"Syarat!" Panglima Zubair mengurungkan niatnya untuk meninggalkan tempat hiburan itu.
Ia menarik wajahnya mendekat kepada wanita cantik yang berada di depannya. Sehingga mengikis jarak diantara mereka yang semakin dekat.
"Katakan, apa yang harus aku lakukan?" Panglima Zubair menatap penasaran kepada wanita yang berada di depan.
Wanita itu memainkan baju yang Panglima Zuhair kenakan. Membuat mereka hampir tidak memiliki jarak. "Temani aku tidur malam ini!" desis wanita itu dengan nada berbisik yang sangat menggoda.
Panglima Zubair mendorong tubuh wanita yang berada di hadapannya dan hampir saja terjatuh.
"Maaf, saya sama sekali tidak berminat!" decih Panglima Zubair dengan kasar memutar tubuhnya menuju pintu keluar tempat hiburan.
"Dasar lelaki sombong! Lihat saja kamu tidak akan pernah bisa menemukan Tuan Fred!" Wanita yang sedang bersungut-sungut itu meneriaki Panglima Zubair yang menolak keinginannya.
Sudah hampir separuh perjalanan menuju kerajaan Sultan Iskandar. Panglima Zubair tidak juga mendapatkan jawaban apapun. Lelaki gagah itu memberhentikan derap langkah kaki kuda yang sedang ia naiki di bawah sebuah pohon besar. Sesaat Panglima Zubair mengedarkan pandangannya ke sekeliling hutan. Sebelum akhirnya ia memutuskan untuk turun dan melaksanakan salat dzuhur karena terik matahari sudah berada di atas kepalanya.
"Aslamualaikum wa rahmatullah wabarokatu!" Panglima Zubair memalingkan wajahnya ke kiri dan ke kanan setelah menyelesaikan salat Dzuhur. Beberapa saat lelaki gagah itu terlihat khusuk memanjatkan doa.
"Ale .... Ale .... Ale!"
Suara merdu nyanyian itu terdengar masuk dalam indra pendengaran Panglima Zubair. 'Sepertinya itu adalah sebuah lagu yang dinyanyikan saat melakukan pemujaan oleh para suku Kantil.'
Panglima Zubair bangkit. Meninggalkan kuda putih miliknya setelah mengikat tali kuda pada sebuah akar pohon besar. Panglima Zubair mengikut arah sumber suara. Kini bukan hanya ada satu suara lagi, melainkan banyak suara yang sedang menyanyikan lagu pemujaan itu secara bersamaan.
"Astaghfirullahaladzim!" Panglima Zubair mengusap dada melihat pemandangan yang berada di depan matanya.
"Apa yang sedang kalian lakukan?" ucap Panglima Zubair menghentikan acara pemujaan yang sedang berlangsung oleh beberapa kaum adat dan seorang lelaki yang berada di bagian tengah kerumunan dengan seekor kerbau sebagai tumbal, tentunya.
"Siapa kamu?" cetus pria yang sepertinya adalah lelaki asing yang bukan berasal dari kaum adat yang tinggal di pulau Sumatera.
"Aku adalah Panglima Zubair! Panglima dari kerajaan Sultan Iskandar," tegas Panglima Zubair.
Lelaki itu tertawa dengan tawa mengejek pada Panglima Zubair. Memang, setelah kejadian buruk yang menimpa kerajaan Sultan Iskandar. Kerajaan itu kini sudah tidak disegani lagi, apalagi hampir semua kekayaan istana terkuras habis oleh seseorang misterius yang belum di ketahui.
"Oh, Panglima yang telah kehilangan taringnya itu!" hina lelaki itu pada Panglima Zubair dan diakhiri dengan gelak tawa.
Panglima Zubair tak bergeming. Ia menatap kepada pria yang mengenakan jarik berwarna batik yang terikat pada bagian pinggang hingga ke lutut mereka. "Pergilah, jangan menganggu persembahan kami!" cetus lelaki itu penuh penekanan.
"Aku akan tetap di sini!" balas Panglima Zubair penuh penekanan. Sorot matanya tajam melihat kepada lelaki berwajah merah padam itu.
"Jangan katakan kamu ingin menghentikan ibadah kami. Karena kami tidak akan pernah mau memeluk agama sesatmu itu!" Lelaki itu memicingkan matanya pada Panglima Zubair.
"Agama mana yang menyesatkan, Tuan?" cetus Panglima Zubair. "Agama yang menyembah iblis atau menyembah Tuhan!" imbuh Panglima Zubair dengan nada sinis.
