Menempel semalaman pada Joo sepertinya sudah menjadi kebiasaan sejak kami 'resmi' menjadi sepasang suami-istri. Meski begitu aku lega karena Joo tak marah sama sekali, dia justru membuatku merasa jauh lebih nyaman saat ini. Lega, sebuah kata yang bisa menggambarkannya.
Seumpama ini pernikahan sungguhan, maksudku atas dasar suka sama suka sebesar apa rasa cintaku ini? Ah, aku berharap lebih lagi. Rasanya ingin serakah dan terus saja meminta lebih. Bagaimana caraku membuang jauh-jauh pemikiran konyol barusan?
"Mama nggak akan balik ke rumah ini," ungkap Joo.
Aku yang baru saja menguap dan bersiap tidur pun kini menatapnya cukup lama. Memang sejak kami menikah mama pergi begitu saja, mereka tak mengatakan apa-apa padaku. Kecuali nanti jika membutuhkan uang dan mama menelpon maka aku baru akan menanyakan dimana keberadaan mereka.
Sialan, lagi-lagi aku merasa seperti tak seharusnya dilahirkan. Namun detak jantung baru dalam perutku membuat kocar-kacir rencana awal. Seperti layaknya menyusun ulang cetak biru, butuh waktu tersendiri untuk begadang dan bahkan harus merelakan waktu makan.
Kembali pada ucapannya tadi. Apa sih maksudnya? Aku benar-benar tak paham apa topik yang sedang Joo katakan karena dia jika berbicara hanya setengah-setengah saja. Uh, menyebalkan.
"Mama minta rumah, aku beliin di kawasan golden house," imbuh Joo.
Mataku membulat. Perlahan pelukan yang sejak tadi sengaja kueratkan kini makin mengendur. Aku mundur beberapa centimeter.
"Maksudnya apa? Aku nggak bilang apa-apa, bahkan aku juga-"
"Memang bukan kamu," ungkap Joo.
"Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya begini! Kami kan tahu mama sama papa akan meminta lebih kalau sekalinya dituruti. Bisa aku meminta sesuatu sama kamu sebagai istrimu? Jangan membuat mereka bertindak seperti ini, kamu ... benar-benar menyebalkan, Joo," lirihku sambil berusaha duduk.
Aku menatap matanya cukup lama lantas berdiri.
"Kala nggak gini ...."
Lagi-lagi ucapannya membuatku berhenti. Aku diam, untuk waktu yang lama membiarkan dia menjeda sesuka hatinya. Namun, agaknya dia bahkan tak ingin melanjutkan ya? Haruskah aku melangkah-
"... apa kamu akan baik-baik saja, By? Tinggal serumah dengan mama hanya akan membuatmu depresi, walaupun aku belum bisa menerima fakta dia anakku namun melihatmu yang kekeuh mau mempertahankan anak setidaknya sebagai suami ingin hati membantu."
Aku memang tak menyahut. Namun tetap saja masih diam dan menyimak ucapannya.
"Mungkin aku terlihat seperti suami edan yang sesuka hati memutuskan tanpa mempertimbangkan keinginan istrinya. Tapi, bisa tidak kamu melihat dari sudut pandang lain? Jelita Paramesti, apakah kehidupan pernikahan kita akan setenang ini jika ada mama?" lanjut Joo dengan suara yang agak lirih kali ini.
Tubuhku membatu, bibirku kelu dan tak bisa mengucapkan barang sepatah kata pun itu. Bagaimana bisa Joo memikirkan hal seperti ini saat aku mengungkapkan cinta tapi malah dibalas dengan tawa?
Joo terlihat seperti suami sungguhan saat ini. Dia selayaknya suami yang ... sedang mengkhawatirkan istrinya. Hampir saja aku tersentuh dan mengharap lebih jauh. Beruntung fakta-fakta yang ada masih sempat menamparku.
"Aku tahu," balasku yang karena sudah berdiri membelakangi Joo aku malas memutar badan.
Berbicara sambil membelakanginya membuatku was-was. Aku takut, sangattt ketakutan. Bagaimana jika saat ini tanpa sepengetahuan dariku Joo menyeringai mengejek kebodohanku? Bagaimana jika di belakang sana Joo benar-benar puas dengan sisi lemahku?
Demi ketentraman hati untuk jangka panjang aku akan pergi dari sisinya malam ini. Sejenak saja, biarkan kesalahpahaman yang ada makin menjadi-jadi atau bagaimana itu terserah aku tak peduli. Kuhembuskan nafas cukup panjang.
"Malam ini aku tidur di bawah, maaf karena akhir-akhir ini sering bikin ulah dan manja sama kamu. Juga, makasih karena telah mengusir mama," ucapku tak tulus.
"By!"
Seruan dari Joo hendak kuabaikan. Namun secepat kilat dia mengangkat tubuhku. Entah bagaimana bisa sekarang aku sudah dalam gendongannya. Jantungku hampir lepas rasanya saat jarak kami sedekat ini, saking dekatnya nafas kasar Joo menyapu kulit di wajahku.
"Apaan sih, Joo?!" sentakku padanya.
"Bisa nggak lain kali kalau suami ngomong didengerin dulu? Bumil sensitif banget ya akhir-akhir ini?" balasnya membuatku merasa malu.
Namun jelas aku menutupinya dengan pelototan tak jelas. "Nggak ya, aku emang dari dulu gini!"
"Masak?" tanyanya dengan nada jahil.
Pada akhirnya aku kalah, senyum manisnya selalu saja jauh lebih menggoda. Kuhembuskan nafas lantas mati-matian menahan senyuman.
"Nggak udah ditahan kalau mau senyum," ledek Joo.
Dia menunduk, sempat-sempatnya meninggalkan kecupan di sudut bibirku. Rasanya hendak lepas jantung ini jika sedari lahir tak dipasang dengan kuat. Jika saja buatan manusia dan ada sekrupnya aku ... tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
"Kamu nggak ada niatan kabur lagi kan, By?" tanyanya.
Kali ini Joo memasang tampang serius. Aku menggigit bibir lantas menggeleng. Dua puluh enam tahun, seusia ini harusnya aku 'sedikit' lebih dewasa. Namun mengapa sifatku masih saja sama? Mengapa saat ada masalah aku justru ... melarikan diri bukan menghadapi?
"Kalau gitu kita lanjutkan pembahasan yang tadi, ya? Haruskah kali ini aku rantai kamu biar nggak kabur kayak tadi?"
Aku tahu Joo menggodaku, namun tetap saja kesal melihatnya. Ku cubit lengannya, bukan kesakitan dua justru tertawa cekikikan.
"Ayok balik," pintaku malas.
"Kemana? Sudah jam setengah dua belas malam, mau balik kemana?" timpal Joo.
"Ke sana lah," tukasku.
"Sana itu yang mana ayangku?"
Hih!
Aku benar-benar kesal hingga ingin mendepaknya saat ini. Tetapi jika kudepak bukankah aku akan jatuh juga? Joo, tidak bisakah kamu berhenti menggodaku?! Aku ketakutan setengah mati, mencintaimu membuatku merasa tak bisa bertahan hidup lebih lama.
"Kasur, mas suami tolong ya antarkan istrimu ini ke kasur," ucapku dengan senyum paksa.
Joo tertawa kecil. "Hm, baiklah istriku aku akan menuruti keinginan hatimu."
Saat Joo tak lagi menatapku, raut wajah yang semula bahagia kuubah menjadi sosok istri yang paling sengsara. Bisakah aku memenjarakan Joo dalam perangkap cinta ini?
Jika ada caranya tolong bantu aku.
"Hayo mikirin apa," seru Joo selepas menurunkan dan menempatkanku pada posisi semula.
"Kepo!" balasku dengan gelak tawa.
"Dih, dasar bumil."
Aku tersenyum tanpa berkata apa-apa lagi. Tuhan, bolehkah aku menangis dengan dalih patah hati setelah kenikmatan yang engkau berikan? Kenyataannya aku tak bisa menangis dan hanya terus menyuguhkan senyuman layaknya badut bodoh yang tak memiliki harapan.
Karena saat aku mengharapkan sesuatu kesedihan akan menyusul di waktu berikutnya. Aku benar-benar tak mau kalah seperti itu. Hanya kebahagiaan saja, namun mengapa begitu luas maknanya?
'Bahkan ... arti bahagia yang sesungguhnya saja aku kurang paham, ha-ha menjijikkan.'
'Tapi dengan bodohnya aku selalu berdoa, Tuhan ijinkan aku bahagia. Ah, ternyata aku sebodoh ini, ya?'
-Bersambung ....