Greysia Putri adalah seorang gadis kelas 3 SMA yang baru berusia 17 tahun. Selama ini dia mempunyai kehidupan yang hampir sempurna, Greysia adalah seorang anak tunggal yang hidup berkecukupan. Dia adalah gadis yang pemberani, selalu ceria, dan ramah kepada siapa pun.
Besok adalah hari ulang tahunnya, maka dari itu Agung dan Shinta sudah berencana akan menyiapkan sebuah kejutan tepat pada jam 12 malam nanti. Mereka sudah mempersiapkan segalanya diam-diam tanpa sepengetahuan Greysia.
"Ayah, jadi sewaktu kecil dulu Ayah tinggal di sini?" tanya Greysia yang saat itu tengah duduk di sofa sambil menikmati teh hangat bersama ayahnya, sementara Shinta tengah sibuk mempersiapkan banyak hal di dapur.
"Iya, dulu Ayah tinggal di sini bersama Oma, Opa, dan juga Tante Ririn," jelas Agung.
"Lalu kenapa Ayah pindah ke Jakarta? Kenapa kita tidak tinggal di sini saja dari dulu, kan rumah ini jadi terbengkalai, padahal rumahnya cukup besar," sanggah Greysia.
Agung tersenyum getir, pandangannya jauh menerawang. Mengingat rumah ini, maka satu persatu kenangan tentang keluarganya dulu terputar otomatis dalam benaknya. Terlalu banyak kenangan dan juga rahasia yang tersembunyi di balik rumah ini.
"Ayah?" Greysia berhasil membuyarkan lamunan Agung.
"Ah, iya, jadi dulu ketika Oma dan Opa kamu sudah meninggal, Om hanya tinggal berdua di rumah ini bersama mendiang Tante Ririn, tapi setelah Tante Ririn juga pergi untuk selamanya, Ayah tinggal sebatang kara di sini. Kamu tau, hidup seorang diri dalam rumah sebesar ini adalah hal yang paling memuakkan. Hidup Ayah dipenuhi oleh kesepian setiap saat, oleh sebab itu setelah semua urusan Ayah di sini selesai, akhirnya Ayah memutuskan untuk merantau ke Jakarta," Agung menjelaskan cukup rinci kepada putrinya.
"Oh jadi begitu ceritanya, lalu rumah ini benar-benar kosong?" tanya Greysia lagi.
Agung menggeleng, "Ayah membayar orang untuk selalu menjaga rumah ini agar tidak dibiarkan benar-benar kosong, hanya saja memang sepertinya jarang sekali dibersihkan."
Greysia mengangguk tanda mengerti, tapi kemudian dia bertanya lagi, "Ayah, aku malah kepikiran soal Tante Ririn, bukankah Ayah bikang kalau dia meninggal saat usianya masih muda?"
"Iya, benar," jawab Agung.
"Lalu apa yang menyebabkan dia meninggal? Selama ini Ayah belum pernah memberitahuku tentang itu,"
Agung terlonjak, dia tampak gelagapan menanggapi pertanyaan anaknya.
"Itu ... Eum ... Itu ... Tante Ririn itu meninggal karena ... karena jatuh dari tangga rumah ini," jawab Agung Sekenanya.
Memang benar adanya, rumah tersebut bertingkat dua. Namun lantai paling atas itu sama sekali belum sempat dibereskan. Mungkin besok atau lusa, untuk sementara keluarga Agung hanya menempati lantai pertama saja.
"Ya ampun, betapa tragisnya itu," sontak Greysia seperti menyesali keadaan.
"Tidak usah membahas itu, lagipula Ayah sudah berusaha merelakan dia, jadi kamu tidak perlu lagi mengungkit luka lama. Lebih baik sekarang kamu tidur karena waktu menunjukkan pukul sepuluh," Agung mengalihkan pembicaraan.
"Oke, aku pergi tidur dulu," Greysia memang seorang anak yang penurut dan tak pernah membantah perintah orang tuanya.
Selepas Greysia pergi, Agung segera ke dapur untuk membantu sang istri mempersiapkan kejutan untuk putri mereka malam nanti.
Pasangan suami istri itu begitu kompak, mereka tak lagi berdebat seperti tadi, meskipun rasa penasaran Shinta masih belum tuntas.
"Akhirnya semuanya sudah siap," ucap Shinta sambil tersenyum lega.
"Iya, kamu benar. Lihatlah, jam sudah menunjukkan pukul 23.45, itu artinya 15 menit lagi kita langsung ke kamar Greysia," cetus Agung.
"Oke, ini semuanya sudah siap. Ayok kita langsung ke sana saja," ajak Shinta.
Agung mengiyakan, keduanya mengendap-endap masuk ke kamar Greysia dengan membawa sebuah kue ulang tahun rasa coklat dengan angka 17 yang bertengger sebagai lilin di atasnya, itu adalah hasil buatan tangan Shinta sendiri. Mereka menunggu di depan pintu hingga jam menunjukkan pukul 12.00. Mereka pun masuk dan langsung menyanyikan lagu selamat ulang tahun.
"Happy Birthday to you ...
Happy Birthday to you ...
Happy Birthday, Happy Birthday, Happy Birthday to you ...."
Tentu saja Greysia langsung terbangun, dengan mata yang masih setengah mengantuk dia duduk sambil tersenyum bahagia melihat kedatangan orang tuanya yang memberikan kejutan di hari ulang tahunnya.
"Sayang, selamat ulang tahun," ucap Shinta seraya naik ke tempat tidur anaknya dan mengecup Greysia penuh kasih sayang.
"Terimakasih, Ibu," balas Greysia.
"Selamat ulang tahun yang ke tujuh belas, Sayang," giliran Agung yang mengucapkannya, dia duduk di samping kanan Greysia.
"Terimakasih juga, Ayah. Aku bahagia sekali, aku beruntung mempunyai orang tua seperti kalian," kata Greysia dengan lirih. Mereka bertiga pun berpelukan dengan sangat erat.
"Ayok kita potong kuenya," ujar Agung.
"Kemari, Ibu saja yang memotongnya. Nanti Greysia yang menyuapi Ibu dan Ayah," Shinta mengambil alih kue yang sudah berhasil ditiup lilinnya.
Tapi tiba-tiba Greysia merasa ingin ke kamar mandi untuk buang air kecil, "Ayah, Ibu, aku ke kamar mandi dulu," katanya.
Gadis itu segera turun dari ranjang menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Namun ketika dia masuk ternyata air di dalam kamar mandi itu tidak menyala.
"Ah, astaga. Bagaimana aku bisa buang air kecil jika tidak ada air di sini," gerutu Greysia dari dalam kamar mandi, dia masih berusaha memutar-mutar kran, tapi hasilnya nihil. Mungkin karena sudah lama tidak digunakan jadi kran airnya macet.
"Kalau seperti ini keadaannya, berarti aku harus pergi ke kamar mandi yang ada di dapur," keluh Greysia. Dia segera keluar dengan wajah kesal.
"Kenapa, Grey?"
"Kran airnya mati, jadi aku harus ke kamar mandi belakang," jawab Greysia.
"Benarkah? Mungkin karena sudah terlalu lama tidak dipakai, jadi seperti itu. Besok pagi, Ayah akan menyuruh tukang untuk membetulkannya," kata Agung.
"Iya, Ayah. Aku ke kamar mandi dulu," Greysia segera berlalu.
Di rumah itu ada dua kamar mandi, satu di kamar Greysia dan satu lagi berada di dekat dapur. Awalnya Greysia ingin melakukan segalanya di kamarnya saja, tapi ternyata tidak berjalan sesuai harapan.
Greysia berjalan gontai menuju ke kamar mandi. Rumah Greysia yang baru itu ibarat sebuah leter L, beberapa meter dari dapur dan kamar mandi ada sebuah ruangan yang terpisah. Dia sempat menatap sekilas sebuah pintu kayu dari ruangan yang selalu terkunci. Terkadang Greysia begitu penasaran apa saja isi di dalam ruangan itu, dia sempat berkali-kali menanyakan kepada ayahnya tentang itu, jawaban sang ayah selalu sama bahwa ruangan itu hanyalah sebuah gudang.
Tapi setiap kali Greysia meminta izin untuk masuk kedalamnya dan membersihkan ruangan tersebut, tapi ayahnya selalu melarang degan alas an di dalam sana banyak barang-barang yang tidak boleh dia sentuh.
Persetan dengan ruangan itu, Greysia buru-buru melanjutkan langkahnya karena dia sudah tidak tahan ingin segera membuang hajatnya.
Ketika Greysia hendak membuka pintu kamar mandi, tiba-tiba saja dia mendengar ada suara orang menangis. Saat itu hujan sudah mulai reda, hanya rintik-rintiknya saja yang terdengar, maka dari itu suara sekecil apa pun bisa terdengar meski samar-samar.
Greysia mengurungkan niatnya untuk masuk ke kamar mandi, jiwa penasarannya begitu menggebu-gebu mendorongnya untuk mengikuti sumber suara. Greysia harus memasang telinga tajam-tajam agar dia bisa mendengar suraya yang begitu sayup-sayup itu, terkadang suara tersebut hilang di telan suara rintik hujan.
Tapi Greysia yakin kalau telinganya masih berfuingsi dengan sempurna, apa yang dia dengar barusann memang sungguhan.
"Aku rasa, suara itu berasal dari ruangan yang terkunci itu," kata Greysia.
Dia mebenarkan letak rambutnya agar tidak menghalangi telinga. Lalu Greysia berjalan selangkah demi selangkah secara perlahan menuju arah suara itu. Dia sangat yakin bahwa suara orang menangis itu memang berasal dari dalam gudang yang selalu di kunci.
Semakin dekat, suara itu semakin jelas terdengar. Menurut pendengaran Greysia itu adalah suara seorang wanita.
"Ini suara siapa? Suara manuisa atau bukan? Atau jangan-jangan ini adalah suara kuntilanak," kata Greysia dalam hati. Kini bulu kunduknya sudah berdiri meremang.