Sungguh hati Kiara saat itu sangat kesal sekali. Sepatu yang tadi dipegangnya dia lempar ke arah Leo.
"Leo, buka pintunya!" teriaknya dengan puncak kekesalan yang sudah di ubun-ubun kepala.
Leo hanya tersenyum manis melihat Kiara, mengganggu Kiara menjadi kesenangan tersendiri untuknya. "Kemarilah." Leo menepuk kembali tempat tidur kosong yang ada disebelahnya.
Kiara menyandarkan tubuhnya ke pintu, pelan-pelan tubuhnya turun ke bawah. Duduk dengan kaki menekuk di depan dada. "Aku tidak sudi duduk disampingmu," ucapnya.
"Kamu memang keras kepala. Kenapa selalu melawanku?" Leo lalu bangun dan menghampiri Kiara. Leo hanya memakai celana pendek, tubuh bagian atasnya terpampang sempurna.
Kiara melihat tanpa berkedip. "Si kurang ajar ini mempunyai roti sobek yang sempurna, dada yang bidang. Kalau diperhatikan baik-baik, wajahnya sangat tampan. Sungguh indah maha karyaMU." Kiara berbicara sendiri di dalam hatinya, tidak sadar kalau dia sedang memujinya.
Leo menatap Kiara sejenak. Menghela napas panjang lalu menarik Kiara untuk berdiri dan dengan mudahnya tubuh Kiara di angkat ke pundaknya.
"Apa yang kamu lakukan?!" teriak Kiara kaget. "Turunkan aku, kurang ajar!"
Leo berjalan dengan santainya ke arah tempat tidur. "Berisik sekali," ucap Leo sambil memukul pantat Kiara yang tubuhnya menungging.
"Kurang ajar!" Kiara memukul-mukul punggung Leo.
Leo langsung melempar tubuh Kiara ke tempat tidur.
"Aaa ---!" teriaknya kaget. Badannya melayang dan mendarat sempurna di atas kasur yang empuk dengan posisi terlentang.
Leo tidak memberi Kiara kesempatan untuk bangun, dirinya dengan cepat langsung menindih tubuh Kiara.
"Lepaskan! Menjauh dariku!!" Kiara memukul-mukul dada Leo yang tanpa baju.
Pukulan Kiara didadanya yang bidang tidak berarti apa-apa buatnya. Leo hanya tersenyum melihat Kiara yang sekarang ada dibawahnya. Tubuhnya semakin mengunci pergerakan tangan Kiara. Ditatapnya mata indah coklat yang sekarang menjadi kesukaannya. Bulu mata yang lentik ditambah dengan alis yang tebal, hidung yang cukup tinggi untuk ukuran orang Indonesia dan bibir mungil yang sekarang menjadi candunya.
"Minggir Leo, badanmu berat sekali." Kiara masih berusaha untuk bisa lepas dari tindihan tubuhnya Leo.
"Ssst, diamlah." Leo melihat bibir merah, yang dari tadi menarik perhatiannya. Perlahan wajahnya turun, bibirnya mendarat sempurna di atas bibir Kiara yang dari tadi terus memakinya.
Kiara merapatkan bibirnya kuat-kuat, tubuhnya terus saja bergerak berusaha untuk bisa lepas dari tindihan Leo.
Bukan Leo namanya kalau tidak bisa mengakali Kiara. Digigitnya pelan bibir Kiara sehingga mau tidak mau Kiara harus membuka bibirnya. Kesempatan tidak disia-siakan Leo, dengan mudahnya Leo mengeksplor bibir Kiara.
Apapun usaha yang dilakukan Kiara untuk melawan Leo, tidak ada hasilnya sama sekali. Dirinya selalu kalah. Kiara hanya terdiam tanpa membalas ciuman Leo.
Leo berhenti melepas ciumannya. "Balas sayang, kenapa diam saja?"
