Meskipun tinggal di pedalaman yang jauh dari keramaian kota, jauh dari kemewahan dunia serta hidup dalam keterbatasan baik pandangan mata akan dunia luar beserta wawasannya, namun Perkembangan jalan pikiranku dipenuhi dengan wawasan yang aku dapatkan dari buku-buku yang seringkali dibawakan dari kota setiap kali Uma pulang dari berdagang. Sebagian hasil yang dia dapatkan akan dibelikannya buku sebagai oleh-oleh yang diberikan untukku meskipun aku dapatkan setiap 2 bulan sekali ketika tabungan hasil berjualan cukup untuk membelinya. 2 bulan sekali semenjak aku bisa membaca di umur 5 tahun hingga kini menginjak remaja menuju dewasa, cukup banyak buku-buku yang aku baca dari sejarah dunia hingga buku-buku fiksi (istilah cerita khayalan yang aku pahami dari buku yang aku baca pula). Meskipun aku menyukai kisah nyata, ilmu dan teori-teori alam juga teori-teori sosial yang sudah kulahap habis, namun aku lebih menyukai cerita-cerita fiksi terutama tentang dunia sihir. Akhir-akhir ini aku mendapatkan buku-buku fiksi tentang cerita manusia yang memiliki kekuatan di mana dalam cerita tersebut sering disebut sebagai manusia mutan. Yahh.. cerita-cerita dari negeri barat pastinya tidak lepas dari teori-teori ilmu alam yang seringkali diajarkan di sekolah-sekolah seperti istilah genetik, fisika, biologi dan masih banyak lagi. Namun seringkali buku-buku yang berasal dari barat ini melupakan filsafat kuno di mana merupakan akar dari segala ilmu yang mereka pelajari itu.
Aku lahir di pedalaman kepulauan Buton dan merupakan bagian dari Suku Buton yang sebagian warganya memiliki mata berwarna biru, namun ada juga yang berwarna hitam. Menurut teori ilmiah, mata biru tersebut disebabkan oleh kelainan genetik langka yang disebut Waardenburg Syndrome. Namun sedikit yang tahu bahwa kelainan genetik itu juga merupakan keistimewaan bagi Suku Buton yang berada di luar nalar manusia. Yang bisa dipastikan dan telah banyak diketahui orang adalah orang-orang yang dianugerahi mata biru memiliki kemampuan melihat di gelap malam seterang siang benderang namun kesulitan melihat di siang hari. Hal ini tentu tidak berlaku bagi orang yang memiliki mata warna hitam yang juga dimiliki sebagian orang suku Buton.
Aku memiliki mata dengan warna yang berbeda dari seluruh warga suku Buton. Sebelah kiri mataku berwarna abu-abu dan sebelah kanan berwarna biru. Sudah menjadi sifat dasar manusia yang sulit menerima segala hal yang berbeda dari diri mereka maupun yang berbeda dari kelompok, untuk itu keluargaku dikucilkan oleh adat warga desa di salah satu desa yang ada di Kecamatan Wolowa. Mereka menganggap kami sebagai keturunan Lamandigara yang merupakan sepupu La Ompu Lamandigala suami dari Wa ompu Waulangi. Dikisahkan, kala itu sebelum kampung atau desa terbentuk, selalu ada acara menari. Suatu saat, ketika acara menari berlangsung, tiba-tiba muncul dari arah laut seorang pria (Lamandigala) bertangan pendek ikut menari pada acara itu. Tiba-tiba Lamandigala mengajak kawin lari Ompu Wa Waulangi, tapi Wa Ompu bilang;
"Kita lari pakai apa?"
"Kita lari pakai perahu."
"Saya tidak bisa bernapas nanti."
"Kamu pakai sarung buaya, kamu pasti bisa bernapas di laut."
