Carissa Mutiara. Gadis malang berusia 8 Tahun kini diajak oleh Stefan untuk makan siang di restoran mewah. Sekaligus ia ingin mengenalnya, sebab Stefan merasakan hal yang ganjil terhadap anak itu. Ia pendiam, tak banyak bicara. Namun sekali bicara, tutur kalimat yang ia ucapkan terdengar seperti perempuan dewasa. Ada apa dengan anak ini sebenarnya?
"Mau pesan apa? Carissa suka makan apa biasanya?" tanya Stefan ketika disuguhi lembaran menu oleh pelayan restoran.
"Memangnya di restoran ini ada menu bubur ayam?" pertanyaan Carissa berhasil membuat Stefan tertawa sekilas namun tak disengaja.
"Apa ada yang lucu?" raut wajah Carissa menjadi suram karena ia merasa diremehkan oleh Stefan.
"Tidak, maafkan aku. Mengapa kau tidak bilang daritadi jika ingin bubur ayam? Kita sudah sampai disini,"
"Baiklah. Aku akan menunggumu sampai selesai makan siang,"
"Lalu, kau tidak makan?"
"Tidak,"
Selain pendiam, Carissa juga keras kepala rupanya. Tapi ada nilai yang bisa Stefan petik darinya, bahwa anak seusianya sudah memiliki pendirian yang teguh. Ia sangat salut akan hal itu.
Sambil menikmati sajian masakan disana, Carissa hanya menatapnya. Stefan merasa tidak nyaman ketika Carissa menatapnya terus menerus seperti itu. Sampai ia mengalihkan semua itu dengan perbincangan lainnya.
"Kau suka es krim?"
Carissa menggeleng.
"Dessert?"
"Apa bedanya es krim dengan Dessert?" protes Carissa.
"Tidak jauh beda, tapi..."
Carissa mengangkat alis matanya menunggu jawaban Stefan.
"Berbeda tipis, tapi enak juga. Mungkin kau mau? Jika iya aku akan memesannya untukmu,"
Carissa tetap tidak mau.
"Daripada kau melihatku makan seperti itu, aku jadi merasa tidak enak padamu,"
Kemudian, Carissa beranjak dari tempat duduknya menjauhinya.
"Hei, Carissa? Kau mau kemana?"
"Aku mau keluar, daripada disini aku membuatmu tidak enak makan," jawabnya seiring melangkah.
Stefan pun menyusulnya.
"Maksudku bukan seperti itu, Carissa,"
"Oh, Ya Tuhan, sesulit inikah berkomunikasi dengan anak kecil?" gumam Stefan.
"Aku juga membuatmu kesulitan?" tanya Carissa yang tak sengaja mendengar gumaman Stefan.
"Maka kembalikan saja aku ke panti asuhan,"
"Bukan, bukan seperti itu maksudku. Begini saja, ok jika kau tidak suka makanan disini, tidak masalah. Aku akan membelikanmu bubur ayam, setuju?"
"Tapi kau belum selesai makan siang,"
"Tidak masalah, bisa aku bungkus makananku dan aku makan siang di kantor saja,"
Akhirnya Stefan mewujudkan impiannya, yaitu membelikannya satu porsi bubur ayam yang di jual di pinggir jalan trotoar.
"Happy?" memberikan satu kotak sterofoam bubur ayam padanya.
"Mengapa hanya beli satu?" tanya Carissa.
"Maaf, aku tidak suka bubur ayam," jawab Stefan yang secara tidak langsung terdengar oleh si penjual bubur itu.
"Ehm..., maksudku, aku sudah kenyang. Kau lihat tadi di restoran aku makan sangat banyak sekali," ujar Stefan yang merasa sungkan pada tukang bubur itu.
"Makan siangmu saja masih belum selesai tadi,"
Stefan langsung menggiringnya masuk ke dalam mobil.
