Unduh Aplikasi
84.61% ANTARA LANGIT DAN BUMI / Chapter 11: Bab 16. Seorang pengecut

Bab 11: Bab 16. Seorang pengecut

"Aku mau putus."

Langit yang baru saja menghentikan mobilnya di depan rumah Maura tentu saja terkejut mendengar kalimat itu. Gadis di sampingnya ini sejak bertemu dengan Mauren tadi hanya diam, tidak mengatakan apa pun. Langit tidak tahu apa yang Maura dan Mauren bahas karena dia melihat dari kejauhan tadi, tidak mau ikut campur. Namun, siapa yang menyangka malah akan jadi seperti ini?

"Kamu masih emosi, lebih baik kamu is—"

"Enggak," potong Maura cepat. "Aku udah mikirin ini mateng-mateng. Aku mau kita putus."

Langit memutar sedikit tubuhnya agar bisa menghadap penuh ke arah kekasihnya. "Jangan ngomong sembarangan, kamu masih kalut karena pembicaraan sama kakak kamu nggak berjalan mulus, kan? Kita bisa temuin dia lagi, bicara baik-baik."

Maura menggelengkan kepalanya, wajahnya sangat murung saat ini. Kehancuran itu terlihat jelas dari keruhnya aura wajah yang kini tampak. "Kakakku aja nggak bisa maafin masa lalu aku, aku yakin Mas Langit juga akan benci sama aku kalau tahu apa yang udah terjadi di masa lalu."

"Aku udah bilang aku nggak peduli," ujar Langit cepat, dia tidak akan menuruti permintaan Maura karena dia yakin ini hanya emosi sesaat. "Itu hanya masa lalu kamu, dan terpenting buat aku adalah kamu yang sekarang."

Maura tersenyum, tetapi sebentuk senyum pahit akan kekecewaan. "Mas Langit bisa ngomong kayak gitu karena Mas nggak tahu seperti apa aku di masa lalu."

Langit mencoba bersabar, mencoba mengerti kini hati Maura sedang tidak baik-baik saja. "Lebih baik kamu istirahat, nanti kalau suasana hati kamu sudah membaik kita baru—"

"Nggak perlu nanti, aku bilang aku udah pikirin ini mateng-mateng." Kali ini Maura menatap mata Langit dengan tatapan penuh lukanya.

Langit yang bingung hanya diam, percuma dia berbicara panjang lebar karena kini Maura sedang emosi. Maka laki-laki itu memutuskan untuk turun dari mobil, berniat membukakan pintu untuk Maura seperti biasa, tetapi gadis itu malah sudah turun.

"Aku nggak akan anggep apa yang kamu katakan hari ini serius," ujar laki-laki itu membuat langkah Maura terhenti. Namun, tanpa membalas kalimat Langit gadis itu kembali melangkah dan tidak menoleh sedikit pun.

Langit yang merasa perasaannya kacau hanya bisa menghela napas, lalu memutuskan untuk pergi. Hari ini berbicara dengan Maura atau pun Mauren percuma karena kedua gadis itu sedang dalam kondisi hati yang tidak baik.

*

Sudah tiga hari sejak pertemuannya dengan Maura hari itu. Tentu saja hati Mauren kini tidak baik-baik saja, apalagi saat mengingat ancaman yang adiknya berikan hari itu. Maura bukan orang yang hanya bisa menggertak, gadis itu seringnya melakukan hal nekad untuk mendapatkan sesuatu. Dulu ada dia yang selalu menjaga, entah apa yang terjadi selama dia pergi.

Bunyi ketukan pintu di luar membuat Mauren terpaksa berhenti dari pekerjaannya. Ditinggalkannya laptop yang masih menyala untuk mencari tahu siapa orang yang mengganggunya malam-malam begini. Jam memang baru menunjuk angka delapan, tetapi di luar sedang gerimis dan suasana sangat sepi.

Mauren memilih mengintip dari balik tirai jendela, dan saat melihat sosok Langit yang berdiri di sana, gadis itu memutuskan untuk menutupnya kembali.

"Dia minta putus!" Teriakan itu menghentikan langkah Mauren yang sudah berniat masuk ke kamarnya untuk bersembunyi. "Kamu itu egois, Mauren!"

Mauren menghela napasnya, mencoba untuk tidak sakit hati dengan kalimat itu.

"Kamu harus temuin saya dan sekarang kita bicara."

Mauren yang yakin akan mendapat teror dari laki-laki ini jika tidak memberi kesempatan untuk mereka bicara memutuskan untuk mengambil kunci rumah, membukanya, dan nampaklah wajah Langit yang sangat kacau.

"Ikut saya." Langit tanpa menunggu persetujuan Mauren melangkah ke arah mobilnya.

*

"Kamu sadar kalau kamu itu egois?" ujar Langit saat mereka sudah duduk di salah satu kafe kecil tidak jauh dari kontrakan Mauren. Gadis di depannya hanya diam, entah apa yang tengah dipikirkan karena Mauren selalu bisa menutupi apa yang tengah dirasakannya dengan ekspresi wajah datar.

"Saya nggak tahu apa permasalahan kalian di masa lalu, tapi bukankah itu masalah yang seharusnya udah dilupain? Kamu nggak bisa bersikap seperti ini terus!" Langit benar-benar frustasi karena selama tiga hari ini Maura selalu menghindarinya. Baik di kantor, maupun di rumah gadis itu tidak pernah bisa ditemui.

"Sudah lama saya mencari keberadaan Ara, mengejarnya, dan menyakinkan kalau saya nggak main-main. Semua harus hancur karena kamu." Langit sebenarnya bukan orang yang suka melimpahkan kesalahan pada orang lain. Dalam hati dia yakin Mauren menunjukkan sikap seperti itu karena ada alasannya. Namun, kali ini otaknya benar-benar sedang buntu dan tidak bisa dipakai untuk berpikir jernih.

"Saya sudah bilang akan lebih baik kalau saya dan dia nggak dipertemukan," bisik Mauren tanpa mau melihat wajah Langit. Tangannya tengah memainkan cangkir kopi hitam tanpa gula di depannya.

"Saya cuman mau bantu dia mewujudkan apa yang dia impikan selama ini. Apa itu salah?"

Mauren menggerakkan matanya untuk menatap wajah Langit. Masih menjaga ekspresi wajah datarnya untuk dimunculkan. Itu adalah senjata terakhir yang dia miliki untuk menjaga hatinya agar tetap waras.

"Salah karena Anda bahkan nggak tahu apa masalah yang terjadi di keluarga saya," jawab Mauren dengan gesture tenang. "Tapi Anda muncul bak pahlawan yang tahu segalanya."

"Saya sengaja memberikan Ara privasi. Dan lagi dia selalu terlihat tertekan setiap kali mulai bercerita apa yang terjadi di masa lalunya," ujar Langit pelan.

Mauren malah mendengkus sinis. "Privasi? Andai yakin?" tanyanya sembari menatap mata Langit dengan berani. "Bukan karena Anda takut mengetahui fakta yang sebenarnya?"

Langit yang tidak paham mengerutkan kening. "Apa maksud kamu?"

Mauren menghela napas, kali ini ekspresi datar itu terganti dengan wajah kesal. "Anda takut masa lalu Rara terlalu suram dan tidak bisa Anda terima. Anda takut Anda akan berpikir buat ninggalin dia saat tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dengan kedok privasi, Anda sebenarnya tengah bersembunyi. Anda itu seorang pengecut."

Langit mengepalkan tangan saat emosinya mulai terpancing. "Saya mencintai adik kamu dengan sungguh-sungguh. Dan saya tidak akan tega membuatnya mengingat masa lalu yang menyakitkan."

Dengkusan sinis itu kembali terdengar dari bibir Mauren. "Saya yakin Anda bukan orang bodoh," ujarnya berani. "Anda bisa tahu apa yang terjadi pada Rara di masa lalu hanya dengan uang Anda, kenapa Anda nggak ngelakuin itu?"

Langit diam karena dia pun bingung kenapa tidak berusaha untuk mencari tahu tentang masa lalu Maura melalui uang yang dimilikinya. Informasi tersebut bisa dengan mudah untuk didapatnya, bahkan hanya dengan hitungan jam.

"Jawabannya karena Anda pengecut!" ujar Mauren lantang sembari berdiri, lalu pergi sebelum Langit menahannya. Biarkan laki-laki ini merenungkan sikapnya sendiri, Maura harus mendapat laki-laki yang tulus mencintainya, bukan hanya karena jatuh cinta sesaat yang akan membawa penyesalan selamanya.


Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C11
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk