"Saya dan para prajurit terpilih akan pergi ke perbatasan hari ini juga. Menurut informasi yang saya dapatkan sebagian wilayah di pesisir utara sudah diduduki oleh Belanda."
"Apa?" Sultan Iskandar tercekat. Hampir setiap hari kabar mengejutkan selalu menghampirinya dan seperti tidak ada habisnya.
"Apakah itu pertanda kita harus berperang seperti yang terjadi di pulau Jawa?" Sultan Iskandar memijat keningnya yang berdenyut.
"Aku tidak yakin bisa menang dari para penjajah itu!" guman Sultan Iskandar dengan nada lesu.
"Aku pikir juga seperti itu, Sultan. Karena semakin merosotnya pertahanan kerajaan membuat kerajaan kita menjadi bagitu lemah," tutur Senopati Ganjar. "Dan hal yang lebih menyedihkan lagi adalah kerajaan pesisir sudah tidak lagi memiliki kekuatan dimata kerajaan lain. Kini mereka memandang kerajaan kita seperti sampah, imbuh Senopati Ganjar penuh penekanan.
Sedari tadi Panglima Zubair memilih untuk diam dan tidak menjawab. Lelaki itu mencerna setiap ucapan Senopati Ganjar yang terkesan melebih-lebihkan dari kenyataan yang terjadi sebenarnya.
"Baiklah Senopati, pergilah sekarang! Perjalanan yang kamu tempuh cukup jauh, kamu harus sampai di perbatasan sebelum malam datang. Dan segera laporkan padaku apa yang terjadi di sana," ucap Sultan Iskandar. Lelaki yang usianya hampir setengah abad itu berusaha menepis kegelisahan yang bergelayut pada benaknya.
"Baik Sultan!" ucap Senopati Ganjar bangkit dari bangku yang berada di hadapan Sultan Iskandar.
Di dalam ruangan itu kini hanya ada Sultan Iskandar dan Panglima Zubair. Setelah kepergian Senopati Ganjar bersama beberapa para pengawal yang mengikutinya untuk memastikan apa yang terjadi di daerah perbatasan.
"Apa yang ingin kamu sampaikan, Panglima?" lirih Sultan Iskandar dengan wajah kusut. Tergambar jelas, beban berat yang dipikul Sultan Iskandar.
"Musuh kita tidak hanya para pemberontak Belanda yang menduduki kawasan kita, tetapi sebenarnya ada musuh yang lebih sangat berbahaya lagi, Sultan," ucap Panglima Zubair membuat Sultan Iskandar mengernyitkan dahi.
"Apa maksudmu, Panglima?" sahut Sultan Iskandar dengan wajah penasaran.
"Aku tidak bisa menjelaskannya saat ini kepada Sultan. Hanya saja, nanti pasti aku akan menunjukkan kepada Sultan, siapa musuh kita yang sebenarnya," ucap Panglima Zubair dengan wajah merah menyala dan tangan mengepal.
"Apakah maksud kamu ada orang yang sengaja ingin menghancurkan kerajaan kita?" batin Sultan Iskandar semakin menerka jauh.
"Sultan tidak perlu memikirkan hal itu. Yang terpenting saat ini, tetap lindungi para ulama untuk menyebarkan agama Islam. Biar saya yang melihat sendiri ke daerah perbatasan. Apa yang sebenarnya terjadi di sana. Benarkah hasil bumi kita dicuri ataukah justru memang sengaja diperjualbelikan." Panglima Zubair mengakhiri ucapannya penuh penekanan dan Sultan Iskandar hanya diam dengan wajah berpikir.
*****
"Putih, untuk kali ini aku tidak bisa membawamu! Baik-baik kamu di sini," ucap Panglima Zubair pada kuda putih kesayangan, dengan tangan membelai kuda putih itu.
"Panglima, sebenarnya kamu mau pergi ke mana?" Pengawal Zakir mengikuti langkah Panglima Zubair yang menuntun kuda hitam milik pengawal Zakir.
"Aku hanya ada sedikit urusan yang harus kuselesaikan dan aku menitipkan kuda putihku di sini!" Panglima Zubair sekilas melihat pada kuda putih miliknya yang berada di depan halaman rumah Pengawal Zakir kemudi menatap pada lelaki yang mengekorinya.
"Jadi hari ini, Panglima benar-benar tidak ingin mengajakku?" Pengawal Zakir menaikan kedua alisnya.
"Tidak, kamu cukup jaga kuda putihku dan tetap awasi istana dan terutama Sultan Iskandar," ucap Panglima Zubair yang sudah naik ke atas kuda milik Pengawal Zakir.
"Baiklah Panglima!" sahut Pengawal Zakir mengangguk-angguk.
Panglima Zubair memacu kuda hitam itu menuju daerah perbatasan pesisir pantai utara. Tanpa sepengetahuan Senopati Ganjar, ia ingin memata-matai dan membuktikan rasa keingintahuannya.
Hampir separuh perjalanan, Panglima Zubair dapat melihat para rombongan Senopati Ganjar. Panglima Zubair memutuskan untuk memelankan laju kudanya dan mengikuti rombongan Senopati Ganjar dari kejauhan.
"Kenapa mereka berhenti?" Panglima Zubair mengeryitkan dahi. Sesuatu hal yang aneh sepertinya sedang terjadi pada rombongan Senopati Ganjar.
Dari kejauhan Panglima Zubair terus mengawasi rombongan. Senopati Ganjar pun melanjutkan perjalanan hanya dengan beberapa pengawal saja. Beberapa pengawal yang lainnya memutar arah berlawanan, kembali pulang ke istana.
"Panglima!" Pengawal itu terkejut melihat Panglima Zubair sudah berada di depan mata mereka.
Panglima Zubair menggertakan rahangnya. sorot matanya tajam menatap kepada beberapa pengawal yang terhenti dengan wajah ketakutan.
"Berapa uang suap yang sudah Senopati Ganjar berikan kepada kalian?" cetus Panglima Zubair dengan gigi yang bergemelutuk, menakutkan.
Beberapa lelaki yang berada di hadapan Panglima Zubair saling tertunduk dan terdiam. Tubuh mereka bergetar karena ketakutan.
"Katakan!" sentak Panglima Zubair menaikan nada suaranya. Matanya membulat penuh pada para prajurit yang tercekat mendengar teriakannya.
"Ti-tidak Panglima!" lirih seorang prajurit yang berada di ujung barisan dengan suara yang sangat pelan sekali.
Panglima Zubair turun dari atas kuda menghampiri prajurit itu. "Tidak apanya?" Panglima Zubair mencengkram mulut kuat mulut prajurit itu hingga mengerucut.
"Maaf Panglima, Senopati Ganjar meminta kami untuk kembali pulang dan merahasiakan semua ini," sela seorang prajurit yang disambut anggukan lembut oleh beberapa prajurit yang lainnya.
Panglima Zubair menghempas kasar wajah prajurit yang berada dalam cengkeramannya.
"Lalu kenapa kalian mau? Kalian itu sudah seperti seorang penghianat, tau!" cetus Panglima Zubair penuh penekanan. Wajahnya meradang menyapu ke sekeliling.
"Maaf Panglima! Maaf, kami takut, karena Senopati Ganjar mengancam akan membunuh kami jika kami tidak menurut," ucap prajurit paling ujung.
"Dasar penghianat! Cih!" decih Panglima Zubair kesal.
Panglima Zubair kembali menaiki kudanya. Meninggalkan beberapa prajurit yang mematung ketakutan. Dadanya bergemuruh, dugaannya tidak lagi sebuah prasangka buruk. Melainkan sebuah kenyataan bahwa Senopati Ganjar sudah berkhianat pada kerajaan pesisir.
****
"Di sini kalian bertugas untuk mengawasi para petani itu dan pastikan barang-barang mereka berkualitas baik. Karena Tuanku tidak mau menerima hasil rempah-rempah dengan kwlaitas yang buruk," ucap Senopati Ganjar pada para prajurit yang masih mengikutinya sampai daerah perbatasan di pesisir utara. Ia menunjuk pada petani rempah-rempah yang berada di daerah perbatasan.
"Baik Tuan!" sahut mereka serentak.
"Dan pastikan, tidak ada satu pun yang boleh tahu tentang perdagangan ini. Sekalipun rakyat biasa ataupun para petani petani itu." Senopati Ganjar mengakhiri ucapannya dengan penuh penekanan. Sorot matanya menatap satu persatu prajurit baru yang berada di hadapannya.
"Jika satu diantara kalian ada yang berkhianat, jangan salahkan saya, jika keluarga kalian yang berada di rumah akan mati!" desis Senopati Ganjar dengan nada mengancam. Membuat para prajurit baru itu bergidik ngeri.
Sebuah tepuk tangan membuat Senopati Ganjar terkejut. Seketika ia menoleh ke arah seseorang yang berada di atas kuda seraya menatap nyalang kepadanya.
"Senopati Ganjar, jadi ini yang sedang anda lakukan di sini?" seloroh Panglima Zubair dengan tersenyum sinis.
Wajah Senopati Ganjar berubah pucat. "Panglima Zubair!" Lelaki itu terlihat gugup sekali.
****
Bersambung ...
— Bab baru akan segera rilis — Tulis ulasan