Kiara diam seribu bahasa. Wajahnya dia palingkan ke samping. Dirinya sebagai seorang wanita merasa sangat dilecehkan. "Aku ingin pulang." Hanya kata itu yang ke luar dari bibirnya. Dirinya berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis, tidak ingin terlihat lemah di hadapan Leo.
Beberapa saat Leo terdiam, menatap Kiara dalam. "Aku akan mengantarmu pulang." Leo segera bangun dari atas tubuhnya Kiara kemudian masuk ke ruangan lain yang masih ada di kamar itu.
Kiara sendiri, menarik napas lega. "Kenapa dengan mudahnya dia menuruti kemauanku? Apa aku telah menyakitinya? Kulihat dimatanya, dia seperti sedih." Kiara berbicara sendiri. "Bodoh amat, bukan urusanku. Sekarang aku ingin pulang."
Tidak lama kemudian, Leo sudah rapih dengan memakai pakaian kasual. Kiara sempat terdiam, terpana melihat Leo karena biasanya dia selalu melihat Leo memakai setelan jas tetapi kali ini, Leo terlihat seperti anak muda. Orang tidak akan menyangka kalau dia berumur 30 tahun.
Tanpa basa basi Leo langsung ke luar dari kamar bahkan tanpa melihat ke arah Kiara yang masih duduk di tepi tempat tidur.
Kiara bergegas memakai sepatunya yang tadi dia lemparkan, di ambilnya tas tangan yang tergeletak di lantai. Dengan terburu-buru pula, dia merapikan baju dan rambutnya lalu setengah berlari menyusul Leo ke luar.
Leo menuruni anak tangga. "Ratih, siapkan makanan!"
Ratih yang berada di dekat tangga langsung bergegas pergi. "Baik Tuan."
Kiara yang masih di belakang, terpana melihat keindahan rumah. "Rumahnya besar sekali, memangnya di rumah ini yang tinggal berapa orang sampai rumah bisa sebesar ini. Lukisannya indah sekali, berapa itu harganya." Kiara berhenti sebentar melihat sebuah lukisan yang terpasang di salah satu dinding.
Leo melihat sekilas ke belakang, di lihatnya Kiara sedang mengagumi salah satu koleksi lukisannya.
"Tuan, apa perlu sesuatu?" Pak Bowo tiba-tiba muncul dari arah belakang Leo.
"Tadi aku sudah suruh Ratih menyiapkan makanan. Buatkan untuk 2 orang."
"Baik Tuan." Pak Bowo sempat melihat sekilas ke arah Kiara yang sedang melihat-lihat lukisan.
Kiara selesai melihat-lihat lukisan, langkahnya dilanjutkan mencari Leo yang sudah menghilang dari pandangannya. "Ke mana Leo? Rumah sebesar ini, aku harus mencarinya ke mana?" Kiara melangkahkan kakinya tidak tahu akan membawanya ke mana.
"Leo, di mana kamu?" Kiara berbicara sendiri.
"Nona, dari tadi sudah di tunggu Tuan di ruang makan. Mari Nona." Tiba-tiba entah muncul dari mana seorang pelayan sudah ada di belakangnya.
Kiara yang di buat kaget oleh pelayan tersebut hanya bisa mengikuti pelayan itu dari belakang sambil mengelus dada. "Jantungku hampir saja ke luar dari tempatnya, membuatku kaget saja."
Setelah melewati beberapa lorong dan ruangan akhirnya mereka sampai di ruang makan. "Tuan, mungkin Nona tadi nyasar di Mansion ini. Aku menemukannya di dekat taman belakang." Pelayan itu menjelaskan ke Leo.
"Pergilah, lanjutkan pekerjaanmu," ucap Leo tanpa menoleh sedikit pun ke Kiara.
Pak Bowo segera mempersilahkan Kiara yang hanya berdiri saja. "Silahkan Nona." Pak Bowo menarik salah satu kursi yang di dekat Leo mempersilahkan Kiara untuk duduk.
Leo hanya terdiam, sedikit pun tidak melihat Kiara. Dia sedang sibuk mengunyah makanan yang ada di mulutnya.
