Januari, 2014
Sinar matahari tidak seterang pada bulan-bulan di tahun sebelumnya. Hampir setiap hari turun hujan di wilayah pegunungan, antusiasme anak-anak menikmati kehidupannya pun meningkat. Rasa-rasanya tidak ada yang tidak bisa menikmatinya pada Desember yang lalu.
*****
Hari kelima belas, Januari di tahun yang baru mengundang rasa penasaran seorang anak bernama Arya Rakash, siswa kelas lima sekolah dasar di dekat lereng gunung. Dia tinggal disini karena tugas pekerjaan ayahnya yang mengurusi lahan industri dari kantornya.
"Dia lemah, otak nya tidak mampu menampung apa yang diserap dan dia minim perhatian, sulit sekali melihat orang ini ada di wilayah kita yang baik ini."
Arya tidaklah seperti itu---lamban dan bodoh. Tidak! Dia tidak seperti itu, dirinya memang tidak suka bergaul, karena baginya mereka juga menutup dirinya untuk mengenal satu sama lain.
"Bagaimana bisa orang itu tetap hidup dengan fisik yang benar-benar hancur, aku tidak habis pikir dengan ini!"
Tak hanya para laki-laki yang dengan aktif menyuarakan kritiknya terhadap Arya, para perempuan tidak kalah kejamnya memberi komentar pedas kepada laki-laki yang selalu menangis, bermasalah kepada guru dan yang terutama dia adalah si sendirian yang menutup dirinya, karena tidak ada satupun yang berminat kepadanya.
******
Entah mau sampai kapan, dia harus tahan dengan situasi ini, tapi yang jelas dia akan terus berusaha dengan kemampuan yang ia punya.
Jika ia sedih dan tertekan, biasanya ia akan pergi menjauh dari rumah dan duduk dibawah pohon dibelakang semak-semak. Berbeda dari suasana kota, yang dominan menjadi tempat pabrik dan industri, di pegunungan ini pohon adalah tempat ternyaman untuk menyebarkan emosi positif.
"Aku tidak berpikir itu tidak akan jadi lebih baik, kalau aku pergi kesana," ujar dirinya yang sambil bergumul.
Tempat itu menjadi lebih ramai saat ini, entah apa yang difavoritkannya saat musim hujan. Namun, yang jelas dia juga bingung dengan dirinya sendiri. Apa yang terjadi, dia akan ke tempat itu.
Dia akan menuju ke lapangan yang berada di ketinggian seribu meter di atas permukaan laut itu, posisi rumah dengan lapangannya hanya berjarak seratus meter dari situ.
Dengan sedikit keberanian, dia mencoba pergi dari situ dan memikirkan konsekuensinya, maka ia mencoba berlari sekuat tenaga.
"Sial lu, anjir!" ujar salah satu anak-anak yang lalu lalang di sekitar tempat Arya yang kebetulan juga sama-sama berlari.
Cuaca yang mendung itu benar-benar membuat anak anak semakin bersemangat melakukan permainan bolanya, sedangkan Arya yang benci air menepikan dirinya ke sebuah pohon yang bunganya sedang mekar dan perlahan jatuh merontokkan dirinya.
"Bola?" ujar dirinya yang bingung melihat benda itu ditinggalinya begitu saja.
Bola yang berbentuk bulat itu dengan corak hitam-putih itu ditinggalinya dengan bunga-bunga yang rontok dari pohonnya, kemudian ia menyentuhnya tanpa ada orang yang melihatnya lalu menepikannya ke tempat yang kering air untuk mengeringkannya sembari menunggu orang lain datang.
"Hai kau tidak apa?"
Hujan mulai turun dengan sangat deras, bahkan tanah-tanah disitu yang tadinya keras menjadi lembek dan bahkan menciprat.
"Hai kau tidak apa?" panggilnya sekali lagi untuk membangunkannya.
Arya yang tertidur sambil menjaga bola itu sembari menunggu orang tersebut datang, kemudian membuka matanya, mengamati lagi untuk beberapa lama dan dia tidak mengatakan apapun saat setengah sadar.
Dia bergidig ketakutan dan refleks menjauhinya, bola yang belum ia pindahkan tadi mengenai bokongnya dan ia tergelincir dengan bola yang belum dipindahkan itu. Dia terjatuh mengenai kepalanya dan dengan refleks orang itu menolongnya.
"Ahh, kau bodoh sekali, bukankah harusnya kau pindahkan terlebih dahulu, bola itu?" ujar orang tersebut yang mengingatkannya.
"Ini bolamu?" tanya Arya yang terjatuh dengan ekspresi merajuk kepada orang tersebut.
"Iya aku selalu menyembunyikannya di tempat ini, karena biasanya tempat ini jarang terjamah anak-anak, aku benci dengan keramaian ini."
Mendengar itu, dia langsung memberikan bolanya dengan sedkit masih merasakan kesakitannya, lalu dengan nada marah dia mengusirnya.
"Kalau kau tidak ada keperluan lagi, bisakah kau pergi dari sini?"
Orang tersebut diam dan tidak pergi dari hadapan Arya, malah dia mencoba untuk mendekatinya, karena prediksinya orang ini benar-benar tidak suka ada orang yang mendekatinya.
"Apa kau orang asli sini? Aku tidak pernah melihatmu main di sini," ujar orang tersebut yang terus mengakrabkan dirinya dengan Arya.
"Kenapa harus bertanya siapa aku? Apakah orang tua mu tidak mengajarkan pentingnya privasi kepadamu?" jawabnya kesal karena ditanyai seperti itu.
"Oh iya, aku Dias, aku bermimpi jadi pemain bola, mungkin kau bisa menjadi teman duetku untuk permainan satu lawan satu, aku tidak ada teman yang bisa aku dekati, karena kemampuanku yang lemah."
Dias mencoba untuk tetap tenang sambil menunggu jawaban dari Arya yang tak kunjung mendapatkan respons baik darinya, sembari dia memainkan bola nya dengan gaya khas pemain bola.
Ketika, Dias memainkan bola dengan gaya punggung dan badan belakangnya itu Arya tiba-tiba menyelanya, "Kau benar pemain bola? Lalu kenapa kau tidak punya tim?" tanya Arya yang sepertinya memastikan kemampuan orang tersebut.
"Sebenarnya aku memilikinya, tapi itu hanya formalitas saja dan ketika aku mencoba untuk menjuarai turnamen, mereka hanya merayakannya dengan sebagian formalitas. Jadi, kupikir itu bukanlah suatu yang baik untuk mendapatkan teman."
Dalam benak Arya, dia memikirkan bagaimana caranya orang yang bermain dalam kelompok, bisa menjadi individualistis dalam bermain seperti ini, semoga ini hanya dugaan saja dan apa yang dikatakan orang tersebut tidak melenceng.
******
Permainan bola yang dilakukan oleh Dias benar-benar membuat hatinya perlahan terbuka. Dirinya merasa bahwa apa yang diperbuat oleh orang yang tak dikenalnya itu membawanya pada suatu perubahan. Flowers in the Ball.
"Kebetulan tim kami sebelas orang, itu memang standar, tapi kalau kau tak keberatan, maukah kau bergabung bersama kami untuk bermain di tim yang sudah pas itu?" tanya Arya yang mulai tampak menikmati permainan itu walau masih dalam kategori payah.
Arya yang mendengar sambil bermain itu terkejut dan langsung menghentingkannya.
"Kau memang dari mana?" tanya Arya yang sepertinya terkejut dengan ucapan Dias barusan.
Dia menyebutkan nama sekolah dan tim sepak bolanya dan responnya juga begitu bikin terkejut. "Kau berada pada sekolah yang sama denganku!"
"Hahaha, mungkin karena aku kelas lima dan kau kelas enam yang berbeda bangunan sekolah, jadi aku tidak dapat melihatmu disana."
