"Sagara?" panggil Metha dengan mengerutkan keningnya heran. Ia menarik kembali kakinya yang sudah berpijak pada tangga untuk masuk ke dalam mobil.
Seorang pria yang dipanggil Sagara mendekat ke arah Metha dengan senyuman lebar yang tercetak jelas di wajah manisnya.
"Apakah kau mau mengantarkan pesanan?" tanya Sagara setelah berdiri di hadapan Metha.
Metha tersenyum canggung. "Iya," jawabnya singkat. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi.
Sagara merupakan salah satu rekan kerjanya di toko bunga. Badannya tidak terlalu tinggi, rambut yang bergelombang dan kulit yang berwarna sawo matang. Ia selalu saja berusaha mendekati Metha, meski Metha membalasnya dengan singkat atau bahkan tidak merespon.
Bukannya Metha sok jual mahal tidak ingin didekati oleh pria berambut gelombang itu. Namun, wajahnya yang terlihat licik membuat ia harus waspada.
"Kebetulan banget aku juga ingin mengantarkan pesanan, bagaimana jika kita bareng-bareng?" ajak Sagara menaik-turunkan kedua alisnya.
Metha menatap ke arah belakang Sagara di mana ada sebuah motor Vespa dengan kotak bunga berukuran kecil yang disimpan di jok bagian depan.
Ia menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Mohon maaf, Sagara. Pesanan yang harus aku antarkan berukuran besar dan aku juga diperintahkan untuk memakai kendaraan umum agar tidak ada yang lecet pada pesanan ini," jelasnya. Ia memalingkan wajahnya ke arah angkot yang masih setia menunggu dirinya kala kedua mata tajam Sagara menatapnya dengan begitu dalam membuat jantung dirinya berdetak cepat. Sekarang ia merasa takut berhadapan dengan Sagara apalagi dalam situasi seperti ini.
Tangan Sagara terulur mencekal tangan Metha yang terasa dingin. "Kau jangan terus menolakku!"
Metha tersentak, tanpa sadar ia langsung menepis tangan Sagara dari tangannya. "Aku tidak bermaksud seperti itu," alibinya. Padahal ia menggunakan alasan itu berniat untuk menghindar dari Sagara.
"Aku berangkat terlebih dahulu. Pelanggan sudah menunggunya di tempat," ucap Metha cepat yang kemudian berbalik memasuki angkot dengan tergesa-gesa takut-takut Sagara akan menahan dirinya lagi.
Di samping itu Sagara mengepalkan kedua tangannya, menatap kepergian angkot yang sudah mengecil dalam pandangannya dengan begitu nyalang. "Tunggu saja, suatu hari nanti kau pasti akan aku miliki, Metha!"
****
Metha menatap sekelilingnya, ia telah sampai di kediaman Robert. Kedua tangannya memeluk erat bucket untuk menyalurkan rasa takutnya, keringat dingin sudah membanjiri kening serta kedua telapak tangan dirinya.
Dari luar saja rumah Robert sudah terlihat menyeramkan, berwarna abu dan merah sangat pas menggambarkan jati diri Robert yang angkuh dan pemaksa sangat terlihat seperti iblis yang akan memangsa korbannya.
Robert merupakan seorang pria yang sudah berkepala enam, dari dulu dia selalu saja mengejar-ngejar Metha untuk dijadikan sebagai istri yang entah ke berapa.
Menjanjikan harta kekayaan yang melimpah sebagai fasilitas mewah untuk Metha setelah mereka menikah. Namun, Metha sama sekali tidak tergiur dengan janji manis itu.
Ia sudah beberapa kali menolak. Namun, tetap saja Robert terus mengincarnya bahkan sampai datang ke rumah.
Luxe sangat mendukung dirinya untuk bersanding dengan Robert, entah apa yang Robert tawarkan pada Luxe hingga membuat Luxe selalu melakukan berbagai cara agar ia dekat dan menerima pria berkepala enam itu, salah satunya dengan cara seperti ini, mengantarkan pesanan pada Robert.
Dengan penuh keberanian Metha melangkah membuka gerbang utama yang tidak pernah dikunci, ia tidak tahu alasannya kenapa.
Sepi dan Gelap! Itulah kata yang menggambarkan keadaan rumah Robert sekarang. Tidak ada satu pun kendaran yang terparkir di halaman. Tidak ada satu nada pun yang keluar dari mulut burung-burung gagak, hanya suara derap langkah dari dirinya lah yang memenuhi kedua telinganya.
Metha menghembuskan napas panjangnya setelah ia sampai di depan pintu yang menjulang tinggi.
Ting nong
Ting nong
Jari telunjuknya berhasil menekan bel sebanyak dua kali.
Metha memejamkan kedua matanya sejenak untuk mengatur detak jantung yang sedari tadi ribut tidak mau tenang.
"Hey, kau sudah datang?"
Metha tersentak kaget kala sebuah suara bass memenuhi telinganya. Ia menatap ke depan, mendapati sosok pria yang ia takutkan kini hadir di depan matanya.
"T-tuan Robert," ucapnya terbata-bata.
Robert melebarkan senyuman manisnya. Namun, bagi Metha senyuman itu terlihat seperti iblis.
"Silahkan masuk terlebih dahulu, wahai calon istri." Robert menggeserkan badannya menjadi menyamping dan merentangkan tangan kanannya terlihat seperti seorang pengawal yang mempersilahkan sang atasan untuk masuk ke dalam.
Dengan susah payah Metha mengumpulkan semua keberaniannya. "Te-terima kasih. Tapi, aku hanya mengantarkan pesanan ini." Ia menyodorkan bucket bunga yang sedari tadi berada dalam pelukannya.
Bukannya menerima Robert malah tertawa renyah. "Saya menyuruhmu untuk masuk terlebih dahulu bukan langsung memberikanku bucket bunga itu," jelasnya kembali menarik tangannya yang baru saja terulur. Kini ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada sangat terlihat jiwa penguasanya.
"Tidak, Tuan. Aku sedang terburu-buru, masih banyak pesanan yang harus aku antarkan," jelas Metha mencoba menolak secara halus. Namun, apa yang barusan ia ucapkan hanyalah sebuah kebohongan. Nyatanya tidak ada pesanan lagi yang harus ia antarkan.
Robert masih saja tidak menerima bucket bunga itu, ia hanya menatapnya dengan datar. "Menikahlah denganku atau minimal menerima lamaranku, maka kau akan terlepas dari semua pekerjaan sampah itu."
"Tuan, mohon terima pesanan ini dengan segera!" titah Metha sedikit menaikkan nada suaranya. Ia sama sekali tidak menghiraukan apa yang diucapkan Robert barusan.
"Saya tidak akan menerima itu sebelum kau masuk ke dalam rumah terlebih dahulu!" jawab Robert sama halnya dengan Metha, menaikkan nada suaranya.
"Aku mohon, Tuan. Jangan memaksa aku!" ucapnya lirih namun terkesan tegas. Ia melangkah menuju meja yang tidak jauh berada di sampingnya, meletakkan bucket bunga mawar merah itu di sana dengan penuh hati-hati, "Aku simpan pesanannya di sini, Tuan," ucapnya lagi memberitahu.
Ia menundukkan kepalanya, meremas-remas jarinya untuk menyalurkan perasaan yang sedang ia rasakan sekarang. Ia tahu, benar-benar sangat tahu jika Robert tengah menatap dirinya tajam, sangat terasa aura tidak enak yang dikeluarkan dia.
"Aku izin pamit, terima kasih. Semoga Tuan menyukai pada pesanannya,"ujar Metha berusaha ramah. Namun, kepalanya masih tetap saja menunduk.
Kaki kanannya mulai melangkah mundur dengan perlahan seakan sedang memberikan ketenangan pada seekor macan yang baru saja tertidur.
Metha sama sekali tidak ingin melihat reaksi yang ditunjukkan Robert, pasti dia sudah terlihat seperti iblis yang sudah siap untuk menyiksa korbannya. Namun, ia berusaha untuk tidak mempedulikan itu. Yang ia harapkan sekarang adalah cepat-cepat pergi dari rumah bak neraka ini dan pulang ke rumah dengan selamat tanpa ancaman.
Metha berbalik dan siap untuk melangkah dengan cepat, namun.
Grep!
"Aakkhh, tolong!"
"Hey! Sstt, diam!"
"Tidak. Mohon lepaskan aku, aku ingin pulang!"
Metha terus memberontak. Kedua pundaknya dicekal kuat oleh Robert dan diseret untuk masuk ke dalam rumah.
"Kenapa kau memaksaku!" teriak Metha menatap Robert yang berada di dekatnya dengan nyalang.
"Saya tidak akan memaksamu jika kau menurut!"
Bruk!
"Aws," Metha meringis mengusap pinggangnya yang terasa sakit akibat Robert mendorong tubuhnya pada kursi dengan kasar.
"Dasar gadis pembangkang!" desis Robert. Ia menatap Metha dengan senyuman miringnya.
Metha menggelengkan kepalanya kuat saat tangan kekar Robert akan menyentuh dagunya. Ia berusaha berdiri dari duduknya. Namun, sangat susah. Robert kembali menekan pundaknya.
"Lepaskan aku! Dasar pria tua!" bentak Metha. Ia terus mencoba untuk berdiri.
"Ouh, ternyata kau sudah mulai berani membentakku, gadis kecil!" Robert memperlihatkan wajah kagumnya. Ia tidak percaya jika Metha si gadis polos nan lugu berani membentaknya barusan.
Sepertinya ia harus mengapresiasikan ini. Ia memberikan dua jempol untuk keberanian Metha.
"Lepaskan aku!" teriak Metha lagi. Sangat tidak peduli dengan ucapan Robert barusan. Untuk sekarang ia harus mementingkan keselamatan dirinya. Jangan sampai ada sesuatu buruk yang akan terjadi di sini, ia tidak mau.
"Akh," Metha berteriak sakit. Kedua pundaknya benar-benar ditekan kuat oleh Robert.
Robert menyeringai melihat ekspresi yang ditunjukkan Metha. Ia memperkikis jarak di antara keduanya.
"Mulai malam ini kau akan menjadi milikku, Sayang," bisik Robert tepat di telinga Metha.
Metha menggelengkan kepalanya. Otaknya terus saja berputar, mencari cara agar ia bisa terlepas dari pria pedofil ini.
"Kenapa kau diam, huh? Apakah kau sudah berpasrah?" bisik Robert lagi. Lebih tepatnya mengejek, ia terkikik kesenangan.
Metha masih saja diam. Ia menatap sekelilingnya berharap ada sebuah barang yang dapat ia gunakan sebagai penyelamat dirinya. Hingga tatapannya tertuju pada satu titik. Dalam hati ia tersenyum kecil, ternyata Dewi keberuntungan sedang berpihak padanya.
Robert menarik tangannya dari pundak Metha. Sedari tadi bibirnya tidak berhenti untuk tersenyum. Bukan senyuman manis melainkan senyuman devil.
Dengan perlahan tangan kekarnya bergerak ke atas untuk membelai leher Metha yang sudah basah akibat keringat dingin.
"Bagus, sekarang kau sudah jin-"
Bugh!
"Aarrgghh!"
Bruk!
Tanpa menyia-nyiakan waktu Metha berdiri dari duduknya dengan cepat. Menatap Robert yang sudah tergeletak pingsan di atas karpet dengan memegang tengkuknya. Apakah ia terlalu jahat telah membuat orang tau seperti itu?
Metha melemparkan botol bekas alkohol ke atas kursi yang berhasil telah membuat Robert seperti itu.
Sebelum Robert kembali sadar Metha berlari ke luar dengan tergesa. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Ia sangat berharap Robert tidak mengingat dengan kejadian ini. Meski itu tidak benar-benar yakin.
Metha terus berlari menyusuri sepanjang trotoar. Beruntung, tidak ada orang di jalan ini membuat ia sedikit tenang karena tidak akan ada orang yang akan bertanya-tanya tentang dirinya.
Setelah dirasa cukup jauh dengan kediaman Robert ia memelankan pergerakan kakinya. Berhenti sejenak menatap ke depan yang melenggang kosong, memegang kedua lututnya dengan napas ngos-ngosan. Ia mengatur napas terlebih dahulu agar sedikit tenang sebelum kembali melanjutkan langkahnya.
Metha merasa jika hari ini benar-benar hari kesialan bagi dirinya.
Berawal di pertemukan dengan pria sok berkuasa nan arogan. Hingga kini hampir akan diperlakukan buruk oleh pria tua yang sama halnya penuh arogan.
Kenapa ia harus dipertemukan dengan mereka?
Metha kembali menegakkan badannya. Ia tidak tahu sekarang sudah jam berapa, semoga saja belum sampai jam sembilan malam.
Kaki kanannya mulai ia langkahkan kembali. Kesunyian malam hari mengelilingi dirinya. Angin malam membelai lembut kulitnya membuat ia merinding kedinginan, apalagi ia hanya memakai kaos kebesaran itu pun bahannya tidak terlalu tebal.
Suara-suara serangga yang memenuhi indra pendengarannya membuat dirinya tidak terlalu kesepian. Tidak ada satu pun angkot yang melaju membuat ia melangkah sedikit tergesa agar cepat-cepat sampai ke rumah. Biar saja bahan dagangannya ia ambil besok pagi, ia tidak ingin Luxe bertanya-tanya tentang Robert dan apa yang telah terjadi dengan dirinya.
