Haes-sal terbangun dengan rasa sakit luar biasa. Bulu-bulu sayapnya meleleh, tulang sayapnya serasa dipatahkan, tubuhnya pun remuk redam. Namun, dia tetap memaksakan diri membuka mata dan duduk. Spontan dia meraba dada karena hal terakhir yang diingatnya adalah sebatang panah yang melesat cepat.
Sudah tak ada. Haes-sal mengernyit.
"Bagus kau sudah siuman, Jenderal."
Netra emas Haes-sal berserobok dengan bola mata cemerlang milik sosok yang familiar. Serta-merta dia mengayunkan tangan, memunculkan gaenari dari ruang hampa.
"Jangan bermain-main denganku." Sosok itu menjentikkan jari.
Tubuh Haes-sal terdorong ke belakang oleh sapuan angin maha dahsyat. Punggungnya menabrak tembok hingga hancur berantakan. Malaikat itu meringis menahan sakit. Darah segar mengalir di salah satu sudut bibir.
"Yang Mulia Dangun," ujarnya dengan napas tersengal. "Mengapa Anda melakukan ini?"
"Sejak kapan kau tahu aku adalah pelakunya, Jenderal?"