Tanpa menunggu gadis berambut emas di depannya dapat bereaksi, dia, Akuji segera berjalan kembali ke tepi sungai.
Apa yang tengah dia lakukan? Bukankah itu sudah jelas, Akuji hanya ingin mati ....
Dia bahkan tidak memikirkan lagi tentang hadiah yang sebelumnya dia terima dari membunuh Goblin Prince seorang diri atau bagaimana Penghuni itu bereaksi seperti orang nyata. Akuji hanya fokus pada bagaimana caranya untuk mati, alasannya bermain Vivid sejak dia gagal.
'Apa aku melakukan hal yang sama lagi?' pikir Akuji. Sebelumnya dia hanya ingin tenggelam, untuk menjawab pertanyaan apakah benar tenggelam adalah salah satu bentuk kematian yang secara fisik paling menyakitkan yang Charista lontarkan.
Sejak seluruh sensitivitasnya identik dengan dunia nyata, Akuji yakin dia dapat mengetahui itu. Namun, tubuhnya hanya berakhir mengambang karena kebiasaannya sendiri saat berenang. Akuji bahkan sedikit bersemangat melihat arus pasang banjir yang akan segera datang walau seperti yang diketahui, dia gagal sejak gadis di depannya menyelamatkannya.
Akuji tahu bahwa tidak sopan untuk memaki orang yang berniat baik terhadapnya, oleh sebab itu dia hanya berterima kasih meski hatinya berkata lain.
'Kurasa itu hanya akan berakhir sama. Yah, lebih baik daripada sama sekali tidak bukan?' pikirnya cepat saat tanpa ragu ingin terjun ke sungai tapi—
"Kamu yang di sana tunggu sebentar."
Sebuah panggilan menghentikannya. Menoleh, Akuji melihat seorang pria di usia empat puluhan yang berjalan mendekatinya sejak tidak terlihat banyak orang dalam hujan lebat ini.
"Kau bicara padaku?" tanya Akuji memastikan apakah benar-benar dirinya yang pria itu maksud.
"Benar," ucapnya saat memicingkan mata ke Akuji. "Kurasa kamu adalah orang asing."
"Yah, itu bukan sesuatu yang mengejutkan bukan?" Akuji menjawab sederhana. Mengingat Vivid telah berjalan selama enam bulan secara nyata, satu tahun telah berlalu dalam game dan itu adalah waktu yang cukup bagi para Penghuni untuk menyesuaikan diri terhadap kehadiran para pemain.
Sejak di antara pemain dan penghuni sendiri, secara kasat mata hampir tidak memiliki perbedaan yang benar-benar jelas selain dari perilaku aneh dan 'kemampuan' para pemain untuk bangkit kembali, Penghuni (NPC) hanya dapat menyebut pemain sebagai orang asing.
Dan tentu, Penghuni telah cukup paham tentang bagaimana cara efektif dalam berurusan dengan para pemain yang bertindak kacau ini ...
"Aku membutuhkan bantuanmu, Nak ."
... Yaitu dengan memberikan pemain sebuah tugas, quest untuk mereka kerjakan.
Para Penghuni (NPC), yang secara dasar memiliki A.I setingkat dengan manusia nyata telah lama sadar bahwa para pemain cenderung memenuhi permintaan mereka. Dan seperti yang Blaise harap, perkataannya membuat Akuji melihatnya.
Tapi—
"Maaf. Tidak tertarik." Akuji menolak permintaan itu mentah-mentah dan hanya berkeinginan masuk kembali ke sungai lagi.
"Apa kamu yakin, Nak? Aku memiliki hadiah yang pasti akan membuatmu menginginkannya."
"Hmm? Apa itu berarti kau akan membunuhku? Dengan cara apa? Membakar? Memotong? Atau meremukkan tubuhku?" Akuji menjawab tiba-tiba, berhasil membuat Blaise terdiam.
"Apa? Apakah memang sesulit itu?" sambungnya sementara dia hanya bisa menghela napas panjang. Akuji akan benar-benar bahagia jika pria di depannya itu berjalan ke arahnya dan memukulnya. Tapi tampaknya hal indah (?) semacam itu tidak akan terjadi melihat dia hanya menatapnya diam.
"Kalau begitu, selamat tinggal."
Berbalik dengan rasa kecewa, Akuji sadar bahwa sepertinya bunuh diri memang satu-satunya yang ada baginya untuk tahu bentuk-bentuk kematian yang dia inginkan. Meski begitu, tubuh Akuji segera tertahan oleh pria tua itu.
"Bagus, bagus sekali, Nak," geram Blaise. "Apa kau tidak tahu berapa banyak orang yang ingin mendapatkan barang dariku?"
Dengan namanya, salah satu Archmage, berapa banyak orang asing dan penghuni sendiri menginginkan barang darinya bahkan jika menurutnya itu adalah sampah? Blaise tahu itu dengan baik dengan entah berapa banyak orang yang berusaha menjilatnya dengan niat tersembunyi.
Melihat mata Akuji yang seolah berkata apa yang tengah dia katakan, Blaise hanya tertawa kesal dalam hati. Tanpa menunggu balasan yang akan pemuda itu beri, Blaise menyeret Akuji saat dia mengaktifkan teleportasi, segera menghilang dari tempat itu sembari menyeret Akuji bersamanya.
Sementara ...
"Master sialan! Kenapa kau meninggalkanku?!"
... Arsy hanya dapat menggertakkan giginya di tengah hujan saat sadar bahwa bahwa dia ditinggalkan, berpikir bahwa dia pasti akan membunuh gurunya itu suatu hari nanti.
****
Ruang tampak melengkung sesaat sebelum tubuh Blaise dan seorang pemuda yang bersamanya, Akuji muncul. Sejak Blaise memilih tempat agak sepi, tidak banyak keributan yang muncul dari kemunculannya yang tiba-tiba.
"Sekarang, kau akan mendengarkan permintaanku, bukan?" tanya Blaise sekali lagi sementara Akuji hanya terdiam.
Apakah Akuji baru menyadari bahwa dia berurusan dengan seorang penghuni yang tidak biasa? Tidak, dia hanya merasa sayang akan hilangnya kesempatan untuk mati di depan matanya. Mengerang sesaat, Akuji sadar bahwa pria di depannya itu mungkin hanya akan menangkapnya lagi jika dia lari sekarang. 'Tampaknya aku memang harus menurutinya.'
"Jadi apa yang kau inginkan, Pak Tua," balas Akuji. Sejak pria itu hanya terus memanggilnya Nak itu dan Nak ini, bukankah itu berarti dia boleh melakukan hal yang sama?
"Heh ... sepertinya anak kucing memang tidak memiliki ketakutan, ya?"
"Kalau begitu buat sederhana saja, membunuhku akan menyelesaikan segalanya bukan?"
"Itu berarti aku hanya akan menuruti keinginanmu?"
"Tapi itu sesuai dengan apa yang kau mau juga kan, Pak Tua?"
Mereka berdua tertawa hanya untuk membuat suasana di sekitar mereka semakin aneh.
"Kalau begitu, aku mungkin akan membunuhmu jika kau mempertemukanku dengan orang yang memberimu ikat rambut itu."
Orang lain mungkin akan berpikir bahwa frasa itu agak sedikit aneh tapi Akuji hanya mendesah kesal melihat pemberitahuan quest yang muncul.
[Quest : Temukan Dia
Seorang pria misterius memintamu (?) untuk menemukan orang yang tengah dia cari.
*Ikat rambut yang kamu lengkapi adalah petunjuk penting.
Hadiah : Semaunya
Hukuman : Semaunya]
Apa ini bahkan masuk akal? Bahkan sistem mempertanyakan apa itu sebuah permintaan atau paksaan. Sementara bentuk hadiah atau hukuman dari quest ini sendiri tidak jelas apa itu hanya membuat quest ini terasa lebih buruk.
Akuji yakin tidak akan ada satu pemain pun di luar sana yang mau menerima quest semacam ini. Bukankah Vivid memiliki kebebasan tertinggi? Lalu jenis paksaan macam apa ini yang harus dia alami! Di mana hak asasi manusia yang ada! Kebebasan yang seharusnya dijamin telah hilang!
"Hah ... baiklah," jawabnya setengah hati sementara raut wajahnya tidak dapat menyembunyikan penolakan yang ada.
"Kalau kau benar setidak mau itu, maka cepat temukan dia."
Akuji mengabaikan ejekan Blaise saat merasa ini akan berlalu dengan cepat sejak dia tahu bahwa dia hanya perlu menemukan pengawas itu, orang yang memberikannya ikat rambut ini. Sebelum langkahnya terhenti ...
'Tunggu!'
... Saat Akuji tiba-tiba tersadar apa dia bahkan tahu namanya?!