Lalu nenek langsung dibawa lari ke Ganda (Gendang) di Kali Tondo (Sarang buaya saat ini). Setelah enam hari menghilang karena dibawa lari Lamandigala, tiba-tiba Waulangi muncul dan memberitahukan kepada orang tuanya yang juga berkebun di sekitaran Ganda bahwa dirinya tidak usah dicari lagi karena sudah hidup bahagia bersama Lamandigala. Menurut kepercayaan Wa Ompu Waulangi hingga kini masih hidup dan tinggal di Ganda. sepupu Lamandigala adalah orang yang sangat membenci hubungan silang antara buaya dan manusia ini dan dengan berbagai cara yang jahat berusaha memisahkan mereka.
Awalnya, saat masih anak-anak, aku sering merasa tersiksa batin karena diperlakukan berbeda di desa kami terutama saat pertama kali masuk bangku sekolah yang membuat aku harus duduk di meja sendiri karena tidak ada yang mau satu meja denganku. Namun, semakin bertambah hari dan semakin aku menginjak dewasa, ditambah lagi pengalaman dan pengetahuan yang aku dapat dari buku-buku yang aku baca, aku merasa tuduhan mereka sungguh konyol dan ketinggalan jaman.
Semua tuduhan mereka dan cara berpikirku yang menyalahkan serta mengecilkan makna adat itu terjawab sudah ketika aku berumur 15 tahun dan memasuki transisi menuju dewasa, ada satu upacara yang harus dilakukan oleh keluargaku bersama seluruh pemangku adat dan warga desa. Tentu saja upacara yang meriah namun penuh magis dan menakutkan bagiku.
Di rumah banyak kesibukan dari warga sekitar yang memasak untuk sesajen maupun untuk acara makan bersama saat upacara nanti. upacara dinamakan penyucian yang di Peruntukan seorang anak perempuan yang sedang bertransisi menuju dewasa. Biasanya puncak acara ini adalah dimandikan di sungai sebagai bentuk rasa syukur kepada WA Ompu Waulangi dan La Ompu Lamandigala atas kemurahan hati menganugerahi gadis-gadis suci di desa mereka. Menurut kepercayaan adat, saat upacara pensucian di sungai, seluruh buaya akan ada di sana turut menyaksikan dan menjaga sungai tetap tenang. Namun, selama ini tidak ada satupun orang yang pernah melihat buaya itu saat upacara seperti ini.
"Sudah siap Welia? segeralah keluar! Arak-arakan sudah siap menuju sungai!"
"Sebentar Ina, tinggal mengaitkan ujung kain biar tidak lepas" jawabku kepada Ina panggilan Ibu untuk suku Buton.
Aku agak kesulitan membuat simpul ujung atas kain putih yang cukup panjang dan lebar yang biasa untuk ritual penyucian di sungai. Kain putih ini hanya dililitkan dari mata tumit hingga menutup dada. Aku hanya ingin memastikan bahwa kain ini terlilit kencang ditubuhku dan tidak ada kemungkinan untuk melorot lepas. Setelah semua terasa beres, aku berjalan keluar dari kamar dan menempatkan diri di barisan paling depan di belakang Ina dan Uma, dan tidak lama kemudian barisan arak-arakan berjalan menuju Kali Tondo.
Aku sering melihat upacara pembaptisan gadis-gadis Wolowa yang dimandikan di Kali Tondo dengan beragam sesaji yang dipersembahkan. Menurut kepercayan, upacara pembaptisan tersebut tidak hanya disaksikan oleh warga setempat namun juga seluruh warga Buaya di Kali Tondo sebagai ikatan persaudaraan antara manusia dengan buaya yang merupakan bentuk penghormatan terhadap La Ompu Lamandigala dan Wa Ompu Waulangi. Namun tidak pernah ada seorangpun yang benar-benar pernah melihat para buaya itu hadir karena menurut mereka kehadiran buaya tersebut dilakukan secara magis.
