"Ke mana Ibu? Di mana-mana tidak ada." Aneska masuk ke dalam kamar Ibunya tetapi yang dicarinya juga tetap tidak ada.
"Tidak mungkin kalau Ibu belum pulang dari pasar. Atau mungkin Ibu ke rumah tetangga?" tanyanya sendiri.
Aneska dengan rasa khawatir dihatinya bergegas masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian. "Aku akan mencari Ibu."
Setelah selesai mengganti baju seragamnya, Aneska ke luar dari kamar bertepatan dengan Ibunya yang baru saja masuk.
"Ibu, dari mana? Aku mencari Ibu ke mana-mana tetapi tidak ada," tanya Aneska.
"Ibu dari rumah tetangga yang besok anaknya mau dikhitan. Jadi, tadi pulang dari pasar Ibu ke sana. Nih, lihat apa yang Ibu bawa," kata Ibunya memperlihatkan bungkusan plastik hitam ditangannya.
"Apa itu Bu?" tanya Aneska, mengikuti Ibunya masuk ke dapur.
"Tadi Bu Popon memberikannya buat Ibu. Makanan, lumayan buat makan kita. Kamu lapar tidak?" tanya Ibu.
"Lapar Bu," jawab Aneska langsung duduk di kursi yang sudah tua.
"Sebentar Ibu siapkan dulu. Ibu juga lapar belum makan dari tadi siang." Ibu lalu mengatur makanannya, dimasukan ke dalam piring satu-satu.
"Kelihatannya enak, siapa yang masak?" tanya Aneska melihat makanan yang di atas meja.
"Ibu-ibu tetangga, semuanya datang membantu makanya tadi Ibu langsung ke sana. Malu kalau Ibu tidak datang, Bu Popon sangat baik pada kita."
Aneska mengambil piring yang telah disiapkan Ibunya lalu mengisinya dengan nasi dan lauk pauk, begitu pun dengan Ibu yang juga terlihat sudah lapar.
Mereka berdua pun asyik menikmati makanan yang tadi di bawa Ibu dari tempat orang yang mau hajatan besok. Terlihat ada sambal goreng kentang, mie bihun yang dicampur dengan cabe hijau serta tahu tempe dengan ayam goreng yang terlihat ada beberapa potong.
Setelah selesai makan, Aneska langsung membersihkan meja dan mencuci piring kotornya, semuanya selalu dia yang melakukannya karena dia tahu Ibunya sudah cukup lelah dengan berjualan di Pasar.
"Ibu," panggil Aneska dari dapur.
"Ibu sedang menonton televisi," jawab Ibunya.
"Pintu dapur sudah aku kunci Bu," kata Aneska duduk di sebelah Ibunya yang sedang selonjor kaki sambil menonton sinetron.
"Iya," jawab Ibu dengan pandangannya fokus melihat ke layar televisi yang sedang menayangkan adegan orang bertengkar.
"Sinetron apa ini Bu?" tanya Aneska karena melihat Ibunya yang sangat fokus sekali.
"Biasa, sinetron pelakor," jawab Ibunya.
Aneska jadi ikut ikutan melihat sinetron yang ditonton Ibunya.
"Akhirnya selesai juga," kata Ibu. "Sinetron begitu sebenarnya ada dalam kehidupan nyata juga. Perempuan yang merebut suami orang, itu banyak dalam kehidupan sehari hari. Contohnya Ayahmu yang pergi meninggalkan kita dengan wanita lain."
Aneska diam tidak bicara atau pun berkomentar karena takut salah bicara.
"Waktu Ayahmu meninggalkan kita, umurmu baru 5 tahun. Kamu tidak akan ingat apa-apa. Saat itu Ayahmu akan membawamu pergi tetapi Ibu berhasil membawamu kembali. Tidak lama kemudian, Ibu dengar Ayahmu pergi meninggalkan kampung ini bersama wanita itu."
"Apa Ibu dan Ayah bercerai?" tanya Aneska berhati hati.
"Tidak, Ayahmu tidak mau menceraikan Ibu dan juga tidak mau melepaskan wanita itu. Ibu sudah minta kepada Ayahmu untuk menceraikan Ibu tetapi tidak mau, Ayahmu marah besar kepada Ibu. Hingga sampai sekarang pun Ibu masih istrinya."
"Kenapa Ayah sampai terpikat wanita lain?" tanya Aneska.
"Namanya juga laki-laki, melihat wanita cantik di luar sana pasti tergoda apalagi wanita itu banyak uangnya. Ayahmu dijanjikan modal untuk buka usaha dan sampailah akhirnya menikahi wanita itu."
"Apa ayah punya anak dari wanita itu?" tanya Aneska.
"Waktu itu sepertinya belum, tidak tahu kalau sekarang. Ibu tidak pernah tahu lagi bagaimana kabar Ayahmu karena Ibu juga tidak pernah mencari tahu. Ibu sudah merelakannya, yang lalu biarlah berlalu setiap manusia pasti melakukan kesalahan. Sekarang kita jalani saja hidup kita dengan tenang tanpa memikirkan yang akan membuat hati kita sakit."
Aneska tersenyum. "Ibu memang berhati malaikat, Ayah yang sudah menyakiti Ibu pun masih dimaafkan. Aku bangga terlahir dari rahim ibu."
"Ibu hanya bisa memberimu nasehat agar suatu saat nanti, di saat Ibu sudah tidak ada, kamu bisa menjaga dirimu dengan baik. Jangan menyakiti perasaan orang lain. Hiduplah dengan baik.'
Aneska memeluk Ibunya. "Aku akan selalu ingat dengan semua nasehat Ibu. Lagi pula kata siapa Ibu akan meninggalkan aku? Sampai kapan pun Ibu akan selalu bersamaku. Aku tidak akan meninggalkan Ibu."
Ibunya tersenyum. "Tetapi umur kita, tidak tahu anakku. Tidak selamanya Ibu akan selalu ada untukmu. Bila nanti Ibu telah tiada, carilah laki-laki yang menerima segala kekuranganmu dan mencintaimu dengan tulus."
"Ibu jangan bicara seperti itu, seolah olah Ibu akan pergi jauh dariku," kata Aneska merengut.
"Ibu hanya bicara sesuai kenyataan saja, di dunia ini tidak ada yang kekal abadi. Semuanya hanya titipan," kata Ibu tersenyum.
Aneska menatap Ibunya dalam, pikirannya jadi jauh melayang memikirkan ucapan Ibunya barusan. Apa yang akan terjadi dengan dirinya jika Ibunya telah tiada? Apa dirinya sanggup bertahan untuk hidup?
"Kenapa jadi melamun?" tanya Ibunya.
"Tidak apa-apa," jawab Aneska singkat. "Aku mau mengerjakan tugas rumah di kamar." Aneska bangun dari duduknya.
"Kunci dulu pintu depan! Sepertinya tadi belum di kunci," kata Ibu yang kembali menonton televisi.
"Iya," Aneska melangkah menuju pintu depan dan langsung dikuncinya.
Suasana hening di pedesaan begitu terasa, hanya suara binatang malam yang terdengar ketika siang telah berganti dengan malam. Dingin yang menyelimuti malam semakin menusuk tulang, di bawa angin yang masuk lewat lubang ventilasi rumah.
"Dingin sekali," gumam Ibu tetapi pandangannya tetap melihat layar televisi yang menayangkan sinetron baru.
Malam semakin larut, Ibu sampai ketiduran di sofa yang warnanya sudah memudar, menandakan sofa yang sudah tua.
Aneska yang sudah selesai mengerjakan tugas sekolahnya, ke luar dari kamar bermaksud untuk mengambil air minum. Tetapi pandangannya tertuju pada Ibunya yang sedang tertidur di sofa.
"Ibu, kenapa tidur di kursi?" gumamnya sambil mematikan televisi.
Dilihatnya, Ibunya yang sedang tertidur sangat nyenyak. "Sampai mendengkur begini, kalau tidak aku bangunkan nanti badan Ibu sakit tidur di sofa. Kalau aku bangunkan, kasihan Ibu sedang nyenyak begini. Tidak mungkin kalau aku harus menggendongnya. Tubuh Ibu lebih besar dari tubuhku."
Akhirnya Aneska beberapa saat hanya berdiri terpaku dengan tangan melipat di dada. "Aku juga mengantuk, sebaiknya aku bangunkan saja Ibu dari pada jadi sakit nantinya, tidur di sofa," gumamnya sendiri.
Aneska mendekati Ibunya, perlahan tangannya menepuk tangan Ibunya. "Ibu, Bu. Bangun, tidurnya pindah ke kamar." Aneska terus menepuk tangan Ibunya sampai Ibunya terbangun.
"Ada apa?" tanyanya dengan kesadaran yang belum terkumpul penuh.
Jangan lupa tinggalkan komentar atau vote di setiap chapter.
Terima kasih :-)