"Kurang ajar!" Lelaki itu marah.
Para penduduk suku adat yang berkumpul perlahan membubarkan diri mereka melihat lelaki yang memimpin persembahan itu murka.
"Jika Tuhanmu ada, maka datangkan lah pada kami saat ini juga, di mana dia?" tantang Lelaki itu.
"Tuhanku tidak pernah meninggalkanku. Bahkan sekalipun aku sedang tidak memanggilnya!" sahut Panglima Zubair.
"Buktikanlah Panglima, datangkanlah pada kami!" balas lelaki itu terus memprofokasi para suku ada yang masih berada di tempat itu.
Panglima Zubair tidak bergeming. Meskipun di dalam hatinya tidak berhenti sedikitpun untuk melafalkan kalimat dzikir dan meminta perlindungan pada Allah SWT.
Lelaki yang berada di hadapan Panglima Zubair tersenyum sinis. "Lihatlah, lelaki yang memeluk agama tersesat itu, dia tidak akan bisa membuktikan keberadaan Tuhannya." Lelaki itu menunjukan pada para penduduk suku adat tentang kebohongan agama Panglima Zubair.
Lelaki yang berdiri tidak jauh dari Panglima Zubair itu memejamkan kedua matanya. Bibirnya mulai merapalkan mantra. Panglima Zubair tau, apa yang sedang lelaki itu lakukan. Ia sedang berusaha untuk melukai Panglima Zubair tanpa menyetuh.
Bruak!!
Dooor!!
Suara ledakan dari dalam bumi, membuat para penduduk suku adat ketakutan. Kerbau yang akan disembelih itu pun tiba-tiba meledak dan berhamburan. Sementara lelaki dari suku kantil itu memuntahkan dares segar dari mulutnya.
"Lihatlah, memang Tuhanku tidak pernah nampak di mata kalian. Tetapi Tuhanku selalu nampak di mata orang orang yang meyakininya!" tegas Panglima Zubair.
"Kurang ajar kamu, Panglima! Lihat saja aku akan memberikan perhitungan kepadamu!" Ancam lelaki dari suku kantil yang tersungkur di atas tanah dengan luka dalam yang cukup parah. Karena mantra yang akan dikirimkan kepada Panglima Zubair justru kembali kepada dirinya sendiri.
Panglima Zubair melepaskan tali kuda putih miliknya yang berada pada akar pohon. Lelaki itu kemudian naik.
"Panglima, tunggu!" seru seorang lelaki dari penduduk suku adat menghampiri Panglima Zubair. Bersama beberapa suku adat yang lainnya.
"Ada apa, Tuan?" tanya Panglima Zubair.
"Izinkan kami semua untuk memeluk agama seperti keyakinan, Panglima!" tutur lelaki itu disambut bahagia oleh Panglima Zubair.
"Alhamdulillah!"
****
Sudah tidak ada lagi pemberontak yang berani mengganggu para warga suku adat untuk memeluk agama Islam. Meskipun kini kejayaan kerajaan Sultan Iskandar sedang berada di ujung tanduk. Tetapi, dengan adanya Panglima Zubair dan para ulama yang mengelilingi Sultan Iskandar membuat penyebaran agama Islam masih berjalan cukup baik di tahan pesisir.
"Sultan, saya mau melaporkan, berperan santri yang kita kirim ke pelosok daerah tiba-tiba menghilang?" Lapor seorang prajurit pada Sultan Iskandar.
"Hilang? Bagaimana bisa?" Sultan Iskandar terkejut mendengar laporan dari salah satu prajuritnya. Begitu juga dengan Panglima Zubair dan Syeh Jalaludin yang kebetulan berada di istana Sultan Iskandar. Tapi tidak dengan Senopati Ganjar yang terlihat santai.
"Sudah kuduga, mereka sedang merubah strategi!" decih Panglima Zubair. "Karena kini tetua suku kantil sedang gencar ingin mengembalikan kepercayaan masyarakat suku adat pada agama mereka yang dulu." Wajah Panglima Zubair terlihat berpikir.
"Ini benar-benar tidak bisa di biarkan!" cetus Sultan Iskandar geram.
"Mulai hari ini setiap para ulama yang menyebarkan agama ke pelosok daerah harus memiliki seorang pendamping. Karena jika tidak, maka hal itu akan sangat membahayakan para ulama," tutur Panglima Zubair Senopati Ganjar tersenyum sinis.
****
Bersambung ....