Tiba di tepi Kali Tondo, sesajen-sesajen diturunkan, ditata berjajar dengan rapi dikelilingi dupa dengan asap memutih terbang bergabung dengan udara malam. obor-obor penerang ditancapkan di beberapa sudut yang memungkinkan penyebaran cahaya bisa cukup menerangi lokasi pembaptisan dengan baik. Seseorang memberikan keranjang berisi 9 ragam bunga kepada Ina dan kemudian menyebarkannya ke sungai yang tidak lama hampir sebagian besar airnya penuh tertutup bunga tersebut. Setelah itu Ina dan Uma menuntunku masuk ke dalam air dan mendudukanku bersila di atas pusarannya yang dangkal. Tiga tetua meletakan telapak tangannya di atas kepalaku sambil berucap doa-doa secara bergantian, kadang bersamaan yang suaranya mirip dengan dengung lebah. Setelah berjalan beberapa menit, doa-doapun usai dan para tetua secara bergantian mengayunkan gayung dan menuangkan air bunga yang diambil dari sungai ke atas kepalaku. setiap tetua melakukannya beberapa kali dengan jumlah ganjil sebelum kemudian gayung tersebut berpindah ke tangan Uma yang juga menyiram kepala dan tubuhku beberapa kali sambil menggumamkan doa-doa indah. Kali ini aku ingat kalau Uma menyiramkan gayung air ke kepalaku sebanyak 9 kali seperti ingatanku dengan kalimat-kalimat doanya yang mengharap kebahagiaan dan keajaiban melingkupi hidupku. setelah gayung terakhir, lalu diserahkannya kepada Ina untuk bergilir memandikanku bersama dengan doanya.
Kulihat mata Ina memerah, dadanya dengan cepat naik turun menahan isak tangis harunya agar tidak pecah. Jemarinya gemetar memegang gayung untuk diayunkan ke sungai mengambil air yang mulai mewangi oleh aroma bunga. Ketika kepala gayung sudah mulai masuk ke dalam air dan hendak diangkat, tiba-tiba sungai mulai dipenuhi buih-buih putih seperti air yang sedang mendidih menandakan ada banyak udara disemburkan dari arah kedalaman sungai. Tidak menunggu lebih lama lagi, bahkan sebelum gayung diangkat keluar dari dalam air, terdengar jeritan para warga yang turut menyaksikan acara pembaptisan.
"Ada buaya...!!!! ada buaya...!!! lari...!!! lari..!!!!!" mengikuti jeritan-jeritan yang saling bersahutan, kumpulan itupun bubar dengan pemandangan orang-orang yang lari tunggang langgang menjauhi sungai. Sebuah tangan kokoh menarikku naik ke atas tanah dan terus menarikku lari menjauhi sungai yang kuketahui kemudian bahwa tangan itu adalah milik Uma. Aku tidak tahu bagaimana tiga tetua dan Ina menyelamatkan diri, tapi yang aku tahu tidak ada korban yang dicaplok buaya. Menurut cerita simpang siur yang kemudian ramai memenuhi desa, buaya-buaya sebanyak puluhan tersebut hanya berputar-putar mengelilingi sungai tempat kami melaksanakan upacara. Awalnya cerita-cerita itu memberikan kesan cerita yang menajubkan dengan pemandangan kejadian yang baru dan tidak masuk akal, namun semakin hari ada hawa kekuatiran, kecurigaan yang berlebihan yang merupakan titik mula dari kebencian yang didengungkan kepada hingga penghakiman yang diberikan kepadaku sebagai "yang terkutuk".
Sebelum segalanya menjadi lebih runyam dan membahayakanku, pada gelap dan dingin kabut dinihari, Uma membangunkanku menyeretku tergesa dengan satu tas yang entah berisi apa berjalan menjauhi Walowa. Sejak itu hingga hari ini aku terus berlari, berpindah dari satu pulau ke pulau lain, dari satu kota ke kota lain, dan saat ini aku telah terdampar di pulau Bali, pulau yang menampungku cukup lama karena di Bali ini aku lebih mendapat ketenangan dari pada di pulau atau kota lain.