"Aku benar-benar tidak dapat bermain bola dengan baik? Apakah kau akan benar-benar memasukkanku ke daftar timmu itu?" tanya Arya yang benar masih ragu dengan apa yang diucapkannya itu.
"Kalau kau tidak keberatan," ujar orang tersebut dengan merebut bola dari dia.
Arya mengambil bola dan ternyata gagal dicegah, sebelumnya ia memang sedikit paham dan mengerti tentang apa yang harus ia lakukan itu.
"Haha, mungkin kita akan setiap hari bermain disini, tapi jangan takut, pertandingan masih satu bulan lagi, aku ingin kau menjadi pemain inti," Dias berkata untuk membuat Arya semakin bersemangat.
Ketika hujan membasahi badan mereka berdua, inilah pertandingan paling menyenangkan. Arya akhirnya perlahan berhasil keluar dari lingkaran kegelapan yang menyedihkan tersebut, satu persatu kekhawatirannya teratasi.
******
Sekolah dimulai lagi pada esok harinya, Arya yang mendapat perintah untuk menemui lapangan langsung bergegas untuk menemui Dias dan disana sudah ada banyak orang yang berkumpul.
"Hai, Ar, udah siap buat main bola?" tanya Dias yang langsung menyapanya, sembari Arya menyesuaikan napas nya yang tersengal-sengal.
Arya mengangguk dan mereka mulai latihan, awalnya terjadi ketidaksesuaian antara perbedaan pemain dan Arya yang tidak dapat menerima umpan dari temannya itu, memakinya dan memprotes kepada Dias.
"Lu bawa temen yang gabisa ngapa-ngapain jadi beban doang tau gak!" ujar Dorki kepada Dias yang kebetulan menjadi pemain kunci nomor sepuluh.
"Slow, gue yakin dia bisa menangin, dia gak pemula banget kok, karena katanya ngerti dikit-dikit main bola."
Permainan dilanjutkan, adu mulut karena ketidak sesuaian antara ritme permainan dan posisi pemain adalah suatu hal yang mungkin akan ditanggapi biasa saja oleh Dias.
Singkatnya, mereka sudah menyelesaikan latihan rutin mereka dan kembali ke rumah masing-masing. Kebetulan, arah rumah Dias dan Arya sama-sama searah, sehingga mereka berbincang sambil diskusi sedikit tentang mereka.
"Kau tahu, aku sangat berharap padamu untukmu menang, walau kau baru memulainya, tapi itu tidak jahat untuk dilakukan, jadi kalau kupikir itu memang seharusnya tidak perlu dipusingkan."
Dia berkata kepada Arya dengan merangkul bahunya, dia ingin kedekatan yang hangat dengan temannya, perbedaan pendapat dan menutup diri adalah dua persamaan diantara mereka, sehingga sebisa mungkin mereka mencari kenyamanan diantara dua itu.
"Aku, benar-benar benci ketika diriku mulai tahu bahwa aku tidak dapat diandalkan untuk apapun, mereka menghujatku dan berkata bahwa aku tidak lebih baik untuk mengakhirinya."
"Sudahlah lupakan, kita akan tetap menjadi teman yang terbaik, kemanapun kau pergi aku akan mengikutimu, sejujurnya aku sendiri akan sangat kesepian jika tidak ada denganmu."
Rasa itu adalah rasa yang belum pernah dirasakan oleh Arya sebelumnya, dia terjerat oleh perasaan saling menyukai satu sama lain, dia hanya membalikkan senyumannya.
"Kejar aku dong kalau bisa," ujar Arya yang tiba-tiba berlari dengan sangat kencang, sampai-sampai Dias kaget dan baru mengejarnya setelah beberapa detik.
Kedekatan antara mereka berdua terus mendekat.
hingga waktu sebenarnya adalah pertandingan yang dijanjikan oleh Dias saat hujan itu, pertandingan melawan sekolah mereka melawan sekolah Rasti Cendikia, yang berada di daerah perkotaan.
******
Februari 2014
"Kau naik sepeda kah? Atau dianter?" tanya Arya kepada Dias yang menjemputnya.
"Aku naik sepeda, soalnya harus ke bawah, wilayah kota, jadi aku gak kuat kalau jalan jauh, ditambah stamina kita harus disimpen, kalau gak nanti bakal bablas pas pertandingan."
Arya yang mengerti pun langsung duduk dibelakang Dias itu, kemudian dia menyuruhnya untuk tidak bergerak ataupun menggoyangkan badannya. Karena itu, akan mempengaruhi keseimbangan sepeda.
Dias mengayuh sepedanya sambil melihat pemandangan pedesaan yang asri, adem dan menyejukkan hati, ini adalah momen terindah yang bisa ia lakukan sebagai seorang sahabat, mengayuh sepeda sampai menemukan jalan keluar ke arah kota.
"Dikit lagi sampe!!" Dias memberitahu kalau dia akan sampai ke tempat tujuannya.
Arya menjawab, "Baikkk!! Aku sangat senang bisa keluar menuju ke kota."
Dia mempercepat laju kecepatan sepeda itu dan tak sampai sepuluh menit, dia sudah sampai di sebuah lapangan besar yang memiliki rumput dan pengairan lapangan cukup baik. Dias memberikan jersey kepadanya dan sepatu baru kepada Arya.
"Ini untukmu, mulai sekarang kau menjadi pemain penyerang nomor 11, Arya Rakash," kata Dias yang memberikannya jersey dari totebagnya dan sepatu bola yang bekas ia punya, walau begitu sepatu itu masih sangat terawat.
"Terima kasih sekali untukmu, kau sampai harus repot-repot untuk memberiku seperti ini," kata Arya yang matanya berkaca-kaca diberikan hadiah sebagus itu.
Mereka kemudian berjalan berbarengan, menuju ke ruang ganti dan berganti pakaian untuk segera masuk ke dalam lapangan. Dorki dan teman-teman lainnya, tampak tidak menyukai kehadiran Arya yang menjadi beban dalam tim.
Arya yang berada di sana tanpa kehadiran Dias menjadi buah bibir oleh para isi tim Dias yang kemudian berubah menjadi perkataan yang menyakitkan. "Sampai kapanpun, lu cuma jadi beban!" kata Dorki yang berkata langsung di depan congor Arya tanpa rasa berdosa sedikitpun.
*****
Usai Dorki menjelaskannya, dia langsung meninggalkan ruangan itu dengan bajunya yang berada di atas meja. Kemudian, Arya yang merasa tidak tersindir dengan percaya diri langsung keluar dan menemui Dias yang ternyata sudah di pinggir lapangan.
"Coach! Aku ada pemain baru, walau dia belum sepenuhnya bermain dengan baik, tapi aku yakin akan mencoba untuk memberi arahan yang sudah aku berikan."
Dias kemudian mengumpulkan teman-temannya yang dikarenakan dia sebagai kapten, kemudian dia menyemangati satu sama lain. Setelah usai berkumpul, Arya dibisiki oleh Dias. "Jangan panik, kalau kau dapat bola, kau harus memberikan umpan ke tempat yang aman, jika aku sedang berlari di depan berikan saja kepadaku."
Ucapan itu dimengerti oleh Arya, kemudian dia langsung berkata kepadanya, "Oke, aku akan berusaha bermain semaksima mungkin."
Pertandingan langsung dimulai, semua orang datang untuk menyaksikan pertandingan ini. Walau hanya masyarakat sekitar yang melihat, tapi pertandingan seperti ini biasanya mengundang banyak pedagang untuk menjajakan barang dagangannya.
Babak pertama yang berlangsung selama empat puluh lima menit, benar-benar menarik. Pasalnya, Oga dan Edward saling beradu one-play-one dengan musuh.
"Mantap sih tim Dias mah, tapi kok ada satu pemain inti, yang bahkan posisi aja gak tau ada dimana, lari-lari doang?" ujar penonton yang sepertinya memperhatikan salah satu pemainnya itu.
