Kediaman Exietera
Dengan ogah-ogahan Belle mengikuti langkah Marlon, yang menariknya menuju pintu utama Exietera. Dia sangat malu, sungguh! Berulang kali Rose telah mengajak Belle berkunjung ke rumah sang nenek, minta ditemani, sesering itu pula dia menolaknya. Kini Marlon malah menyeretnya menghadap nyonya besar.
Setahu Belle nyonya besar Exietera sangat angkuh, ibunya Marlon, tidak lain tidak bukan adalah nenek kesayangan Rose Miller. Selama ini Belle hanya mendengar dari cerita orang betapa buruknya sikap beliau. Meski belum bertemu langsung Belle pernah melihat gambar wanita itu di majalah.
Keluarga mereka pebisnis besar, tak heran bangunan tinggi di depannya menjulang kokoh bak singgasana. Belle tidak ingat semalam bermimpi apa? Sehingga bisa berada di rumah ini berhadapan dengan Gloe. Wanita setengah abad, anehnya masih sangat terlihat cantik.
"Marlon, kau membawa anak siapa?" Gloe menatap sinis Belle, sebagai kesan pertama yang tidak asyik.
"Ah, Ibuku sayang, kupikir kau mengingat ucapanku kemarin malam. Aku akan membawa calon istriku." Marlon melirik bangga Belle, mengamati wajahnya sudah semerah tomat.
"Apa?!" Terang saja Gloe syok, menatap Belle balik, lalu menggeleng keras. "Kau bercanda, ini di luar ekspetasiku, dia masih sangat muda untuk menikah."
Benar, itu sungguh menggelikan, lanjut Belle di dalam hati.
Marlon menyeringai lebar saat melihat Belle bergidik. Memeluk pinggangnya dari samping, dan berbisik. "Semakin sering kau geli saat membayangkanku, maka semakin cepat juga kita akan menikah."
Spontan Belle membeliak, menepis tangan Marlon. Sialnya lelaki tua itu malah mempererat pelukan. Dia sama sekali tidak tahu malu. Belle meringis kecil tatkala satu tangan Marlon meraih wajahnya, memaksa gadis itu mendongak, sementara ekspresi wajah Gloe sudah seperti kebelet buang air.
Menyalahi pilihan Marlon yang ternyata menyukai anak kecil, Gloe sangat ingin menentang, tetapi bagaimana? Keinginannya mendapatkan cucu laki-laki sudah di ujung tanduk. Gloe juga tidak menjamin jika Marlon akan segera mencari pengganti Belle.
"Iya Ibu, namanya Belle, gadis kecil ini memang masih muda, tapi dia sudah tidak sabar," kata Marlon mengada-ngada, berusaha menyakinkan sang ibu, dan melanjutkan. "Kita juga sama-sama suka, saling mencintai, Belle juga menerimaku apa adanya. Hmm, dia bilang kalau cinta tidak memandang usia. Iya kan calon istriku?"
Belum sempat menyangkal, Marlon mendahuluinya dengan mendorong kepala Belle hingga terangguk-angguk. Astaga! Lama-lama dia bisa mati berdiri karena malu. Marlon sangat keterlaluan. Mereka terpaut usia 20 tahun, bahkan baru saja bertemu. Bagaimana bisa langsung menikah? Belle hanya tersenyum masam saat Gloe mempersilakan duduk di ruang keluarga.
"Baiklah, kalau begitu silakan duduk, aku perlu mengenalmu lebih jauh." Sesaat Gloe berlalu, sontak Belle menggeleng.
"Ayo!" ajak Marlon sambil mengayunkan tangannya agar Belle mengikuti.
Tetap diam di tempat Belle mencoba memahami situasi. Kantung matanya berkedut menatap sekitar. Kini Marlon sudah menyeretnya, Belle tidak kuasa menolak, pegangan serta tarikannya begitu kuat bahkan kulitnya sampai memerah.
Menyadari Belle kesakitan Marlon pun melepaskan. Keduanya mematung di tengah jalan dengan satu arah pandangan, menatap kulit putih Belle yang kini bercabit merah. Kedua mata Belle memanas tidak lama gadis itu menangis keras, buru-buru Marlon menghela tubuh mungilnya ke pelukan.
"Cup, cup, Sayang, jangan menangis," ucap Marlon menepuk punggung Belle, alhasil tangisannya semakin kencang.
"Huaaa, Ibu ..."