Byur!
"Akh," Metha terpekik kala ada sesuatu yang mengguyur badannya. Ia menatap ke bawah dengan mulut yang ternganga lebar, ia benar-benar kaget.
Basah dan kotor! Itulah kondisi pakaian yang ia kenakan sekarang.
Metha menoleh ke samping dengan cepat untuk melihat sang pelaku. Di sana terdapat sebuah mobil mewah yang berhenti.
Ia mengerutkan keningnya, sepertinya ia mengenal mobil mewah itu.
"Mohon maaf, Nona. Apakah kau baik-baik saja?" tanya Philip menghampiri Metha dengan wajah yang merasa bersalah.
Ya, pelakunya adalah Philip dan pemilik mobil mewah itu adalah Peter.
Di satu sisi Metha ingin marah-marah karena pakaiannya jadi kotor dan basah. Tapi, melihat wajah Philip yang seperti itu membuat ia mengurungkan rasa amarahnya.
"Nona, apakah kau baik-baik saja?" tanya Philip lagi ketika Metha tidak kunjung membuka suara.
Metha tersenyum kecil menanggapinya. Ia merasa baru pertama kali ada seorang pria yang perhatian terhadap dirinya. "Kau tenang saja aku tidak apa-apa. Namun ...." Ia menundukkan kepalanya.
Philip sangat paham apa yang dimaksud Metha. Karena ini memang salah satu penyebabnya membuat ia merasa bersalah.
"Sekali lagi saya mengucapkan mohon maaf. Tadi saya tidak sadar jika ada genangan air di tengah jalan dan akhirnya Nona lah yang menjadi korbannya. Tapi, sebagai permintaan maaf izinkan saya membawa Nona pergi ke salon untuk mengganti pakaian Nona yang sudah basah dan kotor seperti ini," tawar Philip.
Metha tertegun dengan tawaran Philip barusan. Jika pria lain yang menjadi pelakunya sudah pasti ia akan di olok-olok bahkan sampai merekamnya dan dibagikan ke sosial media, ia sudah mengalami kejadian ini waktu dulu.
Akan tetapi, sangat berbeda dengan Philip. Dia sama sekali tidak mengolok dirinya. Akh, sepertinya Philip merupakan keturunan para dewa, begitu sangat baik.
"Bagiamana, Nona?" tanya Philip memastikan.
"Eum ...."
"Tidak!"
Metha dan Philip mengalihkan pandangannya kala sebuah suara menyela ucapan Metha.
"Aku tidak mengizinkan itu!" ucap Peter tegas. Melangkah mendekati Philip dengan penuh arogan. Ia membenarkan letak maskernya yang kemudain menautkan kedua tangannya di belakang pinggang.
Philip yang menyadari dengan kehadiran Peter buru-buru ia membungkukkan badannya dan berdiri di samping belakang Peter.
Sedangkan Metha memutar bola matanya malas. Lagi-lagi ia harus dipertemukan dengan pria sok berkuasa ini.
"Kau sudah pantas seperti itu. Sangat terlihat seperti seekor luntung yang sedang mencari makanan," Peter tersenyum mengejek. Entahlah ia sangat suka menghina wanita lusuh yang berada di depannya.
"Mohon maaf, Tuan. Kasihan Nona ini jika kita tidak segera membawanya ke salon, dia pasti akan kedinginan," jelas Philip berharap Peter mengeluarkan rasa empatinya.
"Aku tidak peduli."
"Tapi-"
"Sudahlah, kalian tidak perlu bertanggungjawab dengan membawaku ke salon. Aku bisa mengganti pakaianku di rumah," jelas Metha menyela ucapan Philip yang akan berprotes kembali.
Tanpa menunggu jawaban, Metha melangkahkan kakinya menjauhi mereka sebelum ia benar-benar kedinginan.
Tidak mempedulikan Philip yang terus saja berucap. Ia mengusap-usap kedua tangannya bermaksud untuk memberikan kehangatan walau hanya sedikit.
"Berhenti melangkah!"
Anda mungkin juga menyukai
Komentar Paragraf
Fitur komentar paragraf sekarang ada di Web! Arahkan kursor ke atas paragraf apa pun dan klik ikon untuk menambahkan komentar Anda.
Selain itu, Anda selalu dapat menonaktifkannya atau mengaktifkannya di Pengaturan.
MENGERTI