Pertandingan kedua berlanjut dan ketika berakhir skor mereka adalah 4-0 antara kedua tim. Tim yang dipimpin Dias itu merupakan hasil cetakan gol yang dicetak oleh Dias sendiri 2 poin, Dorki 1 poin dan Arya ajaibnya 1 poin pada akhir babak ke-2.
******
Usai pertandingan, Dias dan Arya kembali pulang bersama. Kemudian, mereka saling berbicara di pinggir jalan dan mereka melihat ada tukang es krim sedang bertengger di seberang jalan.
"Gue mau beli es krim, lu mau kan? Nunggu sini apa ikutan?" tanya Dias kepada Arya yang sepertinya menanyakan keinginannya itu.
"Gue nyusul deh, mau kencing dulu, gue turun dulu bentar ya," kata Arya yang kemudian turun dari jok belakang.
Arya kencing di pinggir sungai yang tidak ada siapapun disana, sedangkan Dias yang sudah menurunkan Arya segera menyeberangi menuju ke tempat penjualan es krim tersebut.
Dia yang terobsesi ingin makan es krim itu malangnya tidak melihat bahwa ada mobil yang akan melintas dan pengemudinya juga sedang dalam keadaan mabuk, Arya yang baru selesai buang hajat dan mengamati kondisi sekitar dan diantara mobil dengan Dias sangat dekat dan tubrukan pun tak terhindarkan.
"DIASSSSS!!!" teriak Arya yang benar-benar terkejut dengan apa yang ia lihat, pengendara mobil itu juga tidak keluar sama sekali dan terlihat menggas mobilnya walau keluar asap dari aki mobil itu.
Dias yang terluka parah dilihat oleh tukang es krim itu dan Arya dibawa ke rumah sakit yang jaraknya satu kilometer dengan kecepatan tinggi. Setelah sampai disana dia langsung dibawa ke UGD dan diperiksa kondisinya.
Abangnya Rayyes yang saat itu masih kelas tiga SMA. Sedang kontrol di rumah sakit yang sama melihat adiknya ada di rumah sakit menghampirinya.
"Eh lu ngapain kesini?" tanya Rayyes yang melihat muka Arya yang tampak panik.
Arya yang terlihat sangat panik dan takut dengan Dias tidak menggubris pertanyaan Rayyes dan menjauh darinya agar tidak banyak pertanyaan lagi.
"Pak, ini kenapa ya?" tanya bapak-bapak tukang es krim yang melihat lokasi kejadian tersebut.
"Temennya mas ini kecelakaan ketabrak mobil, kayaknya supir nya mabuk, terus dia terluka parah," jawab bapak tersebut.
Arya yang lemas, duduk. Menunddukan kepalanya, menangis dan dia sekarang benar-benar down. Rayyes sebagai kakaknya merangkul adiknya tersebut dan mendukungnya. Kemudian, dokter tersebut langsung keluar dari ruangan tersebut.
"Gimana dok sama pasien?" tanya bapak tukang es krimnya yang langsung bertanya kondisinya.
"Saya mohon maaf, karena dia terbentur terlalu keras dan mengenai beberapa luka di otak dan wajahnya dia harus menghembuskan napasnya yang terakhir."
Arya dan Rayyes yang mendengarnya benar-benar tidak bisa berkata apapun lagi, kecewa, marah, penyesalan selalu berkata di belakang. Dia tidak ingin ini terjadi dan bodohnya dia membiarkan dirinya turun.
"Gue pembunuh!! Gue ngebiarin dia mati sendirian," ujarnya yang benar-benar frustasi dengan apa yang ia dengar barusan.
Dias benar-benar meninggal dengan sangat tidak terduga, orang tuanya Dias juga ikut menuduh Arya sebagai pembunuh karena dia membiarkan Dias untuk menyeberang sendirian. Arya sejak saat itu benar-benar menjadi seorang depresi, baik dari tekanan orang tua Dias dan teman-temannya. Satu sekolah membicarakannya.