"Sungguh, kau melukai perasaan tukang bubur itu,"
"Lupakan saja, Carissa. Lagipula ia hanya tukang bubur," balas Stefan santai.
Lalu kotak bubur itu diberikan kembali pada Stefan. Stefan merasa heran padanya.
"Ada apa lagi? Mengapa kau tidak memakannya?"
"Aku tidak mau," singkat Carissa.
"Kau menginginkan ini sejak tadi di restoran, dan sekarang kau tidak mau?!" ucap Stefan kecewa.
Stefan menghembuskan nafas kasar untuk meredam emosinya.
"Sakit kan rasanya? Seperti itulah yang tukang bubur itu rasakan tadi saat kau berbicara seperti itu," sahut Carissa kemudian menyantap buburnya.
Stefan meliriknya dengan pandangan sadis dan ilfil.
"Ini enak, aku suka. Daripada makanan di restoran itu. Dan juga lebih sehat," lanjutnya sembari menikmati buburnya.
"Apa kau tahu bubur itu ada pengawetnya atau tidak?" protes Stefan.
"Tidak. Tapi yang pasti lebih banyak pengawet makanan di restoran, kan?" balas Carissa.
"Sial, ternyata setelah mengenalnya, anak ini cerewet juga," batin Stefan.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, Stefan menghubungi asistennya untuk menggantikan posisinya sementara waktu di perusahaannya. Stefan juga sudah berbelanja pakaian dan semua perlengkapan Carissa.
Sayangnya sesampai disana, Maya sedang tidak ada di rumah. Jadi yang menyambut kedatangan Carissa hanya beberapa pembantunya dan juga dua security disana.
"Memangnya Maya ada dimana?" tanya Stefan pada salah satu security.
"Dia berpamit untuk pergi bersama temannya, Tuan Maroni," jawabnya.
Carissa melihat sekeliling, ia merasa takjub dengan tempat tinggal Stefan yang sangat besar dan memiliki taman yang sangat luas. Belum lagi ketika ia mulai memasuki seisi rumahnya, Carissa merasa bagaikan seorang putri yang sedang memasuki istana megah.
"Ayo, aku antarkan ke kamarmu," menuntun Carissa ke lantai kedua.
Carissa tersenyum melihat kamar tidurnya yang sudah tertata rapi dan bersih. Lalu menatap Stefan.
"Apa? Masuklah, ini memang kamarmu,"
Carissa pun memeluk Stefan untuk pertama kalinya. Sementara Stefan masih belum terbiasa dengan hal itu.
"Terima kasih, Stefan," ucap Carissa.
Kemudian Stefan menyamakan tingginya dengan Carissa.
"Mulai detik ini, panggil aku Ayah. Karena kau sudah resmi menjadi putri tunggalku," balas Stefan yang juga membalas senyumnya.
"Kalau aku tidak mau? Apa kau akan mengusirku?"
"Ehm..., mungkin saja," jawab Stefan dengan menyipitkan kedua matanya.
"Coba saja,"
Carissa pun berlari menjauh darinya. Dan Stefan mengejarnya hingga kelelahan. Dari sini lah mereka berdua mulai akrab satu sama lain.
Sampai tiba-tiba saja Carissa tak sengaja menabrak Maya yang baru saja pulang ke rumah, hingga ia terjatuh tersungkur.
"Siapa kau?"
Carissa tak menjawabnya, hanya rasa takut yang ia rasakan ketika melihat tampang serius dari Maya.
"Carissa?! Dimana kau?!" panggil Stefan dari kejauhan.
"Hei, kau tidak apa-apa?" tanya Stefan saat mengetahui bahwa Carissa terjatuh dihadapan istrinya dan membantunya untuk berdiri.
"Siapa anak yang tak tahu diri ini?!" tanya Maya dengan tegas.
"Dia Carissa. Anak kita, Maya. Bisakah kau ramah sedikit padanya?" balas Stefan yang tidak terima dengan nada bicara istrinya.