"Terima kasih," ucap Kiara sopan, duduk dengan perlahan. Dilihatnya Leo yang sedang asyik makan.
"Silahkan Nona." Pak Bowo melayani Kiara dengan sangat baik. "Makanlah apa yang Nona suka, jangan sungkan," ucapnya, melihat sekilas ke arah Leo yang hanya sibuk sendiri. Pak Bowo juga merasa heran dengan Tuannya itu.
Kiara terdiam, tidak tahu harus bagaimana. Dilihatnya Leo yang dari tadi tidak sedikit pun melihat dirinya. "Apa dia marah padaku? Apa yang harus aku lakukan? Lihatlah makanannya, ya ampun banyak sekali. Perutku sudah berdemo dari tadi, aku lapar. Tetapi tidak, diamlah naga-naga kecilku yang di dalam perut. Sabar, jangan berisik." Kiara tidak henti-hentinya bicara sendiri di dalam hati.
Pak Bowo melihat ke Leo, merasa heran karena tidak sedikit pun menawarkan makanan ke tamunya. "Kenapa dengan Tuan? Dari tadi dia makan sendiri. Apa dia sedang marah?" Pak Bowo dalam hatinya bicara sendiri.
"Nona mau makan apa? Biar aku ambilkan," Pak Bowo menawarkan diri, merasa kasihan melihat Kiara.
"Terima kasih, tidak usah. Aku tidak lapar. Namaku Kiara, panggil saja Kiara jangan Nona." Kiara kembali melihat ke Leo tetapi di lihatnya Leo tidak memperdulikannya.
Beberapa waktu lamanya, Leo selesai juga. Kiara hanya terdiam, tidak sedikit pun menyentuh makanan yang ada di atas meja.
"Pak Bowo, siapkan mobil. Aku akan mengantar seseorang pulang."
"Baik Tuan." Pak Bowo bergegas pergi, melaksanakan apa yang Tuannya suruh.
Leo melangkah ke luar, entah mau ke mana meninggalkan Kiara sendirian. Kiara duduk terdiam, hatinya merasa tidak enak melihat Leo yang begitu dingin padanya. Jauh di dalam hatinya, dia merasa sedih dengan sikap Leo yang begitu.
"Nona, Tuan sudah menunggu di depan. Mari Nona." Ratih datang untuk menjemput Kiara di suruh Leo.
Kiara mengikuti Ratih dari belakang. Para pelayan yang berpapasan dengannya mengangguk hormat menyapa Kiara.
Di depan terlihat Leo sudah duduk di dalam mobil.
Pak Bowo yang melihat Kiara langsung membukakan pintu mobil. "Silahkan Nona."
"Terima kasih," jawab Kiara canggung karena dirinya tidak pernah diperlakukan seperti itu.
Setelah pintu mobil tertutup, Leo menjalankan mobilnya tanpa melihat ke Kiara.
Selama dalam perjalanan, sesekali Kiara melihat ke arah Leo. Kiara ingin mengatakan sesuatu tetapi setiap dirinya melihat Leo yang tidak mau melihat ke arahnya, semua kata-kata cuma bisa sampai di ujung lidahnya saja.
Hening, sepi bahkan alunan musik pun tidak ada. Kiara menggigit bibirnya, matanya melihat ke luar jendela. Hatinya berbicara. "Mungkin lebih baik begini saja. Leo bersikap dingin padaku. Kembali seperti dulu. Tidak pernah mengenalnya. Aku pun kembali tenang menjalin hubungan dengan Bagas tanpa harus membohonginya. Tetapi kenapa? kenapa hati ini merasa sakit melihatnya begitu dingin padaku? Aku merasa ada yang hilang dari diriku." Kiara memejamkan matanya, pikirannya diselimuti kebingungan.
Leo melirik sekilas ke arah Kiara, dilihatnya mata Kiara sedang terpejam. "Aku sebenarnya tidak tega, apa lagi dia belum makan dari semalam. Tetapi ini harus aku lakukan, agar dia tahu dengan siapa dia berhadapan."
