Sesuai keinginan Belle, gadis itu tidak mengeluh sedikit pun meski tinggal di gubuk derita yang Marlon persiapkan. Jauh dari kota. Kenyataannya Marlon menolak bantuan dokter Liam. Cukup sudah keresahan yang sempat datang nyaris membuat hidupnya mati rasa. Kendati dia tak ingin lagi melibatkan siapa saja terutama orang lain dalam hal ini, rasanya jera bergantung pada Exietera sebagian besar milik Gloe. Di mana Marlon harus manut di pimpin perintah sang ibu, walau rasanya agak melenceng.
Seperti permintaannya agar menikahi Candice si kepala badak, walau beliau telah menyesali semua, itu tidak akan pernah mengembalikan kebahagiaan. Momen indah yang seharusnya tidak berantakan seperti sekarang. Tapi, ah sudahlah! Mungkin, rencana Marlon masih terlalu rendah jika dibanding dengan takdir Tuhan di atas gunung. Kesalahan lalu bukan masalah besar, selagi bisa diperbaiki kenapa tidak?
Lagi pula Belle tak banyak menuntut, William juga sudah menerima, di sini dia hanya tinggal menambah pondasi untuk keluarga kecilnya agar kokoh.
"Paman, minumlah, kau bekerja dari tadi pagi tanpa istirahat." Suara halus Belle menginterupsi Marlon, lelaki itu pun menoleh dan mengulas senyum.
Menancapkan gergaji panas ke dalam tanah, dengan peluh bercucuran dia menghampiri Belle yang menunggu. "Kau memang istri pengertian."
Sambil lalu Marlon mengusap puncak kepala Belle, sebelum meraih cangkir berisi air putih yang menyehatkan. Di ambang pintu William sudah berdiri dengan buku tulis di tangan. Otaknya sama seperti sang ibu, encer, bahkan lebih pintar dari anak seusianya. Dan Marlon bersyukur akan hal itu sebab Belle sendiri mampu jadi seorang ibu sekaligus guru pembimbing. Metode belajar anak mereka sangat disiplin. Mengikuti waktu belajar sebenarnya meski tidak sekolah di gedung resmi.
"Kemari, Sayang," panggil Marlon saat menangkap kehadiran William, yang di maksud pun langsung mendekat.
"Coba Dad lihat, apa menurutmu ada peningkatan?" Dengan nada berbicara selayaknya orang dewasa si William menyerahkan buku, berikut pulpen.
"Wow, anak yang cerdas." Puji Marlon sambil mengangkat William sehingga duduk di pangkuannya, si kecil hanya tersenyum puas penuh kebanggaan.
Sementara Belle mulai mencubit satu roti tawar, mengarahkan bergantian kepada William kemudian ke Marlon. Walaupun tak banyak, jika dimakan bersama maka akan terasa cukup. Di saat tinggal secubit lagi, William dan paman Marlon kompak menggeleng. Maka dengan begitu Belle menyuap ke mulutnya, lalu tersenyum semringah. Finish! Saat hendak bangkit matanya melihat kehadiran Rose di kejauhan, tak lama dokter Liam muncul, disusul ibu mertua Gloe, kakak ipar Miller, beserta keluarga besar Chambell.
Belle menekap mulut. Setelah hampir setahun tak berkunjung ke kota, kini mereka yang datang dengan kejutan. Rose membawa bingkisan besar. Dari dulu dia memang suka memberikan William hadiah. Sedangkan ibu Gloe menenteng sesuatu dalam plastik. Di sampingnya ada Ernest, ibu kandung itu juga tampak memegang kantong. Oh, ya Tuhan! Tidak bisa berkata-kata Belle melongo sambil berurai air mata kebahagiaan. Kerinduannya terhadap mereka terbayar sudah. Membiarkan William melompat, bocah itu berlari kegirangan ke arah dokter Liam.
"Ayah!" serunya lantang, dokter Liam pun langsung berjongkok menyambut.
"Ugh, anak Ayah sudah besar." Penuh semangat Liam menggendong tubuh William, lalu memutarnya beberapa kali sehingga si kecil tertawa lepas.
Di sebelah paman Marlon diam-diam Belle melirik, dia hendak mengetahui reaksi beliau setelah setahun berlalu. Lelaki itu tampak tersenyum. Seuntai senyum yang tidak mempersalahkan pemandangan di depannya membuat Belle bernapas lega. Ketika pamannya mulai melangkah, dia pun menyusul. Mendekap Ernest lebih dulu, Damon, kemudian ibu mertua Gloe, dan Rose.
"Kenapa tiba-tiba?" tuding Belle pada Rose, sedangkan yang ditanya hanya menyengir seakan tak berdosa.
Memang tidak masalah sih, tapi Belle belum menyiapkan hidangan apapun.
Masa tamu keluarga besar mau dikasi minum air putih saja? Di mana gubuknya jauh dari kota, serta paman Marlon yang tak mempunyai tabungan lebih untuk beli makanan.
"Tidak perlu repot-repot kami datang membawa makanan, juga kabar baik." Gloe angkat bicara saat menangkap gerak-gerik Belle seolah memahami.
"Tapi, Bu ..."
"Benar, kedatangan kami tidak ingin merepotkan kalian berdua," timpal Rose sambil mengeluarkan bingkisan, yang berisi buah-buahan segar.
Kini mereka semua sudah berada di dalam gubuk, duduk beralas karpet. Suasana yang biasa senyap sekarang berubah ramai, suara mereka saling bersahutan membalas obrolan, dan William ikutan andil memeriahkan.
