Kok bisa gituh ya? Kok bisa gituh, ketika lamunanku memegang kendali. Kelogisanku sirna bak ditelan bumi.
Tadi aku bener-bener berbunga-bunga karena Malik bilang hati-hati padaku. Ish, Mita Mita. Sekagum itu padanya?
“Enggak apa. Aku pergi Mita. Sampai bertemu besok di sekolah.” Malik tersenyum manis dan memutar motornya. Dia pun melaju. “Assalamu’alaikum.” Sopan sekali.
“Wa’alaikumsalam.” Aku pun tersenyum. Uh, rasanya hati ini terenyuh.
Hati-hati Malik. Kelu bibirku sekadar untuk mengucap itu. Hati-hati, nanti sampai ke hati.
Aku pun segera istigfar. Kubuka pagar rumah lebih lebar agar motor bisa masuk dan kemudian memasukkan motor ke dalam. Memarkirkannya dengan benar dan melepas jas hujan. Jas hujan milik Malik yang harus diperlakukan dengan baik. Karena basah, aku pun memilih lewat pintu belakang.
Siap-siap diomeli sekeluarga inimah.
Saat aku membuka pintu. Semua tatapan tajam memandangku. Ayah, Ibu, kak Salwa dan si Nazwa cempreng adik comelku itu. Mereka sedang menikmati nasi goreng dan kwetiau di meja makan. Kenapa tidak di ruang tengah sih? Seakan-akan tahu saja kalau aku lewat dapur.
Aku seperti tersangka yang ingat untuk pulang. Tak tahu malunya aku.
Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Gara-gara kesemsem sampai lupa sama adiknya. Mita Mita.” Bibir Ibu tersenyum. Dia meledekku. Kak Salwa sibuk mengunyah pesanannya. Dia terlihat menahan tawa. Ayah terlihat kalem dan si kecil Nazwa seolah acuh tak mendengarkan.
Aku benar-benar yakin, Nazwa sudah mengadukan semuanya. Dasar tuh si bungsu. Mulutnya tidak bisa dijaga. Ember bocor emang.
Awas ya kau Nazwa. Kalau sampai minta tolong untuk ngerjain PR. Aku enggak akan sudi bantuin dia.
Ya setidaknya otakku enggak bodo-bodo amat untuk bantuin pekerjaan rumah Nazwa yang baru duduk di kelas enam sekolah dasar.
Karena lapar, aku tak peduli dengan tatapan penghakiman keluargaku. Aku pun menyimpan jas di gantungan yang tak jauh dari sana dan segera duduk di meja makan.
Ayah memandangku. Dia tersenyum. Ah, kutahu senyuman apa itu.
“Mita, bajumu enggak basah? Kalau basah ganti dulu sana!” kata Ayah. Terdengar seperti perintah, bukan saran yang bisa saja ditolak.
Tapi karena tidak terlalu basah, aku pun menolak.
“Nanti pas mau tidur aja. Enggak basah kok, Yah. Aku lapar.” Aku pun meraih jatah punyaku. Aku memesan kwetiau tadi.
Aku membuka bungkusnya. Di atas piring yang sudah sedia. Pasti Ibu sudah menyediakannya agar pas aku datang, aku bisa langsung makan.
Pas dibuka, uhhh. Uapnya keluar. Cocok sekali di kondisi dingin seperti ini. Enak, mantap, lezat. Top markotop deh.
Saat aku akan menyuapkannya, kulihat orang yang sudah membelikan kwetiau ini untukku.
Kak Salwa. Lihatlah dia! Si serakah itu tak tahu diri. Beli dua sekaligus. Nasi goreng sama kwetiau. Enggak adil banget. Tubuhnya kecil tapi makannya banyak.
Licik sekali.
Eh enggak licik sih. Orang itu pake duit dia. Hanya saja, enggak adil saja. Seharusnya kalau kak Salwa beli dua, ya untuk ayah sama ibu juga harusnya sama. Kakak yang enggak punya etika emang.
Di tengah asik makan, kulihat Nazwa. Dia masih cemberut. Saat kupandang dia, bibirnya mengerucut dan matanya menjuling. Kubalas juga dengan bibir yang sengaja lebar di bagian bawah dan pipi yang mengembung. Saling meledek dengan ekspresi wajah yang dibuat sejelek mungkin.
“Itu pacar kamu, Mit?” tanya Ayah tiba-tiba, membualku melotot jadinya. Refleks. Pertanyaan konyol sekali. Entah apa yang dikatakan Nazwa sampai-sampai semua orang kini menahan tawa.
Kak Salwa yang asik makan juga nimbrung. “Lo punya pacar, Mit? Emangnya ada yang mau sama lo?”
DEGGG!
Aku tahu maksud kak Salwa apa. Dia menyindir. Mengarah pada body shaming.
Tubuhku memang tak selangsing dirinya. Pipiku juga tak setirus dirinya. Kulit wajahku juga tak semulus kak Salwa. Tapi apakah semua ciri-ciri fisikku yang tak secantik dia bisa dikaitkan dengan status kejomloanku sekarang?
Enak saja.
Walaupun hati kecilkumengakuinya sih. Hiks.
Aku menggigit bibir bawahku tanda kesal. Ingin sekali kugigit wajahnya itu.
“Setidaknya gue masih suci, enggak kayak lo yang gilir-gilir lelaki,” ledekku tanpa disaring. Biarlah. Ayah dan Ibu juga sudah tidak asing lagi mendengar keributan kami berdua. Walaupun pada akhirnya tetap saja.
“Mita!” Ibu membentak. “Kamu enggak sopan,” katanya. Kutahu kalau kak Salwa selalu mendapat pembelaan dari ibu.
Memangsih aku enggak sopan. Maksudku bukan mengarah pada keperawanan. Tapi kan setidaknya gituh, cerminan perempuan yang sering gonta-ganti lelaki biasanya sering dicap jelek.
Cih! Tapi memang selalu begini. Beginilah suasana rumah yang selalu tidak aku sukai.
Ayah pun melerai. “Eh, kok jadi berantem. Kalau kamu pacaran ya enggak apa juga Mit.” Ayah tersenyum.
Ingin sekali aku bilang kalau aku bukan pacarnya Malik. Bukan enggak mau hiks, hiks. Tapi aku takutnya kalau nanti Malik tahu dia pasti salah paham. Disangka seorang Mita ngaku-ngaku jadi pacarnya. Halahhh, kasusnya bisa menjadi aib sama seperti kasus sepucuk suratku pada Fajar. Ogah banget terjadi untuk yang kedua kalinya.
Namun, Nazwa telanjur menyerobot duluan.
“Enggak Yah. Kak Mita aja yang naksir. Mana mungkin kak Malik yang ganteng itu mau sama dia. Hahahaha.” Wajah Nazwa sungguh terlihat puas sekali. Dia memakan kwetiaunya sambil memasang wajah yang mengejek, padaku.
Aku ingin sekali melempar sendok yang sedang kupegang ini padanya. Dasar bocah ember emang.
Nafsuku pun berkurang. Padahal, perutku masih lapar. Kok bisa ya? Iya bisa. Udah enggak mood makan padahal perut masih minta suapan.
Ini juga termasuk kondisi yang selalu menyakitkan sekali. Aku jadi tidak kenyang makan.
Aku pun menggebrak meja. Sudah tak tahan dengan tatapan semua orang yang sungguh tidak mengenakkan. Aku tidak suka diejek seperti ini. Memuakkan. Diskriminasi.
“Sebel! Bikin enggak mood makan,” kataku sambil keluar dari himpitan meja makan dan segera pergi dari sana.
“Mit, habisin dulu makannya. Katanya tadi lapar.” Ayah mencoba mencegah. Tapi aku tidak mau. Sudah telanjur sakit hati.
Aku sakit hati. Haaaa, hiks hiks.
Perundungan terjadi di dalam keluargaku sendiri. Aku tidak suka.
“Nazwa tuh, tanggung jawab. Kakakmu marah. Kamu enggak takut dia ngamuk apa?” Terdengar kak Salwa menakut-nakuti Nazwa.
“Ih, kak Salwa yang bilang kak Mita tidak laku. Pasti kak Mita marah gara-gara Kakak.”
Masih kudengar mereka saling menyalahkan dan kak Salwa cekikikkan.
Terus saja seperti itu. Akan aku buktikan nanti. Wajahku bisa lebih cantik. Emangnya kak Slawa doang yang bisa laris? Aku juga bisa. Hanya waktunya belum tepat saja.
Si Nazwa aku sumpel bibirnya pake uang deh nanti. Biar dia mihak padaku. Si kecil yang plin plan itu memang sebenarnya mudah sekali dirayu. Dia kadang mihak aku kadang juga mihak kak Salwa. Tergantung mana yang membuatnya untung.
BRAKKK!
Pintu kamar kubuka dengan kasar. Ini mampu meluapkan emosiku yang membara.
Enggak suka, enggak suka, enggak suka.
Kutendang pula dengan kaki dan kembali berbunyi BRAKKK! Tampaknya aku seperti orang yang jago Taekwondo. Hehe.
Rusak tak apa. Enggak peduli juga. Aku yang biasanya sabar, kali-kali seperti orang edan boleh juga kan? Geram habisnya.
Geram karena aku enggak bisa ngehabisin makananku sebab tidak mood. Menghancurkan selera makan saja.
Jadinya aku makan gengsi doang. Parah parah!
Di saat seperti ini, biasanya aku tidur. Tapi entah mengapa aku tertarik membuka handphone dan berselancr di media sosial Instagram.