Tidak terasa mobil sudah sampai di depan pintu pagar rumah Kiara.
"Sepertinya aku tidak pernah memberikan alamat rumah padamu. Dari mana kamu tahu rumahku?" tanya Kiara.
Leo tidak menjawab sepatah kata pun. Matanya lurus menatap ke depan.
"Kenapa denganmu? Kamu ini aneh sekali." Kiara melihat Leo dengan alis yang mengernyit. "Kenapa?" tanya Kiara lagi.
Tetapi tidak ada jawaban, Leo tetap diam tanpa berkata apa pun.
"Aku tidak mau ke luar kalau kamu tidak menjelaskannya padaku," kata Kiara.
Leo terdiam, bahkan melihat Kiara pun tidak. Matanya lebih tertarik melihat orang-orang yang berada di luar sana.
"Leonardo Albert Winston anak semata wayang Tuan Smith Albert Winston, CEO muda yang terkenal tampan di kalangan wanita dan punya IQ di atas rata-rata kenapa diam saja? jawab aku!" Habis sudah kesabaran Kiara menghadapi sikap dingin Leo.
Leo melihat Kiara, mata hitam pekatnya menembus tajam ke dalam iris mata Kiara.
Jangan lupa tinggalkan komentar atau vote di setiap chapter
Kedua mata mereka bertemu, saling menatap penuh dengan kekesalan kedua-duanya.
"Bukankah ini mau kamu?! Bukankah ini yang kamu inginkan?!" teriak Leo.
"Kenapa kamu marah padaku?!" balas Kiara berteriak. "Harusnya aku yang marah padamu!" Dada Kiara naik turun menahan emosi, matanya tajam menatap Leo.
"Astaga, bocah ini!" Leo memijat pelipisnya yang terasa pening. "Ke luar! Jangan menguji kesabaranku," ucap Leo berusaha menahan emosinya.
Kiara terdiam, matanya tetap menatap tajam Leo. "Aku tidak mau ke luar!"
"Ke luar!" Leo menghidupkan mesin mobilnya.
"Tidak mau! Kenapa kamu marah padaku?!"
"Kalau kamu tidak ke luar sekarang, selamanya kamu tidak akan aku lepaskan. Dan jangan menyalahkan aku dengan apa yang akan aku lakukan padamu nantinya." Ancam Leo.
"Aku tidak takut padamu! Kamu bawa ke ujung dunia sekali pun, aku tidak takut!" Kiara malah balas menantang Leo.
Leo tersenyum sinis melihat Kiara. "Kamu yakin dengan keputusanmu?"
"Aku tidak takut dengan apa pun. Aku hanya ingin tahu, kenapa kamu marah padaku?!"
"Dasar bocah ingusan. Keluarlah, aku tidak mau berurusan denganmu," ucap Leo melunak.
"Tidak, aku tidak mau." Kiara malah memegang sabuk pengaman yang ada di didadanya.
"Baiklah, kamu ingin tahu kenapa aku marah bukan?" tanya Leo.
Kiara tidak menjawab, menunggu Leo melanjutkan bicaranya.
"Aku tidak marah padamu, aku marah dengan kebodohan aku sendiri." Leo menatap lurus ke depan. "Kamu tidak menyukaiku, kenapa aku harus memaksamu? Kamu cukup mengerti bukan dengan maksud perkataanku." Leo melihat Kiara. "Sekarang, keluarlah. Aku membebaskan dirimu."
Kiara terdiam. Entah perasaan apa yang dia rasakan sekarang, harus bahagia atau menangis. Harusnya bahagia bukan? Bukankah ini yang dia inginkan? Tetapi kenapa hati ini terasa sakit.
"Kenapa diam? Aku sudah menjelaskan semuanya. Aku kembalikan semuanya seperti semula. Kamu dengan kekasihmu dan aku dengan kehidupanku. Bukankah itu yang kamu inginkan? Sekarang keluarlah."
Kiara melihat Leo. "Leo, aku --- ." Kiara menggantung ucapannya.
