Unduh Aplikasi
79.16% IPRIT / Chapter 38: Bab 38. KAMPUNG SILUMAN

Bab 38: Bab 38. KAMPUNG SILUMAN

"Sepertinya, ini bukan hutan saat kita bertemu dengan orang asing yang minta ayam itu," kata Wisaka.

Faruq memandang sekeliling, dia juga heran dengan lingkungan sekitar. Mereka seperti berada di sebuah kampung. Tak jauh dari situ ada beberapa rumah penduduk diterangi lampu teplok. Sayup-sayup terdengar seperti ada suara keramaian di kejauhan.

"Apakah ini masih kampung yang tadi, ya? Itu terdengar suara ramai-ramai dari sebelah sana," tanya Faruq sambil menunjuk ke depan.

"Entahlah, kita tidak boleh gegabah lagi, ini bukannya sudah tengah malam, ya, kok orang-orang tidak tidur?" Jawaban Wisaka diakhiri pertanyaan dari rasa herannya.

Suara-suara itu semakin ramai, seperti orang yang bersukacita karena mendapatkan sesuatu. Wisaka dan Faruq tergoda juga hatinya untuk melihat, ada apa sesungguhnya? Mereka berjalan menghampiri suara ramai itu.

Diam-diam mereka mengintip dari celah pepohonan yang terlindung dari sinar bulan. Nampak oleh mereka penduduk sedang mengirik (menginjak-injak) padi agar terlepas dari tangkainya. Tua muda, laki-laki dan perempuan, semua bekerja sambil bercanda.

"Keluarlah, Anak Muda, mari bergabung bersama kami."

Suara itu mengagetkan Wisaka dan Faruq, mereka berdua kemudian menengadah. Terlihat ada orang tua di samping mereka tanpa tahu kapan munculnya. Tentu saja itu membuat hati Wisaka dan Faruq menciut ngeri.

"Ii--yy--yya, Pak," jawab Wisaka.

Faruq diam saja, dia melihat kaki pak tua itu, memastikan kalau dia menginjak tanah. Bertemu dengan berbagai macam hantu membuatnya trauma. Setiap yang bertemu dengan mereka adalah mahluk halus.

"Kakinya nginjek tanah," bisik Faruq.

Otomatis pandangan Wisaka juga mengarah ke kaki orang tua itu. Merasa diperhatikan orang tua itu tertawa, kelihatan giginya kecil-kecil dan berbentuk aneh. Cuma terdapat dua gigi atas dan dua gigi bawah yang tajam dan runcing. Mungkin karena sudah tua, jadi ompong tinggal empat.

Wisaka dan Faruq sudah lelah bertemu dengan berbagai macam siluman yang berada di hutan ini, para siluman itu benar-benar menghambat perjalanan mereka. Mungkin kali ini orang tua itu benar-benar penduduk kampung.

"Ayo, bergabung bersama kami, kami baru saja panen," kata Pak Tua. "Nama kalian siapa?"

"Ini Kakang Wisaka, aku Faruq dan ini Onet," kata Faruq menjelaskan.

Orang tua itu manggut-manggut, kemudian berjalan diikuti oleh Wisaka dan Faruq. Mereka yang merasa lelah bekas berlari dari pesta tadi merasa perlu beristirahat. Mungkin dengan menumpang kepada penduduk kampung, istirahat mereka akan nyaman dan aman.

Penduduk yang sedang mengirik padi memandang kedatangan mereka. Ada yang cuma tersenyum ada juga yang menyalami mereka. Di antara yang senyum-senyum itu sepertinya seorang gadis, masih muda dan cantik.

Faruq memamerkan senyumnya yang paling manis. Seperti terbang rasanya melihat ada gadis yang tertarik kepadanya. Pandangannya terus tertuju kepada gadis itu.

"Dia janda, suaminya meninggal saat bekerja, belum lama ini, kamu bisa menikah dengannya kalau mau," tawar Pak Tua kepada Faruq.

"Ehh ... enggak ... enggak," kata Faruq gugup. Mukanya merah karena malu digodain Pak Tua.

"Kamu itu ya, jelalatan," tegur Wisaka.

"Enggak, Kang, enggak," ujar Faruq sambil memalingkan wajahnya dari perempuan tadi.

Malam itu Wisaka dan Faruq dijamu makan oleh Pak Tua yang ternyata bernama Pak Min, ketua kampung. Onet juga dikasih buah pisang yang besar, karena kecapekan mereka tertidur pulas sampai hari sudah sangat siang.

"Ini di mana?" Wisaka bertanya kepada dirinya sendiri. Dia melihat kiri-kanan, hanya terlihat Faruq yang masih ngorok. "Bangun, Faruq!"

Faruq menggeliatkan tubuhnya yang terasa capek luar biasa. Pemuda itu melihat di amben banyak makanan, tentu saja dia senang. Mereka pun makan hidangan itu.

Wisaka merasa aneh mengapa kampung ini terasa sepi sekali. Keriuhan tadi malam tidak ada sisanya sama sekali. Pak Min juga tidak terlihat lagi. Wisaka coba mengintip dari lubang bilik. Di luar sepi tidak nampak orang seorang pun.

"Mengapa tidak ada orang di luar?" tanya Wisaka.

"Masa sih," ujar Faruq tak percaya. Dia ikut mengintip ke luar. " Iya, kok sepi." Faruq terheran-heran.

Wisaka dan Faruq akhirnya keluar dari pondok tempat mereka menginap. Berjalan-jalan keliling kampung, tetapi aneh, tidak ada seorang pun yang mereka temui. Rumah-rumah kosong tidak ada penghuninya. Hanya beberapa ekor tikus yang kadang-kadang mengagetkan mereka.

"Pak Min!" teriak Wisaka riang. Dia melihat orang tua itu duduk di depan rumah yang paling besar di antara pondok-pondok sekelilingnya.

Pak Min tersenyum sambil melambaikan tangannya. Wisaka, Faruq dan Onet duduk di dekatnya. Mereka gembira bisa menemui Pak Min.

"Mengapa tidak ada orang di sini, Pak?" tanya Faruq tak sabar. Dirinya heran dengan kampung yang begitu sepi.

"Hehe hehe ... mereka terlalu lelah bekerja di malam hari, sehingga di siang hari mereka tidur," jawab Pak Min sambil terkekeh.

"Lho, kok terbalik, harusnya kan mereka bekerja di siang hari, tidur di malam hari?" Wisaka ikut bertanya.

"Kalau di sini, ya seperti ini," jawab Pak Min.

"Oh iya, Pak, aku mau pamitan, mau melanjutkan perjalanan kembali," kata Wisaka minta diri.

"Tunggulah semalam lagi, besok baru kau pergi," kata Pak Min mencoba menahan Wisaka.

"Iya, Kang, aku masih capek nih bekas berlari semalam," kata Faruq sambil memijit-mijit kakinya. Padahal dalam hatinya dia masih ingin melihat perempuan yang semalam.

"Ya sudah, besok kita lanjutkan perjalanan," kata Wisaka akhirnya mengalah.

Mereka kemudian mengobrol sampai senja menjelang. Wisaka dan Faruq pun pulang ke pondok yang diperuntukkan bagi mereka. Setelah hari gelap kembali terdengar keriuhan dari penduduk setempat. Mereka semuanya keluar, pria maupun wanita. Semuanya membawa alat untuk keperluan panen, seperti arit dan karung.

Wisaka dan Faruq mengintip dari balik bilik yang bolong. mereka memperhatikan gerak-gerik penduduk itu. Penduduk itu bersiap-siap akan pergi.

"Apa yang mereka lakukan?" tanya Wisaka sambil berbisik.

"Entahlah," jawab Faruq.

Mereka melihat penduduk itu semuanya berdiri melingkar dan berpegangan tangan. Pak Min selaku ketua kampung memberi wejangan.

"Jangan melepaskan pegangan tangan kalau belum sampai, saat tiba waktunya pulang semua jangan ada yang ketinggalan!" serunya.

"Baik, Pak." Serentak semua menjawab.

Setelah semua berpegangan tangan, perlahan-lahan tubuh mereka terangkat, kemudian terbang dengan cepat, entah menuju ke mana. Faruq gemetar, ketakutan melihatnya.

"Mereka bukan manusia, Kang," kata Faruq pelan sekali.

"Iya," jawab Wisaka. "Setidaknya mereka tidak mengganggu kita," sambungnya lagi.

Kampung sunyi kembali, sangat senyap karena ditinggal oleh penghuninya. Wisaka merebahkan badannya di amben yang tersedia, memikirkan bagaimana caranya dia kembali menemukan jalan yang benar. Namun, pikirannya tidak dapat menemukan solusi, akhirnya Wisaka tertidur.

"Kita dapat banyak panennya!"

"Karung itu punyaku!"

"Ini ambillah."

Suara gaduh membangunkan Wisaka. Dengan segera pemuda itu menuju bilik yang bolong, kembali mengintip. Terlihat olehnya penduduk sudah kembali dengan membawa berkarung-karung padi. Tentu saja Wisaka heran, cepat sekali mereka memanen sawahnya, banyak pula hasilnya.

"Siapa sebenarnya mereka?"


Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C38
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk