Joo menghembuskan nafas panjang. Dia duduk di sofa usai kami saling membentak tadi. Malas berada di dekatnya aku memilih untuk segera ke kamar, namun suara Joo membuat langkahku terhenti. Ucapan dengan nada dinginnya selalu saja tak berhasil membuatku menyela apa lagi menggerakkan kaki.
"Duduk, By, bukan cuman tentang Astrid. Ayo kita bahas Doni dengan lebih detail lagi," ujarnya yang nampak sungguh-sungguh.
"Aku mau mandi," balasku.
Wajahnya nampak memerah. Namun dia tak mengatakan apa-apa, biarkan saja lah, toh aku benar-benar mau mandi, 'kan? Cukup tahu diriku bahwa Joo benar-benar marah jika aku mengusik wanita ular itu hingga mempermalukannya. Namun sebagai suami tidakkah dia … berpikir sedikit saja tentang posisiku dan seberapa malunya aku?
Rasanya sesak hingga aku takut akan menangis kencang dan memukul wajahnya yang sialan itu. karenanya aku … kembali melanjutkan langkahku. Tiba di kamar gegas aku mandi. Tak perlu air hangat, otak dan tubuhku terasa sangat amat panas saat ini. Harusnya mungkin aku menggunakan balok es batu untuk mandi kali ini.
Dengan mandi paling tidak pikiranku yang kacau akan kembali membaik. Atau aku perlu menenggelamkan diri di bath up saja? Tapi … ada bayi di dalam sini. Tak hanya satu nyawa, jika aku mati maka langsung melenyapkan nyawa. Meski aku kerap kali membuat dosa namun sejujurnya diriku pun juga memahami bahwa Tuhan benci makhluknya yang bunuh diri apa lagi membunuh sesamanya.
Demi menghapus pengaruh buruk, setengah jam kuhabiskan untuk mandi dan lain-lainnya. Melirik pintu kamar, sepertinya Joo tak ada niatan untuk masuk. Aku juga belum mau membujuknya, mungkin nanti jika benar-benar sudah tak siap hidup tanpanya maka pilihan terburuk harus segera diputuskan.
Sekarang baru jam setengah delapan. Mungkin dia akan masuk nanti, batinku berkata.
Namun aku sudah sangat lelah hari ini, karena itulah aku memutuskan untuk tidur duluan. Tapi kepalaku pusing. Padahal tadi biasa-biasa saja. Dan … sedikit lapar, namun malas untuk memasak. Bagaimana bisa aku memasak enak saat pikiran kacau? Apa jadinya jika tak sengaja menukar garam dengan gula?
Lagian kalau Joo lapar dia pasti akan mencari bundanya. Dia masih normal untuk memakan masakan amburadul istrinya ini. Meski berhasil sekali terkadang masakanku bahkan tak lebih baik dari makanan kucing di pinggir jalan.
Terbaring miring. Aku mendengus saat tak lagi merasa mengantuk. Sungguh, kepalaku sakit bukan main. Mau tidur saja susahnya bukan main! Jika meminum obat lagi maka aku akan kecanduan. Bukankah ibu hamil tak boleh meminum obat terlalu sering? Meski belum sepenuhnya menerima anak ini namun aku cukup menghargainya.
Mendengus kesal, kuambil ponsel lantas mencoba mendownload asal permainan. Kata Doni saat-saat seperti ini lebih baik bermain game saja. Dan sepertinya ini … ampuh.
Hem, saking ampuhnya aku kebablasan! Argh, dasar game anak-anak sosis. Gara-gara mereka aku sampai tak sadar kalau sekarang sudah jam sepuluh malam. Bahkan rasa sakit kepala yang sempat ada pun kini kian mereda.
Merasa tak ada tanda-tanda Joo akan masuk, dengan setengah hati aku keluar kamar. Dari sini aku bisa melihat laki-laki itu yang masih duduk di tempatnya. Agaknya dia sedang merenung, namun bisa jadi Joo hanya memikirkan cara membentak tanpa mendapatkan perlawanan.
Dia mendongak mungkin menyadari derap langkahku.
"Kenapa nggak tidur?" tanyaku kesal.
Bagaimana mungkin dia bertahan di tempat ini dari lima jam lalu?! Sebenernya Joo itu gila ya? Ah, iya dia tergila-gila pada wanita ular itu hingga beranjak dari tempatnya saja tak mau. Haha bisa jadi Joo berharap Astrid akan datang dan mengatakan bahwa dia tak papa, nyenye!