"Aku membebaskan kamu. Pergilah sebelum aku berubah pikiran. Kalau kamu tidak pergi, aku tidak akan melepaskanmu lagi." Leo menatap Kiara tajam.
Beberapa detik Kiara terdiam, kemudian membuka sabuk pengamannya. "Leo, maafkan aku." Kiara pun ke luar dan pergi tanpa melihat lagi ke belakang. "Mungkin ini yang terbaik, semuanya akan baik-baik saja." Gumam Kiara membuka pintu pagar lalu masuk.
Leo langsung menghidupkan mesin mobilnya, melaju kencang membelah jalanan Ibukota.
"Bu, Ibu, Kiara pulang." Teriak Kiara, masuk ke dalam rumah yang tidak terkunci.
"Kiara, Kiara. Ke mana saja kamu? Ibu sangat cemas memikirkan kamu." Ibu muncul dari arah dapur dengan tergesa-gesa.
"Kiara baik-baik saja Bu, jangan khawatir." Kiara memeluk Ibunya, sejujurnya dirinya tidak merasa baik-baik saja. Dirinya ingin menangis tetapi menangis untuk apa. Ada kesedihan yang bergelayut dihatinya.
"Ibu dari pagi menghubungi ponselmu tetapi tidak terhubung."
Kiara membuka tasnya. "Lihatlah Bu, baterainya habis." Kiara memperlihatkan ponselnya kepada Ibu.
"Yang penting sekarang kamu sudah pulang dalam keadaan selamat. Terima kasih Tuhan telah melindungi anakku." Ibu tersenyum bahagia, meskipun umurnya sudah tidak muda lagi tetapi masih terlihat jelas, garis kecantikan di wajahnya. "Ke mana kamu semalaman? Tidur di mana? Ibu menghubungi ponselmu, yang menjawabnya laki-laki yang bernama Leo."
"Ibu telepon aku jam berapa?" tanya Kiara.
"Sekitar jam 3 atau jam 4, Ibu lupa. Orang itu bilang kamu sedang tertidur. Kamu tidur di mana?"
"Apa Bagas ada mencariku?" tanya Kiara mengalihkan pertanyaan Ibunya.
"Tidak. Tadi pagi Ibu menghubunginya tetapi sampai sekarang dia tidak menghubungi Ibu lagi. Kenapa kamu tidak pulang dengan keluarga Bagas. Bukankah mereka yang mengajakmu?" Ibu mengomel kesal.
"Ceritanya panjang Bu, nanti Kiara ceritakan. Sekarang Kiara mau mandi. Ibu masak apa? Kiara lapar."
"Ibu tadi masak sayur kesukaanmu dan ayam goreng. Mandilah dulu nanti Ibu siapkan."
Kiara pergi ke kamarnya, wajahnya terlihat kusut sekali. Dikuncinya pintu kamar, melangkah ke tempat tidur dan berbaring. "Kenapa aku merasa sedih? Ada apa denganku?"
...
Di tempat lain, di dalam mobil. "Halo. Bayu. Di mana?" Selesai menelepon, ponsel di lempar sembarangan ke kursi. Mobil meluncur dengan kecepatan tinggi, menerobos jalanan Ibukota. Beberapa menit kemudian sampailah di depan sebuah gedung Apartemen.
"Bayu, buka. Aku di luar!" Ponsel yang dipakai untuk menghubungi Bayu menjadi sasaran kemarahannya.
Pintu terbuka dari dalam. "Masuk." Dibukanya pintu lebar-lebar. "Ada angin apa seorang Leonardo datang ke sini?" tanya Bayu yang masih mengenakan piyama tidurnya.
Leo langsung menerobos masuk ke dalam, mencari lemari es dan langsung meminum sebotol air tanpa tersisa.
"Melihat kelakuanmu seperti itu, aku yakin kamu pasti sedang dalam masalah." Bayu duduk di sofa, mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. "Kenapa? Salah satu wanita yang kamu tiduri hamil dan sekarang minta tanggung jawab?" Bayu tersenyum meledek.
Leo duduk di depan Bayu, mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Wajahnya terlihat sangat kusut.
Bayu memperhatikan Leo. "Tadi, Pak Kuncoro telepon. Minta nomor kontakmu." Bayu menghisap rokoknya dalam-dalam. "Kamu bawa kabur anak gadis orang? Di bawa ke mana si Kiara?"
Beberapa saat Leo terdiam. "Dia sudah aku antar pulang. Barusan."
"Di bawa ke mana si Kiara? Kamu tidak merusaknya bukan?"
Leo tersenyum sinis. Dihembuskannya asap rokok sehingga menutupi sebagian wajahnya. "Dia aman, masih di segel."
"Muka kamu kusut begitu, apa ini ada hubungannya dengan gadis itu?" tanya Bayu menyelidik.
"Tidak akan ada lagi hubungannya dengan gadis itu. Semuanya sudah selesai."
"Kenapa? Dia menolak kamu?" tanya Bayu menahan tawa.
Leo terdiam, pikirannya entah berada di mana. Perasaannya tidak menentu.
Melihat tidak ada reaksi dari Leo, akhirnya Bayu juga ikut terdiam. "Sepertinya dugaanku tepat. Betapa terpukulnya harga dirinya di tolak gadis itu. Seorang Leonardo, kenapa selalu kalah dalam soal asmara?" Bayu berbicara sendiri dalam hatinya.
...
Di rumah Kiara, Ibu sedang asyik menonton acara sinetron kesayangannya. Kiara yang baru selesai makan, langsung duduk di samping Ibunya. "Bu."
Ibu menoleh ke anaknya. "Kamu belum cerita, semalam kamu tidur di mana?"
Kiara menghela napas panjang. Kakinya di angkat ke sofa mencari posisi senyaman mungkin. "Kiara tidur di rumah Pak Leo."
"Siapa Pak Leo, Ibu baru dengar namanya."
Kiara lalu menceritakan secara detil kejadian semalam kepada Ibunya. "Waktu Ibu telepon ke ponsel Kiara, Pak Leo bicara apa Bu?"
"Dia hanya bilang katanya kamu tertidur. Penyakit kamu memang begitu, kalau sudah tidur meskipun dunia kiamat kamu tidak akan bangun." Gerutu Ibunya. "Kebiasaan jelek."
"Terus Bagas bilang apa waktu Ibu meneleponnya," tanya Kiara lagi.
"Katanya kamu sudah pulang dari semalam. Tentu saja Ibu khawatir, kenapa tidak sampai ke rumah."
Kiara terdiam beberapa saat. "Kiara mau telepon Bagas, mungkin dia khawatir." Kiara lalu pergi ke kamarnya. Terlihat ponselnya bergetar, Kiara mengangkatnya. "Halo."
Dari ujung telepon, terdengar suara Bagas yang khawatir. "Halo, sayang. Aku sangat mencemaskanmu. Ke mana saja kamu? Kenapa tidak langsung pulang semalam? Di mana kamu tidur semalam? Apa kamu baik-baik saja? Di mana kamu sekarang."
"Satu-satu tanyanya, aku harus menjawab yang mana dulu," jawab Kiara tersenyum membayangkan wajah kekasihnya yang panik.
"Aku sangat mencemaskanmu. Kalau tahu kamu akan menghilang seperti semalam, aku tidak akan membiarkan siapa pun mengantarmu pulang."
"Aku baik-baik saja. Tidak terluka sedikit pun. Pak Leo menjagaku dengan baik. Dia yang mengantarku pulang dengan selamat. Jangan cemas lagi, sekarang aku sudah di rumah bersama Ibu."
Anda mungkin juga menyukai
Komentar Paragraf
Fitur komentar paragraf sekarang ada di Web! Arahkan kursor ke atas paragraf apa pun dan klik ikon untuk menambahkan komentar Anda.
Selain itu, Anda selalu dapat menonaktifkannya atau mengaktifkannya di Pengaturan.
MENGERTI