Seorang wanita bersuara cempreng menghampiri Rania di dapur dengan begitu hebohnya. Kabar tentang Faisal yang menunggunya di depan toilet itu langsung menyebar ke satu kantor akibat perbuatan karyawati itu yang langsung mengumbarnya.
Tentu itu menimbulkan tanda tanya besar bagi mereka semua, sebab selama ini mereka tahu kalau Faisal adalah sosok lelaki yang tidak akan mungkin melakukan hal itu. Tapi, kali ini mereka melihat Faisal membelikan pembalut untuk Rania.
"Kamu ada hubungan apa dengan pak Faisal? Kenapa dia begitu perhatian padamu?!" tanya Mimi, teman Rania.
"Kalian ada hubungan spesial, ya? Atau kalian dekat? Jangan-jangan kamu perempuan simpanan pak Faisal?"
Berbagai pertanyaan pun berdatangan silih berganti dari teman Rania yang lain. Dia sama sekali tidak tahu kalau dampaknya akan seperti ini, sebab kejadian itu terjadi begitu saja. Rasa nyeri di perutnya juga semakin tidak karuan mendengar pertanyaan-pertanyaan itu.
Bukannya menjawab, Rania malah hanya memegangi perut sambil meringis. "Sudahlah, aku mau pulang. Perutku sakit!" rintihnya lalu pergi meninggalkan dapur bersama tas selempang yang dia bawa.
Itu memang sudah waktunya pulang, dan mereka hanya bisa menghela napas tanpa bisa mendengar jawaban apapun. Rania menghampiri Faisal yang sedang berdiri di depan lift menuju basement. Teman-teman Rania yang tadi pun keluar pintu dapur dan mengintip ke arah lift.
"Kenapa?"
Tak menjawab, Rania hanya memegangi perut saja. Ini adalah kali pertama untuk Rania mengalami sakit seperti ini, padahal biasanya tidak pernah begini. Dia sendiri bingung ini kenapa, mungkin saja bukan hanya karena nyeri haid.
"Perutmu masih sakit?" tanya Faisal lagi. Rania mengangguk. "Kita ke rumah sakit saja, ya? Saya takut kamu kenapa-kenapa."
"Tidak perlu, Pak. Aku cuma butuh istirahat, nanti aku minta nenek mengurut perutku saja," tolak Rania.
"Tapi perutmu itu sakit, bukan masuk angin. Pijitan nenek tidak akan berpengaruh, sudahlah lebih baik ke rumah sakit saja."
"Pak, ini hanya efek nyeri haid. Sudah biasa, tidak perlu berlebihan."
Pintu lift terbuka, mereka berdua masuk ke dalam sana untuk menuju basement. Sementara itu, kedua teman Rania yang tadi mengintip dari dapur pun mengambil beberapa foto sambil saling pandang satu sama lain lalu tersenyum.
Di rumah, Alma tampak menjalani hidupnya seperti biasa. Menjadi menantu dan sibuk menyiapkan makan malam untuk suaminya. Dasimah menghampiri wanita itu, langkahnya masih terlihat kuat tanpa tertatih. Sebenarnya wanita itu masih bugar, apa lagi setelah di rawat.
"Nenek, kenapa ke sini? Apa Nenek perlu sesuatu?" tanya Alma ramah.
Nenek hanya menggeleng. "Tidak, Nenek hanya bosan di kamar terus. Kalau Nenek membantumu di dapur, tidak apa-apa 'kan?"
Awalnya Alma menolak, tapi nenek bilang dia ingin sekali memasak di dapur. Akhirnya mereka pun masak bersama, sambil mengobrol dan tak lama nenek pun menyinggung masalah pernikahan Faisal dan Rania.
Selama ini nenek masih bingung, kenapa Alma membiarkan suaminya menikah lagi, padahal poligami sudah tentu mimpi buruk bagi setiap wanita di dunia ini. Rasanya aneh kalau sampai Alma mau di madu.
Alma bingung ingin menjelaskan seperti apa, tapi dia ingat niat Rania yang ingin menyembunyikan kebenaran ini dari sang nenek. Dia pun hanya tersenyum.
"Aku kenal baik Rania seperti apa, dia juga mengenal baik suamiku, jadi ... aku tidak punya pilihan lain. Nenek benar, ini berat. Tapi aku sangat mencintai suamiku, lambat laun aku pun bisa menerima kehadiran Rania, Nek."
"Nenek sungguh tidak enak, sudah merebut kebahagiaanmu, menumpang tinggal di rumah ini juga, rasanya menambah beban keluarga saja."
Alma sama sekali tidak membenarkan itu, dia benar-benar tidak keberatan sama sekali dengan kehadiran nenek. Tapi pembicaraan makin sensitif saat nenek mempertanyakan soal anak pada Alma, di tambah lagi kedatangan Sarah yang makin kompor.
"Ya, Alma itu mandul, Nek. Makanya saya suruh dia menikah lagi dengan Rania. Mereka sudah menikah lima tahun, tapi belum punya anak. Sudah jelas Alma ini tidak subur!" cibir Sarah.
"Ya, ampun. Mungkin memang belum di beri oleh Allah."
"Tidak, Nek. Dia ini memang mandul!"
Hati Alma sakit sekali mendengar itu, di depan nenek yang sebelumnya tidak tahu apa-apa, Sarah menjelek-jelekkan Alma dengan terang-terangan. Di caci maki habis-habisan, sampai di tengah mengaduk sayur, air mata wanita itu meleleh.
Alma pergi ke kamar meninggalkan pekerjaannya, Sarah hanya memutar bola mata dengan jengah melihat sikap Alma yang dianggapnya cengeng. Kejadian ini memang sering terjadi, tapi kali ini Sarah sudah keterlaluan.
"Bu, sebaiknya jangan bicara begitu. Kasihan Alma, dia pasti sedih sekali," kata nenek masih menaruh simpati pada menantu Sarah.
"Biarlah, Nek. Tak perlu terlalu di pikirkan, memang kenyataannya seperti itu."
Nenek hanya geleng-geleng kepala.
***
Alma menghampiri Bimo yang sedang asik minum kopi sambil merokok di samping rumah. Dia ingin berdiskusi masalah suaminya yang sampai kini belum juga menyentuh Rania. Mungkin mertuanya akan diam setelah dia mendapatkan apa yang dia inginkan, seorang cucu.
"Bukankah minggu depan ada acara jamuan? Itu bisa menjadi kesempatan besar kalau pak Faisal menginap di hotel bersama Rania. Mereka bisa menghabiskan waktu berduaan," kata Bimo alakadarnya.
"Iya, sih. Tapi ... mas Faisal pergi bersamaku. Bagaimana bisa Rania ikut?"
Bimo kembali terdiam. Keduanya terus berpikir bagaimana bisa mendekatkan Faisal dan Rania, padahal tanpa mereka sadari, Faisal sudah mulai peduli pada gadis itu. Seperti malam ini, lelaki yang hanya memakai piyama warna merah maron itu berjalan menyusuri tangga menuju kamar bawah.
Dia mengetuk pintu kamar Rania, ternyata nenek sudah tidur. "Ada apa, Pak?" tanya Rania yang membukakan pintu.
"Perutmu sudah tidak sakit lagi?"
"Masih sakit sedikit, tapi sudah mendingan. Tadi nenek mengurutnya," jawab Rania apa adanya.
Tidak tahu lagi ingin bicara apa, tapi Faisal benar-benar ingin mengobrol dengan Rania. Entah kenapa, dia hanya ingin mengenal lebih jauh sosok Rania itu seperti apa. Bingung dengan sikap Faisal, Rania pun menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil berpamitan untuk kembali masuk ke dalam.
Faisal mencegahnya, tapi ketika di tanya kenapa, dia tidak bisa menjawab. "Bapak mau saya buatkan kopi?" tanya Rania.
"Ya, boleh."
Rania mengangguk dan berjalan menuju dapur, Faisal mengikuti di belakangnya. Malam ini Rania terlihat cantik dengan rambut yang di jepit jedai, masih terurai panjang dengan beberapa helai poni yang menutupi wajahnya.
Faisal terus memperhatikannya, mereka duduk berdekatan di meja makan sembari Rania menemani Faisal mengopi di sana. Dia merasa tidak ada yang aneh, toh menemani suami sendiri tidak salah 'kan?
"Besok kamu ulang tahun, ya?"
"Hm? Kok Bapak tahu?"
"Kamu lupa kalau Alma udah nyari tahu segala sesuatu tentang kamu?"
Rania yang mengingat hal itu pun hanya senyum-senyum saja. Kebiasaan tersenyum, Faisal sampai tidak pernah melihat Rania cemberut atau kesal. Menurutnya, senyum itu membawa kebahagiaan untuk orang lain. Terbukti, itu banyak merubah hidupnya.
"Bapak tidak tahu, ya, kalau tersenyum itu membantu kita untuk terhindar dari stres?" Faisal menggeleng. "Lho, masa orang berpendidikan tidak tahu teori ini? Bahkan senyum itu bisa memperpanjang usia, lho!"
"Kata siapa?"
"Hm, ada penelitiannya. Tapi aku lupa, intinya orang yang sering tersenyum memiliki hidup rata-rata 80 tahun!" Rania pun menerangkan itu sambil tersenyum manis, membuat Faisal yang duduk di dekatnya juga ikut tersenyum.
"Bapak kalau senyum makin tampan, tapi aku jarang lihat Bapak senyum," gumam Rania tanpa di sadari.