"Tinggal di hutan itu menyenangkan, aku jadi bisa bermain dengan sekitar. Alam yang bikin tenang. Bahkan, aku juga bisa belajar dengan fokus tanpa mainan-mainan yang sangat mahal. William benar kan, Mom, Dad?" Mata polosnya menatap Marlon dan Belle secara bergantian, minta dukungan.
Sesaat Marlon dan Belle mengangguk, bocah itu langsung berpindah tempat, dari pangkuan dokter Liam ke kedua orang tuanya untuk memberi kecupan. Sambil mengungkapkan rasa sayang berulang kali hingga membuat semua orang yang melihatnya tertawa geli.
"William sayang Dad, William sayang Mom, William sayang Dad, William sayang Mom, William sayang kalian."
Selain anak yang cerdas William memang lucu, dan menggemaskan.
"Mom, dan Dad, juga sayang William." Dengan kompak kedua pasangan itu mencium belahan pipi sang anak, di bagian kiri Marlon, sedang Belle yang kanan. Sementara William nyengir.
Tiba-tiba dokter Liam berdeham, dia memang sengaja mencari perhatian, di sebelahnya ada Rose mengantisipasi. "Ah, melihat kalian seperti ini aku jadi iri, dan ingin cepat-cepat menikah."
"Ayah ingin menikah?" tanya William dengan begitu polos, yang dimaksud hanya menggaruk tengkuk bingung. "Mom, William juga ingin menikah."
Oh, yaampun! Spontan mereka semua tertawa lepas, bahkan Damon sampai memukul-mukul boneka balon yang dibelinya untuk sang cucu. Tangan si kecil menarik ujung dress Belle, tidak lama tangis William pecah di pelukan ibunya karena baper jadi bahan tawa.
"Cup! Cup! Aaa, Sayang, iya boleh."
"Huhu, semuanya ketawain William."
"Tidak Sayang, cucu Nenek yang lucu, yang paling tampan. Kita semua geli ngeliat Ayah Liam karena kutuan." Di situ dokter Liam langsung berhenti, menurunkan tangannya dari kepala.
Jeplakan Ernest sontak membuatnya mati gaya, ditambah Rose menimpali. "Haha, benar, dokter Liam kutuan."
Menonton kekonyolan itu Gloe hanya menggelengkan kepala, lalu memberi William setangkai buah anggur, dan menggendongnya keluar gubuk. Tidak berselang lama tangis William surut. Mereka pun bermain sambil tertawa. Sementara di dalam mulai berbicara penting, menghidupkan suasana jadi sedemikian serius. Gen pertama Gloe menyerahkan map biru pada Marlon, yang berisikan surat pengesahan hak milik Exietera bertuliskan namanya. Bagaimana bisa? Batin Marlon seusai membaca tuntas lembaran terakhir.
"Candice terlalu gila harta, dia gadis yang bodoh, ketika sudah mendapat Exietera masih mengincar sesuatu," jelas Miller sambil menutup map, dia melirik dokter Liam yang membatu. "Ini semua berkat bantuan beliau, kalau tidak ada dirinya mungkin hak kita tak akan pernah kembali lagi."
"Jadi ..." ucapan Marlon menggantung, sungguh, dia sulit berkata-kata.
"Ya, perusahaan Exietera kembali, tetapi aku menyerahkan padamu. Kau lebih berhak mengendalikannya daripada aku karena William generasi kedua."
"Tapi, Paman, aku tidak mau kembali ke kota, aku telanjur nyaman di sini." Belle menyela dengan cepat, matanya menatap melas mata paman Marlon.
Mengangguk sekali, Marlon sudah paham.
Marlon mengambil kedua tangan mungil Belle, menggenggamnya pelan sebelum mengecupnya dengan mesra. Tidak langsung melepaskan. Bibirnya masih mendarat di punggung tangan Belle yang halus. Dengan tatapan tak berpaling sedikit pun dari mata Belle, menyampaikan rasa cinta tersirat. Di sini ... dari lubuk hati yang terdalam.
"Dengarkan aku, Bell, aku mencintai dirimu segenap hatiku tanpa syarat. Ini pengakuanku yang pertama kali di hadapan keluarga besar kita. Mulai dari sekarang bahkan selamanya aku bersumpah tidak akan menyakitimu lagi karena kau bagian dari hidupku. Sungguh! Aku menderita tanpamu." Terang Marlon tanpa keraguan, Belle mengerjap beberapa kali, spechless.
Terutama keluarga besar keduanya, termasuk dokter Liam yang sebentar lagi akan menjadi pasangan Rose.
"Semua sudah berbeda, tidak ada lagi ketidakcocokkan antara kau dan ibu. Tak ada lagi Candice. Hanya ada kita." Tekan Marlon pada kalimat terakhir, masih berusaha menyakinkan Belle.
Cukup lama Belle terdiam.
Setelah gadis itu mengangguk seakan sudah yakin, Marlon bernapas lega, dikecupnya sekali lagi tangan Belle lalu membawanya ke dalam pelukan erat. Sangat erat. Dengan perasaan penuh. Mendadak sekeliling ruangan dikabuti haru biru, begitu terharu dengan kisah cinta mereka yang sangat dramatis bagai drakor.
Bahkan, Belle sendiri pun masih tak percaya dengan momen ini, rasanya campur aduk. Mulai dari tidak berpacaran. Nikah terpaksa. Takut hamil. Hingga jatuh cinta pada paman Marlon. Dramatis. Kalau dijabarkan secara rinci kalian pasti muntah dengan isi hati Belle. Intinya dia hanya terlalu gengsi jika sudah bertekuk lutut kepada cinta pertamanya, lelaki tua yang mesum.
Berbulu, dan mirip Tarzan.
Tapi sekarang ...
"Aku sangat mencintaimu."