa, Kang?" tanya Faruq heran.
"Sstttt ... lihatlah," Wisaka berkata sambil meletakkan telunjuk di bibirnya.
Terlihat jauh di lereng bukit, makhluk berbulu tebal dan bermuka ular sedang berjalan menuju sebuah goa. Sepertinya habis berburu dan mengambil kayu bakar. Terlihat dari tentengannya seekor ayam hutan menggelepar.
"Ipritkah itu, Kang?" Faruq bertanya, kemudian cepat menutup mulutnya sambil matanya melotot.
Wisaka menggeleng.
"Kalau bukan Iprit yang kita cari, makhluk apakah itu?"