Unduh Aplikasi
28.57% PANGLIMA ZUBAIR / Chapter 4: Bab 4

Bab 4: Bab 4

Pengawal yang hendak menghampiri Panglima Zubair memutar tubuhnya. Ia berlari menuju kerumunan orang-orang yang sedang melihat mayat wanita yang mengapung itu.

Pengawal itu membelah kerumunan untuk mengikis jarak. Sementara Panglima Zubair terdiam di atas kuda. Meskipun pada akhirnya rasa penasaran di dalam dadanya jauh lebih besar.

"Wah, mayatnya wanita! Kasian sekali!"

"Bagaimana keluarganya bisa mengenali, jika wajahnya sudah rusak seperti itu!"

Ucapan-ucapan orang yang melihat mayat terapung itu membuat gemuruh pada dada Panglima Zubair.

Panglima Zubair menyingkirkan satu persatu orang yang berkerumun menghalangi jalannya. Jarak yang semakin dekat membuat sang Panglima dapat melihat dengan jelas mayat yang mengapung di tepi sungai itu. Namun ia masih belum mengenali wajahnya.

"Ratu Salma!" ucap pengawal yang membersamai Panglima Zubair. Lelaki yang kini berdiri di depan Panglima Zubair, yang jaraknya lebih dekat dengan bangkai manusia bergaun merah muda itu.

"Panglima sepertinya itu adalah Ratu Salma!" Pengawal itu tercekat. Jari telunjuknya mengarah kepada mayat yang mengapung dengan dugaan-dugaannya.

Panglima Zubair menghela nafas panjang. Ia merasa lega, mayat dengan wajah rusak itu bukanlah Mayang.

"Bagaimana kamu tahu jika itu adalah Ratu Salma?" seloroh Panglima Zubair, menatap dengan seksama pada mayat yang belum jelas itu.

Pengawal yang kini berdiri mensejajari panglima Zubair menoleh. "Aku tau, itu adalah gaun terkahir yang Ratu Salma kenakan sebelum pasukan berangkat meninggalkan istana!" jelas pengawal pada sang Panglima.

"Minggir!" teriak suara lantang membuat kerumunan membubarkan diri tapi tidak dengan Panglima dan pengawalnya. Mereka hanya menggeser sedikit tubuhnya memberikan jalan pada para petugas yang akan mengambil mayat itu.

Dua orang turun ke tepi sungai dengan membawa sebuah papan yang akan digunakan untuk mengevakuasi mayat yang di duga adalah Ratu Salma.

"Sepertinya mayat ini sudah berhari-hari!" guman seseorang yang membawa mayat di atas papan itu naik ke atas sungai.

"Apakah anda mengenali mayat ini?" Seorang pria bertubuh besar bertanya pada Panglima Zubair.

Lelaki itu tak bergeming. Ia memang tidak mengenali wajah mayat itu, tapi sebuah cincin yang melingkar pada jari manis mayat itu membuat hatinya hancur.

Panglima Zubair berhambur menghampiri mayat yang baru saja di letakan di tepi sungai besar itu.

"Mayang! Mayang!" Tangis sang Panglima tidak peduli dengan kondisi mayat yang sudah mengerikan itu.

"Panglima!" Pengawal itu terkejut. Ia berusaha menarik tubuh Panglima Zubair yang hendak menjatuhkan diri pada mayat beraroma busuk yang ada di atas papan penyelamatan.

"Dia bukan Cik Mayang, Panglima!" Pengawal itu berusaha menyadarkan Panglima Zubair yang semakin kacau. Ia menarik tubuh sang Panglima menjauh dari mayat.

"Dia adalah istriku, Zakir. Dia bukan Ratu Salma!" cetus Panglima Zubair terisak.

Pengawal yang bernama Zakir itu pun tercekat mendengar ucapan Panglima Zubair. Mayat yang ia pikir adalah ratu Salma ternyata tidak lain adalah Mayang.

"Lihat! itu adalah cincin pemberianku saat kami menikah beberapa bulan yang lalu, Zakir!" Panglima Zubair yang terpukul menunjuk pada jari manis mayat wanita itu.

"Mayang! Mayang! Kenapa kamu meninggalkan aku Mayang!" teriak Panglima Zubair histeris dengan tubuhnya meronta hendak berhamburan pada jenazah Mayang.

****

Beberapa hari setelah penemuan jenazah Mayang. Sang Panglima gagah itu seperti telah kehilangan semangat hidup. Ia mengurung diri di dalam rumah panggung miliknya. Rumah yang memberikan banyak kenangan dan impian bermasa gadis cantik putri Minang.

"Bagaimana, apakah Panglima sudah mau keluar?" tanya Sultan Iskandar pada Senopati Ganjar yang baru saja kembali dari rumah Panglima Zubair.

