Hadirnya malam bukan berarti segalanya tentang kegelapan. Masih ada bulan yang sedikit memberi harapan, serta taburan bintang yang memberi keindahan. Waktu ini, di bulan Agustus malam merupakan keindahan tanpa hujan serta udara dingin memeluk dinding bumi di belahan Asia Tenggara. Aku suka musim kemarau saat dingin malam menghadirkan segala imajinasinya yang berbeda jika berada di musim hujan. Pada musim penghujan hanya ketika air telah menderas kesejukan bahkan hawa dingin baru menyengat hadir bersama rendevu, angan serta segala romantikanya. Namun, sebelum hujan turun hawa lembab membuat tubuh gerah tidak nyaman.
Sudah 3 bulan aku menapaki hari demi hari bersama harapan akan lahirnya anak kedua kami.
"Ini anakmu." Ucap Rengganis kepadaku demi mengetahui kehamilannya setelah dia bilang bahwa dia datang bulan di sebulan sebelumnya.
Sudah lama aku menginginkan adik untuk anak pertama kami jauh sebelum segala yang terjadi antara Rengganis dan Ken. Namun, Rengganis selalu menolaknya dengan alasan yang di luar akal manusia namun mengandung kebenaran.
"Dunia sudah dipenuhi ras manusia dengan segala permasalahannya. Jika setiap pasangan memiliki anak melebihi keberadaan mereka sendiri, bayangkan betapa penuhnya bumi dengan manusia dan keseimbangan akan rusak."
"Tapi, alam punya caranya untuk menyeimbangkan dirinya sendiri." Sanggahku.
"Memang, hanya saja anak manusia itu sendiri yang akan menderita paling banyak. Sebelum alam memulai membersihkan dirinya, anak manusia sudah saling berperang memperebutkan lahan untuk kelangsungan hidup. Kepadatan akan menimbulkan masalah yang kompleks baik dari segi pangan hingga sosial dan akan mengakibatkan masalah lebih jauh lagi yakni politik, perang saudara hingga perang antar bangsa." Rengganis berhenti sejenak sebelum meneruskan kemudian.
"Sebagai contohnya saja, Jepang di masa lampau pernah mengalami kepadatan penduduk yang tidak terkendali membuat rakyat miskin dan membentuk kekuatan arus bawah hingga membuat negeri mereka goyah."
Nah kan, sungguh benar segala hal yang menjadi alasannya. Namun terkadang ada unsur berlebihan juga sih, seperti hanya ingin memiliki satu anak saja, padahal jika memiliki satu lagi secara matematis masih memenuhi unsur seimbang.
Keinginan kuat untuk memberikan adik untuk anak pertama kami merupakan keputusannya yang cukup aneh. Kalau sebelum ini ingin memiliki anak dari ken, aku masih bisa memahami tentang maksud tujuannya akan ambisinya mewujudkan gen-gen yang dia inginkan. Tapi ini kan anak dariku lagi?! Sungguh, perempuan ini selalu semaunya saja dan itulah yang membuatnya menarik.
Aku ingat malam itu, saat dia berteriak marah demi melihat dirinya datang bulan setelah satu bulan sempat berhenti. Tentu saja kejadian itu menegaskan bahwa dia tidak sedang hamil anak Ken, dan itu membuatnya marah. Kemarahan itu tentu dilampiaskan kepadaku, dia bilang aku sengaja tidak perhatian lah, aku terlalu keji karena tidak iklas menerima anak Ken sehingga alam menghukumnya dan masih banyak lagi bentuk kekesalannya itu dilampiaskan padaku. Tentu aku hanya diam saja, karena, yahhh... tentu saja ada kelegaan ketika tahu bahwa Rengganis tidak jadi mengandung anak Ken. Namun, entah mengapa ada sisi lain diriku yang juga turut menyesal karena mungkin ada rasa penasaran juga jika seandainya Rengganis benar-benar mengandung anak Ken, apa yang akan terjadi nanti dan seperti apa anak Ken tersebut. Gila! Aku sudah mulai ketularan dengan cara berpikir Rengganis.
Malam di bulan Agustus ini sungguh indah. Kembali aku memandang ke langit dari jendela ruang kerjaku dan berkali-kali mengagumi cerahnya. Kubuka Handphone dan berselancar ke dunia medsos. Kususuri beranda satu persatu, kemudian berhenti terpaku kepada sebuah foto pada sebuah acara pernikahan. Pemilik foto tersebut sebuah Akun yang bernama Sevana. Oh ya, aku ingat bahwa Sevana adalah pacar dari Ken yang pernah sedikit diceritakan kepadaku oleh Rengganis. Kubuka foto itu dengan mode zoom agar jelas orang yang ada di dalamnya. Tidak salah lagi, di situ ada foto seorang lelaki yang aku kenal berpakaian layaknya seorang pengantin bersama perempuan yang juga berdandan layaknya pengantin. Hmmm, rupanya Ken sudah menikah. Apakah Rengganis tahu tentang ini?! Akankah aku menanyakannya nanti?!
Ada kelegaan dalam hatiku, sekaligus sebuah tanya ada apa dengan Ken dan Rengganis? Apakah mereka benar-benar sudah memutuskan untuk saling meninggalkan? Selama ini, Rengganis sendiri tidak pernah membahas bagaimana kelanjutan hubungan mereka. Kutepuk jidatku sendiri. Sungguh aneh aku ini jika mengharap Rengganis terlalu banyak membahas kekasih lainnya denganku sementara aku ini suaminya. Ada apa denganku ini, seakan aku turut menikmati percintaan istriku dengan orang lain. Tanpa sadar aku tertawa sendiri, kutahan hingga tidak tergelak yang akan bisa membangunkan Rengganis yang sudah tidur dengan anak lelakiku. Semenjak hamil dia selalu mengatur segala hal dalam hidupnya, pola makannya juga berusaha istirahat dengan cukup. Kuakui dia seorang ibu yang baik bagi anak-anaknya.
Kembali kutamatkan melihat foto pernikahan Ken. Ada beberapa foto itu dan ketika benar aku tamat melihatnya, baru kusadari mimik wajah Ken. Tidak ada satupun senyum kebahagiaan di wajahnya. Dari sini aku paham artinya. Padahal jika kulihat secara fisik Sevana istrinya adalah perempuan yang cukup cantik. Tapi seperti itulah cinta, seringkali tidak bisa dipahami sebab juga akibatnya, tidak bisa dipahami geraknya, tidak bisa dipahami secara logika. Seperti cintaku sendiri yang tidak pernah habis-habisnya meski perempuan yang kucintai tidur dengan orang lain.
Kubuka messenger dan kucari nama Sevana, kemudian kutuliskan ucapan selamat menempuh hidup baru padanya. Namun, ketika pesan itu telah kukirim mengapa aku merasa itu adalah hal aneh ketika tiba-tiba mengirim ucapan Selamat kepadanya sementara aku mengenal saja tidak, kontak juga tidak pernah. Ini seperti menampakan bahwa kebahagiaan itu sebenarnya untuk diriku sendiri. Ah sudahlah, jika memang begitu kebenarannya, wajar saja kukira meskipun itu akan menunjukan perasaanku secara gamblang.
0o0
Sore seperti biasa, aku dan Rengganis akan duduk di meja makan untuk mengobrol menghabiskan senja dengan sebatang rokok dan kopi. Tentu saja akhir-akhir ini ada yang beda karena Rengganis hamil maka tidak ada rokok dan kopi digantikan dengan teh. Aku mengikuti kebiasaanya yang baru karena juga ingin memiliki anak yang sehat.
"Ken sudah menikah." Entah mengapa aku tidak tahan untuk membahasa pernikahan Ken. Hanya untuk menguji apakah Rengganis tahu tentang ini atau tidak, atau hanya ingin turut menegaskan bahwa aku bahagia karena secara ototmatis rengganis telah kembali kepadaku sepenuhnya.
"Oh ya? Kapan? Bagaimana kamu tahu tentang itu?!" Dari ekspresinya yang tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut, Rengganis benar-benar tidak tahu menahu soal itu.
"Aku tidak tahu kapan, tapi aku melihat foto-foto mereka di media sosialnya Sevana."
"Oh, kamu berteman dengan Sevana, ya?'
"Dia yang meminta pertemanan denganku."
"Aku tahu, semua yang berhubungan dengan Ken akan dia ikuti."
"Kok kamu tidak tahu?" Aku balik bertanya.
"Sudah kubatalkan pertemanan dengannya di Media Sosial. Dari pada dia terus mencemburuiku."
Begitulah Rengganis, tanpa basa basi dia akan segera membuang segala hal yang sekiranya akan memberi masalah.
"Setidaknya Ken akan pamit padamu, kan?" Pertanyaan yang kusadari cukup aneh, bahkan obrolan ini saja sudah tidak wajar.
"Aku sudah lama mengakhiri hubunganku dengannya. Tidak lama setelah pertemuan terakhir itu."
"Senang ya?!" Lanjutnya, menohok.
"Hahh?!" Itu saja yang mampu keluar dari mulutku.
"Aku juga mencintaimu Bantar, jadi itu yang jadi alasan mengapa aku melepasnya dan kupikir juga akan memiliki anaknya. Meskipun ternyata gagal." Jika kuteruskan pembicaraan ini, pada akhirnya hanya akan terjadi perdebatan panjang. Kuputuskan mengakhiri obrolan itu dan aku segera naik ke atas.
Hari-hari berikutnya, kami berusaha melupakan apa yang sudah ada di belakang, menatap ke depan terutama untuk terus fokus kepada calon anak kedua kami. Untuk itu, banyak yang kami melakukan, salah satunya merenovasi rumah dengan menambah satu ruangan karena akan bertambah satu penghuni. Hampir tidak pernah lagi membahas tentang Ken maupun Sevana, dan itu juga karena Ken sendiri seperti menghilang bak ditelan bumi. Tidak terlihat lagi dia ada di media sosial apapun, semua kosong dia tinggalkan. Terakhir melihat kabarnya ya sewaktu pernikahan itu. Aku bisa merasakan sepertinya Ken memang secara tidak langsung sedang berjalan dalam kehancuran jiwanya, meskipun raganya sedang dimiliki dan seakan mencintai perempuan lain.
Kehamilan Rengganis sudah berumur kurang lebih 9 bulan, sebentar lagi tentu akan melahirkan. Kehamilannya kali ini berbeda dengan kehamilan pertama dulu, perutnya jauh lebih besar namun badannya agak mengecil. Setiap kali Rengganis berjalan atau bergerak kemana, aku seperti tidak tega melihat perutnya yang sangat besar itu. Tapi, ya begitulah Rengganis, dia memang ibu yang baik. Jika sudah menyangkuut anak, dia tidak pernah main-main apalagi bermalas-malasan. Dengan perut besarnya dia masih rajin-jalan-jalan setiap pagi untuk melatih pernafasan katanya. Dia pernah bilang bahwa aktivitas jalan-jalan pagi di kehamilan tuanya sangat membantu pernfasan saat melahirkan. Aku selalu menemaninya di setiap pagi buta sebelum aktivitas ngopi dan merokok pagi.
Jum'at pagi, di akhir bulan Juli Rengganis mulai merasakan mulas. Aku segera membawanya ke Rumah Sakit bersalin. Setelah mengurus segala administrasi yang membutuhkan waktu cukup lama, hingga tengah hari baru bisa masuk ke kamar bersalin. Begitulah birokrasi di negara ini, katanya segala hal sudah menggunakan serba elektronik, toh ketika mengurus administrasi apa saja intansi selalu meminta berkas yang difotokopi. Aku tidak paham apa sih sebenarnya kegunaan tanda pengenal yang katanya sudah elektrik itu. Seharusnya dengan kartu elektrik, penggunaanya hanya sekali tempel segala hal dari profil pemilik kartu sudah bisa diakses. Tapi, kartu penduduk yang katanya elektrik itu tetap saja diminta fotokopiannya. Lucu.
Sudah 4 jam Rengganis berjuang mengalami kesakitan. Dulu sewaktu melahirkan anak pertama, dia mengalami kesakitan seperti itu selama 12 jam. Karena kelahiran anak pertama dulu, sebenarnya belum waktunya namun dipaksa harus segera keluar. Dokter tempat kami rutin memeriksakan kandungan mengatakan bahwa air ketuban keruh, jika tidak segera dilahirkan bayi bisa keracunan dan akan berakibat fatal. Kesakitan di kelahiran pertama waktu itu merupakan perjuangan yang cukup panjang, dan semalaman habis untuk berteriak-teriak. Namun kelahiran kedua ini sepertinya agak berbeda, teriakannya tidak sekencang dulu, namun Rengganis sempat dibantu pernafasannya, takutnya asupan oksigen ke bayi kurang. Itu dikarenakan Rengganis sempat mengalami kram perut sehingga yang seharunya banyak miring ke kiri, dia meminta miring ke kanan. Ternyata posisi itu bisa mengganggu aliran oksigen yang cukup penting terhadap bayi.
Ketika menyaksikan sendiri bagaaimana proses kelahiran calon anak manusia, pada saat itu pula aku ingat Ibuku. Membayangkan diri sendiri saat dilahirkan dulu semakin membuatku menghargai sosok perempuan terutama yang sudah menjadi ibu. Selain persoalan cinta, caraku menghargai Rengganis juga merupakan bentuk rasa hormatku terhadap kebanyakan perempuan, itulah mengapa aku tidak berani mencoba untuk bermain-main dengan perempuan lain apalagi jika hanya sekedar demi nafsu. Belum setelah ini bagaimana perjuangan seorang perempuan merawat bayi mungil dengan menyusuinya yang ternyata tidak gampang karena akan banyak lecet di putingnya dan kesakitan yang sampai membuat sang ibu menangis-nangis, namun tetap tidak berhenti memberikan ujung putingnya kepada sang bayi meski sambil meringis kesakitan.
Meskipun begitu, banyak juga perempuan yang memilih untuk tidak kesakitan sewaktu melahirkan maupun merawat sang bayi. Ada yang sewaktu melahirkan sengaja memilih untuk dioperasi sehingga tidak merasakan sakit apapun, kemudian ada yang memilih tidak menyususi bayinya dengan memberikan susu formula. Rengganis tidak mau seperti itu, baginya persoalan membesarkan anak manusia adalah tanggung jawab terhadap kelangsungan semesta. Baginya, tidak ada satupun yang instan itu tidak memberikan kerugian, termasuk instan merawat anak manusia.
Tepat pukul 18.00 WIB lahirlah sang jabang bayi laki-laki dengan panjang 51cm dan berat 3,5 kg. Bayi yang cukup besar, pantas saja perut Rengganis selama hamil tampak besar sekali beda dengan saat hamil anak pertama dulu. Aku melihat semua proses dari awal sampai akhir, bagaimana bayi itu lahir. Bagaimana saat keluar kemudian ditarik kakinya ke atas dan kepalanya di bawah agar cairan-cairan yang dia bawa dari perut ibunya keluar dan tidak meracuninya. Tepat saat semua cairan keluar, bayi itupun mulai menangis dan suaranya lumayan ngebass sesuai dengan bentuk tubuhnya yang besar dan tinggi yang merupakan perwujudan laki-laki. Setelah dibersihkan dari cairan-cairan dari perut ibunya, bayi itu di bawa para bidan ke ruangan khusus untuk dibersihkan. Tanpa sadar, aku menangis. Bukan sekedar menangis bahagia, tapi juga pelepasan segala emosi selama berjam-jam melihat bagaimana Rengganis berjuang untuk kehidupan calon anak manusia.
Dua jam kemudian, bayi yang sudah dibersihkan dan diberi pakaian serta dibungkus kain selimut bayi dibawa kembali ke dalam ruang tempat Rengganis bersitirahat kemudian disodorkannya padaku untuk diberi alunan doa-doa. Kuambil bayi tersebut dari tangan sang bidan, tangan kiriku memegang kepalanya dan tangan kananku memegang pantat hingga paha. Bayi mungil ini telah berada tepat di depan mukaku sehingga aku bisa melihatnya dengan jelas. Kupandang bayi tersebut dengan penuh semangat, namun semakin jelas aku memandangnya aku merasa ada yang aneh dengan bayi tersebut. Entah mengapa, bayi tersebut seperti mirip dengan seseorang yang tidak asing lagi. Aku lupa jika niatku hendak membisikan doa-doa ke telinganya karena mendadak aku ingin melepasnya, lalu dengan tergesa aku menaruhnya ke dalam box bayi yeng terletak di samping tempat tidur Rengganis. Untung Rengganis sedang sibuk membenahi kain yang dia gunakan untuk membebat tubuhnya tanpa melihatku sama sekali, juga tidak tahu bagaimana ekspresiku saat meletakan bayi tersebut dengan tergesa. Dia hanya melihatku sekilas saat meletakan bayi itu kemudian bertanya.
"Sudah kau beri doa?"
"Mmmmm... belum, tadi peganganku kurang kokoh jadi kuletakan dulu." Jawabku, lalu kembali aku mengambil bayi tersebut dan dengan cepat kulantunkan doa di telinganya sebelum kemudian aku segera meletakannya kembali dan keluar dari ruangan itu.