Renee tidak gentar, ia memegang erat-erat pedang di tangannya, para monster yang ada di depannya seperti boneka jerami, mudah dihancurkan, berbeda dengan yang ia temui di hutan berlumpur beberapa waktu yang lalu.
Mungktin Ivana sengaja mengeluarkan yang terlemah untuk menghadapinya dulu?
Renee tidak menemukan jawabannya, ia menatap lurus ke depan dan melihat jika monster-monster itu keluar dari pintu depan Mansion keluarga Emmanuel, seakan-akan tengah memancing dirinya untuk datang ke sana.
"Apakah kau menungguku di sana, Ivana?" Renee mengayunkan pedangnya ke salah satu monster yang ingin mengggigit dengan giginya yang runcing, monster itu langsung terjatuh ke tanah dan terinjak oleh yang lain.
Renee tidak khawatir meninggalkan Joy bersama Dylan di rumah kecil itu, selagi ada cahaya jingga yang melindungi, mereka akan aman dan fokus utama saat ini bukan lagi Dylan, tapi adalah dirinya.
Hal itu terbukti dari para monster yang mengabaikan rumah kecil itu dan berbalik mengejarnya, meski mereka selalu berakhir oleh cahaya jingga, tapi mereka tidak menyerah dan terus berlompatan mengejar Renee.
Renee memutar pedang, menebas dua monster yang menghalangi langkahnya, darah langsung menciprat membasahi pakaian dan sepatunya, tidak sedikitpun langkahya terhenti.
Ada monster anak-anak mendekat, lebih kecil dari Joy. Renee memutar pedangnya lagi dan mengangkat kakinya untuk menendang, monster itu terpental menabrak monster yang lebih besar, langsung tertindih.
Erangan kesakitan terdengar, Renee mengabaikan dan kakinya terus menapak naik ke atas tangga, jantungnya berdentam lebih keras dan pedang yang ia pegang terasa panas, lama kelamaan menjadi lebih berat.
"Sudah kubilang, jangan halangi jalanku." Renee menggertakkan gigi, matanya menatap tajam ke satu titik di antara pintu yang tengah terbuka lebar.
Di antara para monster yang terus keluar, Renee bisa melihat kalau ada seseorang yang tengah menatapnya balik, entah itu Ivana atau Tuan Ivana, Renee akan mengetahuinya segera.
Pedang yang berat itu meneteskan darah, jatuh ke atas tangga dan turun ke bawah, siapa pun yang melihatnya pasti akan terbelalak dengan ngeri melihat betapa banyaknya cairan merah itu menetes dari atas dan tubuh para monster yang bergelimpangan di atas tangga menambah kesan bahwa sosok wanita yang terus naik itu tidak terkalahkan.
Ditambah dengan cahaya jingga yang berpendar di sekitarnya membuat Renee terlihat seperti seorang Dewi yang turun dari langit untuk berperang di bumi.
"Grhh!" Monster yang terlihat gemuk berguling dari pintu menuju Renee, tubuhnya yang besar itu membulat seperti bola yang menggelinding.
Renee mengerutkan kening, ia bahkan baru menapak setengah anak tangga menuju ke atas, tapi rintangannya sudah seperti ini, ia bertanya-tanya apa yang terjadi kalau ia berhasil masuk?
"Tidak perlu dipikirkan," gumam Renee lagi, ia menggosok pedang dengan tangannya dan pedang yang berlumuran darah monster itu perlahan-lahan diselimuti cahaya jingga yang membuat silau. "Yang jelas, aku akan menemukanmu di mana pun kau bersembunyi, Ivana."
Renee harap, Ivana bisa mendengar perkataannya daripada terus bersembunyi dan mengeluarkan monster yang lemah ini untuk menghadapinya.
BRUKH!
Monster yang berguling tadi terkena hantaman cahaya jingga milik Renee hingga membuat ia menghantam sisi pagar pembatas, Renee langsung melemparkan cahaya jingga berbentuk anak panah mengenai jantungnya.
"Grah!" Monster itu berteriak kesakitan, ia memegangi dadanya yang berlubang sebelum berguling jatuh ke bawah.
Renee tidak mengatakan apa-apa, ia tidak punya pilihan lain. Semakin kakinya melangkah, semakin lambat pula karena para monster yang berdatangan itu selalu menyerangnya.
Renee menarik napas dalam-dalam, ia menggerakkan pedang yang diselimuti cahaya jingga, tiga monster yang akan menerjangnya terhempas ke sisi pagar pembatas.
"Aku bilang minggir." Renee tidak main-main dengan perkataannya, matanya berkilat-kilat penuh dengan ancaman. "Kalau kalian masih ingin menjadi manusia, minggir!"
Suara Renee seakan petir yang menyambar di langit yang gelap, sebagian monster yang ingin menyerang Renee terlihat ragu.
Di mata mereka, Renee hanya terlihat seperti bilah kayu yang bisa berjalan, terlihat menarik dan bergerak dengan aneh, tapi saat ia meneriakkan kata manusia, mau tak mau mereka merasakan perasaan yang rumit.
Renee mendengkus, sebagian lagi tidak mengerti, seperti boneka bodoh dan terus menerjang Renee.
PRASH!
Cahaya jingga lagi-lagi meledak, Renee berlari menerobos para monster dan sampai ke pintu yang terbuka lebar, salah satu tangan monster muncul ingin menangkapnya.
"Minggir!" Renee menebas tangan itu hingga terpotong, ia melangkah masuk dan langsung disambut dengan keheningan.
Kening wanita itu berkerut, ia langsung menoleh ke belakang, di tangga masih ada para monster yang tumbang, berdarah-darah dan tidak bergerak. Tapi tidak ada monster yang ingin menyerangnya lagi, mereka semua seakan telah berlarian menjauh.
"Dalam waktu sesingkat ini? Aku takjub dengan kemampuanmu, Ivana." Renee terus bergumam, ia yakin kalau Ivana saat ini sedang melihat dan mendengar apa yang ia lakukan.
Keadaan di dalam Mansion tidak banyak berubah dengan yang Renee ingat saat ia meninggalkan Mansion ini, barang-barang berantakan, lukisan yang rusak dan beberapa dinding yang runtuh, mungkin jika dilihat lebih teliti di siang hari, ia bisa melihat ada beberapa retakan di dinding.
Reneee menarik napas, ia sudah sampai ke titik ini dan tidak bisa kembali lagi. Matanya melirik ke tangga yang setengahnya sudah rusak.
Wanita itu tersenyum, menyeka darah yang ada di tangannya dan mulai melangkah naik.
Suara ketukan sepatu bergema di Mansion keluarga Emmanuel yang mendadak sunyi, suhu terasa semakin dingin dan hampir mencapai titik beku, Renee melewati beberapa kerusakan di tangga dan terus naik.
Jika ia tidak salah mengingat, di lantai paling atas adalah ruang lonceng. Ivana tidak akan mungkin ada di sana, tapi ia juga akan mencegah dirinya untuk naik dan membunyikan lonceng itu lagi.
TAK … TAK ….
Sesuatu berbunyi dari lantai dua, Renee menghentikan langkahnya dan menoleh, ia menajamkan pendengarannya.
Seharusnya Ivana tidak akan melakukan tindakan sekonyol itu untuk memancingnya.
Renee menatap ke atas, lalu ke lantai dua. Ia tahu jika di kota ini, semuanya penuh intrik, penuh dengan tipu daya.
Renee mengurungkan niatnya untuk naik ke lantai paling atas, ia melangkah menuju lantai dua, memeriksa sumber suara itu dengan cahaya jingga yang menyala-nyala di sekitarnya.
Lantai dua tidak pernah Renee kunjungi, bukan karena ia tidak mau, tapi ia tidak memiliki keperluan di sana. Leo juga begitu, laki-laki itu hanya berada di lantai dasar karena ia berpura-pura cacat dan berada di bawah pengawasan Ivana.
Mungkin jika ada orang yang bebas, hanya Ivana itu sendiri, tapi Renee tidak pernah mendengar sedikit pun Ivana membahas lantai dua, bahkan dari pelayan yang membersihkan lantai pun, tidak ada yang menyebut lantai dua.
Renee melangkah dan ia merasakan perbedaan yang sangat jelas begitu ia menginjak lantai dua.
Lantai ini ….
Kosong?!