"Astaga, Marlon! Kenapa dia bisa menangis?" Gloe melotot, merasa terganggu dengan teriakkan Belle.
"Aku tidak sengaja melukai pergelangan tangan Belle, tetapi sungguh, aku sama sekali tidak bermaksud menyakitinya."
"Nyonya Gloe tolong aku, anakmu sudah tidak waras, aku tidak ingin menikah ..." Mmph! Di dalam ciuman Marlon Belle mendelik, dia memang sakit jiwa. Gloe ada di depan mereka, dan dia sanggup menciumnya seperti orang kelaparan.
Memutar bola mata Gloe memilih pergi, memberi ruang kepada pasangan aneh bin ajaib yang telah berhasil membuat wanita itu pusing tujuh keliling. Gloe sempat berpikir gadis pilihan Marlon seorang model terkenal, nyatanya gadis muda yang kumel. Menaruh bokong di kursi kebesaran, Gloe membuka kipas cantiknya, mengibaskannya sambil menunggu kedatangan Marlon.
Tidak berlangsung lama Marlon dan Belle datang, kepala gadis itu menunduk seakan-akan menghindari kontak mata dengan Gloe. Demi apapun Belle merasa sangat malu. Ketika Belle pikir bibirnya ini tercipta hanya untuk satu lelaki yang jelas bukan Marlon, kini impian itu telah sirna.
Marlon Exietera sudah menciumnya lebih dari sekali. Kalau saja mencuri ciuman termasuk sebuah pelanggaran, maka Belle sudah melaporkan lelaki tua itu ke pihak berwajib.
"Katakan padanya jangan menunduk terus, aku perlu berbicara," ujar Gloe sewot, jika bukan karena seorang cucu sudah sejak tadi dia tolak mentah-mentah.
Memutar bola mata jengah, lalu Gloe melanjutkan. "Apa dirinya tidak diajarkan bagaimana cara bersikap saat diajak berbicara dengan orang yang lebih tua?"
Tidak sabar melihat reaksi Belle, akhirnya Marlon bertindak. Mendorong pundak gadis itu hingga terduduk menghadap nyonya besar Gloe. Kedua pipi Belle bersemu, sisa dari rasa malunya yang belum hilang. Sepasang mata Gloe menatap Belle dengan intens, lalu beralih pada wajah tegang Marlon di sisi kursi.
Berasa ingin diintrogasi.
"Apa pekerjaan ayahmu? Ibumu? Keturunan dari keluarga mana? Kapan terakhir kali kau tidur bersama ibumu? Kenapa kau menyukai anakku? Kuberitahu padamu jika Marlon egois, dia punya kebiasaan buruk yaitu suka menguasai tempat tidur."
Marlon menggaruk tengkuk belakangnya, dia jadi salah tingkah, ketika mengingat telah banyak korban tendangnya apabila tidur ditemani. Tidak peduli mau lelaki atau perempuan. Gloe sendiri pernah terkena tendangan bebas. Waktu itu Marlon mendadak flu, tujuannya hanya ingin menjenguk, tetapi malah ketiduran. Percaya atau tidak saat bangun tidur Gloe sudah terdampar.
"Ibu, untuk Belle cintaku, aku siap berbagi ranjang," sangkal Marlon disusul kekehan, geli sendiri atas kebiasaannya yang aneh.
Mungkin, itu menjadi salah satu dari sekian alasan kenapa Marlon belum menikah. Dia selalu ingin menguasai tempat tidur seluas apapun volumenya.
"Bagus, kalau begitu! Sekarang jawab seluruh pertanyaanku, aku ingin jawaban jujur." Gloe menutup kipas tangannya, dan menatap Belle tajam.
"Eum, maaf, aku lupa apa saja yang kau tanyakan."
"Baik, akan kuulangi. Di mana ayahmu bekerja?"
"Ayahku bekerja di rumah sakit terbesar di kota."
"Wow, apa ayahmu seorang dokter bedah, kenapa aku tidak pernah melihatmu yaa ..."
"Ah, tidak, tidak, ayahku bukan dokter."
"Lalu?"
"Profesi ayahku hanya sebagai tukang parkir di rumah sakit."
What the hell? Gloe kaget, mulutnya menganga lebar, sedangkan Marlon tidak kalah syok mendengar jawaban jujur Belle. Bukan karena profesi ayahnya melainkan betapa percaya dirinya dia saat memberitahu.
Fix, Marlon sangat gemas.