Owh ya Tuham, jik bukan gara-gara Astrid sepertinya dia tak jadi gila begini. Mengingat kalau dia bahkan ingin meluruskan kesalahpahaman sampai pura-pura ngambek begini agaknya Joo memang benar-benar sudah jatuh terlalu dalam.
"Udah mandinya?" sahut bocah itu membuatku gemas.
"Aku nggak mau bahas apa-apa, Joo ...." Aku mendengus lantas duduk di sebelahnya.
"Aku nunggu bukan buat dapat jawaban itu," sanggah Joo.
"Lantas?" Aku menyahut malas.
"Harusnya kamu jauh lebih tahu. Aku bukannya nggak mau kamu dekat-dekat sama dia, tapi kalau semakin banyak gosip kalian rasa curiga makin ada. Nggak ada yang bisa menebak, laki-laki dan wanita jika mereka bersahabat maka wanitalah yang akan dirugikan, By," jelasnya membuatku membeku.
Dia membahas persahabatan kami?
Ah, jika memang dia membicarakan kami kurasa benar. Memang wanita yang paling dirugikan. Namun aku tak ingat pernah melakukannya dengan orang lain. Joo yang pertama, dan beginilah jadinya.
"Intinya kami mau tanya apa aku udah sejauh itu sama Doni atau belum, iya gitu, 'kan?" balasku agak kesal.
"Nggak." Joo menggeleng. "Bukan gitu, kamu direktur, selalu jadi pusat perhatian seenggaknya sadar saja kalau sudah menikah. Gosip mereka mungkin nggak berguna buat kamu, beberapa orang kepercayaan pasti akan membereskannya namun untuk klien terlibat skandal bukan hal yang baik. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa, By."
Kali ini aku tak bisa bersuara. Semua klien memang datang di hari pernikahan, lebih lagi mereka tahunya suamiku Hendri bukan Joo. Entah bagaimana cara mama menyembunyikannya. Namun aku butuh customer untuk tetap hidup, tanpa mereka bagaimana caraku membayar hutang sama mama?
Menghembuskan nafas panjang. Kali ini Joo benar-benar sudah menang. Kembali pada posisi semula, masalah berdebat dia jauh lebih unggul dan aku kalah telak. Kapan dia mau mengalah demi aku 'istrinya' ini, ya?
"Aku bakalan jaga jarak, mungkin kedepannya hubungan kami nggak perlu sedekat itu. Tapi berinteraksi sama dia merupakan kebutuhan karena kami partner, aku tahu kamu nggak akan cemburu tapi aku tetap mau jelasin," paparku setelah memikirkan semuanya matang-matang.
Ya, tak ada salahnya kok. Mungkin memang sudah seharusnya aku seperti ini sejak awal. Salahku yang tak bisa membedakan urusan pribadi dan pekerjaan.
"Oh, oke," timpal Joo.
"Tidur di kamar aja, kamu nggak mungkin pulang ke rumah bunda, 'kan?" tanyaku penuh selidik.
"Bukannya kamu lapar? Ya sudah ayok cari makan dulu, dari pada nggak bisa tidur karena kelaparan," ajaknya membuatku bersemangat.
Dia kan memang begitu, tak hanya menyebalkan namun kadang bisa begitu perhatian. Gegas aku mengambil sweater lantas menggandeng tangannya.
"Jalan aja ya? Sekalian olahraga?" pintaku namun dia menggeleng.
"Nggak bisa, By, udah malam banget. Kita naik mobil aja ya? Nanti kalaupun mau makan di pinggir jalan pun nggak masalah kok," ujarnya yang membuatku bersemangat.
"Oke, kuy!"
Kami masuk ke dalam mobilnya. Lantas Pajero miliknya membelah jalanan malam. Sesekali aku bersenandung kecil dan menyahut ucapannya yang melantur.
Kadang aku merasa kalau dia memang benar-benar Joo yang baik. Namun itu hanya angan-angan saja.
Yah setidaknya, aku menyukainya sepenuh hati.
"Joo?"
"Kenapa, By?"
"I love you, so much, hehe...."
Hehe dalam artian aku tahu bahwa kamu … tak akan pernah membalas perasaan ini.
-Bersambung ....