“Beliin Ayah sama Ibu juga. Mereka pesen kwetiau,” seru kak Salwa memberitahu. Dia pun secepat kilat menutup kembali pintu rumah.
Kurasa Ibu tadi menanyakan kepergian kami dan mereka juga pada pesen deh. Lagian kak Salwa juga, kenapa enggak tanya ibu sama ayah tadi. Eh, aku sendiri juga lupa sih. Hehe. Sudahlah!
“Kak, kita enggak pakai jas hujan?” tanya Nazwa. Dia masih bingung antara mengambil jas hujan dulu atau segera naik ke atas motor.
Aku tak buru-buru menjawab. Kutengadahkan telapak tanganku untuk mendeteksi seberapa derasnya hujan. Hehe, humor ya. Padahal hujan terlihat. Hanya mengetes betapa cepat hujan turun ke permukaan kulit tanganku. Ternyata tidak sakit. Terasa lembut di kulit. Itu pertanda kalau hujannya tidak deras. Hanya gerimis-gerimis manja. Tapi bukan gerimis mengundang, sebab itu judul lagu. Hahahah.
Jadi, bisa kuyakini bawah gerimis ini tidak akan membuat baju basah kuyup nantinya.
“Ayo, cepet naik! Kakak udah tahu ramalan cuaca malam ini. Tidak akan ada hujan lebat. Come on!” Ucapanku tidak benar. Tapi aku so soan tahu.
Hari ini, aku sama sekali tidak melihat ramalan cuaca. Hanya untuk membuat Nazwa percaya dan tidak berlama-lama berpikir. Aku tidak mau pulang kemalaman. Karena setiap malam, mau cuaca cerah tanpa hujan ataupun gelap dengan hujan. Pedagang nasi goreng di depan selalu banyak didatangi pembeli yang mau beli. Takutnya antre lagi seperti minggu lalu dan Ayah terpaksa menjemput, karena takut kedua putrinya kenapa-kenapa saat pulang.
Meskipun masih daerah kawasan rumah, tetap saja. Dunia malam jarang berdamai dengan manusia yang berkeliaran karena selalu menjadi alasan tindak kejahatan berpatroli. Anak gadis malam-malam, mau yang naik motor, apalagi jalan kaki. Akan tetap menjadi sebuah kekhawatiran sang ayah, maupun ibunya. Seharusnya saudaranya juga, tapi … kak Salwa kurasa bukanlah tipe orang seperti itu.
Mana mungkin dia mengkhawatirkan kami sekhawatirnya ayah dan ibu?
Dia pasti akan selalu bilang, “aman! Tidak akan ada apa-apa. Percayakan saja pada Allah. Suka salat, kan? Lahaula.” Itu bukan berarti kak Salwa benar-benar yakin. Tapi itu lebih ke mengelak saja. Agar aku dan Nazwa tidak penakut dan dia nantinya terselamatkan dari tuduhan sebagai kakak yang lalai. Ya, begitulah kak Salwa. Aku selalu jengkel oleh sikapnya.
“Yakin?” Nazwa ragu. Tapi dia langsung menutup gerbang dan naik ke atas motor di belakangku.
“Yakin. Percaya sama kakak,” kataku. Dalam hati, aku tertawa. Semoga Alloh menutupi kebohonganku soal ramalan cuaca hehe.
Tak butuh waktu lama. Sepuluh menitan pun kami tiba. Untungnya pembeli juga tidak terlalu banyak. Aku segera memesan. Aku dan Nazwa pun duduk, menunggu pesanan dibuatkan. Karena aku ragu soal cuaca malam ini, sebab gerimis masih stay, aku pun membuka handphone, menyalakannya dan melihat tanda cuaca. Kuklik layar yang bergambar cuaca, dan … GASWAT! Diperkirakan, malam ini akan turun hujan lebat.
Semoga saja bukan sekarang banget. Bisa jadi tengah malam, kan? Ah, jangan sampai. Soalnya kami tidak membawa jas di jok motor.
“Mang, kwetiaunya yang satu pedes banget ya!” seruku pada si Mang Penjual. Takutnya dia lupa. Hehehe.
“AsiaaaappP, Neng Mita! Sabar ya,” katanya.
Aku mengangguk sambil tersenyum. Adikku—Nazwa mendelik. Aku pun menohok padanya. “Kenapa?” tanyaku.
Nazwa menggeleng-geleng kepala. “Siap-siap aja dimarahin Ayah sama Ibu.”
Aku terkekeh. “Kakak kan baru kali ini lagi makan pedas, jadi kakak rasa Ayah sama Ibu akan maklum.” Nyengir kuda kutampakkan pada adik judes, dan pemarahku ini.
5 menit sudah berlalu. Aku dan Nazwa masih sabar menunggu. Gerimis masih belum berhenti. Dia masih berirama sama. Turun menyerbu bumi. Tidak serempak tapi berduyun-duyun.
Kulihat ada pembeli baru yang datang. Dia memakai jaket hoodie, wajahnya tidak terlihat. Dia memarkirkan motornya dan berjalan mendekat.
“Mang, kwetiau 2 bungkus ya!” ucapnya seraya membuka penutup kepalanya.
Aku pun terkejut.
“Malik!”
Dia pun menoleh sangat cepat. Aku jadi gerogi. Kelabakkan, gugup, mendadak meriang.
Huhhh pyuh!
Butuh pengkhangatan. Tiba-tiba kok jadi dingin seperti di kutub utara. Tubuhku rasanya membeku.
Eh, Mita. Lagi-lagi ngawur. Aku mana pernah ke kutub utara? Tahu betapa dinginnya pun aku tidak tahu. Hanya tahu saja kalau di sana dingin karena dipenuhi dengan es. Ya, bisa diibaratkan sedingin sekarang. Dipandang oleh Malik yang datang tanpa kuduga. Mendadak beku begini.
Spot jantung lagi, ya Alloh.
“Mita?” Dia menunjuk, dan mendekat.
Aku jadi kelimpungan tak jelas. “Hehehe.” Hanya bisa nyengir. Dadaku bengek. Istigfar, Mit. Enggak boleh error malam-malam begini.
Kutahu saat ini adikku—Nazwa pastinya menatapku heran. Dia sangat tahu gelagat salah tingkah kakaknya ini. Please! Kuharap Nazwa enggak peka. Bisa-bisa Nazwa heboh dan membuat tuduhan aneh-aneh setiba di rumah nanti.
Tarik napas Mita!
Hhuh!
“Kamu tinggal enggak jauh dari sini?” tanyaku basa-basi. Tapi, itu adalah pertanyaan yang memang sangat tepat dan akan menambah pengetahuanku tentang identitas Malik.
Di mana lelaki ini tinggal. Ya, strategi yang bagus Mita.
“Lumayan,” jawab Malik sambil tersenyum. Dia pun duduk di sampingku. Semakin debar-debar saja nih jantung. Tak karuan.
“Lumayan deket?” tanyaku memastikan arti dari kata ‘Lumayan’ itu apa.
Malik tersenyum. “Lumayan jauh, eheheh. Aku sengaja ke sini karena udah langganan, Mit. Jadi, biarpun agak jauh. Aku selalu bela-belain ke sini.”
Mulutku pun membulat. Membunyikan huruf ‘OOOOO’. Dia tidak menyebut lokasi rumahnya secara spesifik. Dia bahkan tidak bertanya balik di mana aku tinggal. Artinya? Ah, amsyonggg! Berarti Malik sama sekali tidak penasaran soal itu.
“Hem, eheeem, hem, ah. Batuk, ohok-ohok.” Nazwa mengacau.
Malik pun menoleh padanya. Dia menunjuk Nazwa. “Dia, adikmu?” tanyanya.
Anak SD itu benar-benar sengaja. Ya, Nazwa sengaja.
Aku pun tersenyum malu. Malik pastinya tahu kalau Nazwa barusan menggodaku.
“Iya dia adikku.”
Aku pun memelototi Nazwa. Awas kalau Nazwa kembali pura-pura batuk seperti tadi. Sungguh tidak pandai berakting.
“Tidak mirip,” celetuk Malik tiba-tiba. Aku pun bengong. Nazwa terkekeh mendengarnya. Aku sungguh tidak menyangka. Lelaki se-perfect Malik berani berucap kasar seperti itu. Kenapa kasar? Karena kutahu maksud dari ucapannya barusan apa. Dia sengaja tidak langsung bilang kalau Nazwa lebih cantik dariku. Meskipun kulit Nazwa sawo matang. Dia termasuk ke golongan manusia berwajah manis. Berbeda denganku.
“Ya, saudara kandung tidak mesti harus mirip, kan?” kataku, aku sedikit tersinggung dengan pernyataan Malik.
Malik terdiam. Dia salah tingkah jadinya. Mungkin Malik sadar kalau aku tidak enak dengan pernyataannya itu.
“Oh ya, Mit. Kamu tinggal di mana?” Malik mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku yang tadinya cemberut seperti mendapatkan secercah harapan. Ternyata, Malik juga penasaran di mana aku tinggal.
Aku kesulitan menjawab. Terasa kelabakkan sendiri.
“Aku tinggal di ….”
“Neng Mita, ini pesanannya.” Si Mang Penjual menyodorkan pesananku. Aku pun segera merogoh saku celana untuk memberikannya uang yang tadi kak Salwa berikan.
“Ini, Mang,” kataku sambil menyodorkan uang itu padanya.
Si Mang itu pun langsung membuka laci yang terpasang menyatu dengan gerobaknya. Laci penyimpanan uang. Dia memasukkan uang yang telah aku berikan dan mulai menghitung beberapa lembar uang receh. Ada sepuluh ribu rupiah dua lembar, dan uang senilai dua ribu rupiah satu lembar.
Si Mang itu pun menyodorkan uang itu padaku, dengan sopan. “Ini kembaliannya.”
“Iya, makasih Mang Ebo,” kataku sambil tersenyum.
“Asiapppp,” balasnya penuh semangat dan keramahan yang selalu melekat di wajahnya.
Setelah itu, aku pun membalik badan dan pamit pada Malik sambil memberinya senyuman manis. Sebagai ucapan selamat tinggal dan sampai ketemu besok. Namun, kenyataan pahit datang tiba-tiba.
DUARRRR!
Hujan lebat tiba-tiba mengguyur. Tubuhku kaku, kulihat ke samping, Nazwa sudah melotot. Tatapan menyalahkan.