"Belum, sepertinya Panglima Zubair sangat terpukul dengan kematian Mayang," tutur Senopati Ganjar.

Sutan Iskandar sejenak berpikir lalu mendengus berat. "Lalu, apakah kita sendiri yang harus mencari siapa dalang dari semua ini?" ucap Sultan Iskandar.

"Sepertinya kita memang harus meninggalkan Panglima Zubeir. jika Sultan mengizinkan, biarkan saya saja yang menyelesaikan semua masalah ini." Senopati Ganjar memohon persetujuan Sultan Iskandar.

Sultan Iskandar menatap lekat pada Senopati Ganjar. Pria muda yang ia angkat menjadi Senopati itu belum pernah sekalipun mendapatkan tugas yang berarti selama menjadi Senopati. Tidak ada salahnya juga jika Sultan Iskandar memberikan tugas itu pada Senopati.

"Baiklah, aku harap kamu tidak mengecewakanku. Meskipun aku lebih suka, menyerahkan tugas ini pada Panglima Zubair," ucap Sultan Iskandar seperti sedang membandingkan Panglima Zubair dan Senopati Ganjar.

"Baiklah Sultan, saya pasti akan mengerjakan tugas jauh lebih baik dari Panglima Zubair!" ucap Senopati Ganjar tersenyum kecil pada Sultan Iskandar yang memalingkan wajahnya.

'Aku jauh lebih hebat daripada Zubair. Lelaki itu tidak pantas untuk menjadi seorang panglima!'

****

Lelaki berambut pirang itu tengah sibuk memainkan kartu yang berada di tangannya. Wajahnya terlihat berpikir sesaat sebelum ia melempar kartu keberuntungan di atas meja.

"Tuan Fred, Senopati Ganjar datang untuk menemui anda?" bisik seorang pelayan tempat hiburan pada Tuan Fred.

Lelaki berdarah Belanda itu mengangguk lembut. "Baiklah, suruh Senopati menungguku!" ucap Tuan Fred pada pelayan yang berlalu setelah mendengarkan pesannya.

Tuan Fred melemparkan kartu as miliknya ke atas meja. "Aku memang, dan kalian harus membayar gadis itu untukku! Hahaha ... !" Tuan Fred tertawa kemenangan, seraya menunjuk kepada gadis cantik yang duduk tidak jauh dari tempatnya berada.

"Kamu curang, Fred!" gerutu seseorang pada Tuan Fred yang bangkit dari bangku.

"Aku tidak curang, kawan! Hanya kalian saja yang tidak pandai main kartu," sahut Tuan Fred menyunggingkan ulasan senyuman.

"Baiklah, sepertinya aku harus pergi dulu!" ucap Tuan Fred berlalu meninggalkan meja judi menghampiri wanita piala itu.

Tuan Fred menggandeng wanita cantik itu menyusuri lorong di tempat hiburan. Senopati Ganjar terlihat sudah menunggunya di sebuah paveliun yang berada di halaman belakang tempat hiburan milik Tuan Fred.

"Senopati!" sapa Tuan Fred menjatuhkan pelukan kepada Senopati Ganjar untuk sesaat.

"Aku tidak suka berbasa-basi, Fred!" celetuk Senopati Ganjar menolak pelukan Tuan Fred.

Lelaki berdarah Belanda itu tersenyum lebar. "Baiklah Senopati, aku tahu hidupmu memang sangat tidak indah!" Tuan Fred menarik gadis cantik yang membersamainya duduk pada bangku.

Senopati Ganjar menjatuhkan tubuhnya duduk pada bangku yang berada di hadapan Tuan Fred dan gadis muda itu.

"Apa saja yang sudah kamu lakukan pada Mayang, istri Panglima Zubair?" Senopati Ganjar menjatuhkan tatapan tajam kepada Tuan Fred.

Lelaki berambut pirang dengan tubuh kurus tinggi itu terkekeh. "Aku tidak melakukan apapun kepada wanita itu. Aku hanya ingin mencicipi tubuhnya sedikit saja!"

Bruak!

Senopati Ganjar memukul meja yang berada di hadapannya dengan keras.

"Bukankah aku sudah mengatakan kepadamu! Jangan pernah sentuh sedikit Mayang!" Senopati Ganjar menaikkan nada suaranya. Wajahnya menyeringai menatap kepada Tuan Fred.

"Aku hanya ingin bermain-main saja. Tidak untuk serius menyentuhnya!" debat Tuan Fred melepaskan pelukannya pada gadis muda yang duduk di sampingnya.

"Tapi kenapa kamu membunuhnya, Fred!" decih Senopati Ganjar mengertakan rahangnya.

****

Bersambung ....


Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C4
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk