"Hei apa yang kau lakukan. Cepat pindahkan makanan orang itu." Teriak kepala prajurit kepada prajurit yang berdiri di sebelahnya.
"Sebaiknya meminta secara baik baik. Jangan memaksa." Puteri Zuan sebenarnya tidak ingin menekan penduduk. Tapi anak buahnya keburu menekan orang lain.
"Kalau melihat gelagatnya sepertinya pemuda itu tidak mau pindah."
"Yah sudahlah. Kalau pria itu tidak mau pindah biarkan saja " Tuan Puteri mengalah. "Cari tempat duduk lain saja."
"Biarkan aku yang membereskan. Kedua prajurit itu memang tidak becus." Si kepala prajurit mendatangi anak buahnya.
Prajurit yang satunya juga menemani pimpinannya dari belakang.
"Hei apa yang kau lakukan. Mengapa kau berdiam diri."
Tanpa rasa curiga apapun si Kepala Prajurit mendekat. Namun di detik selanjutnya, Kepala prajurit itu kaget bukan kepalang. Dari punggung kedua anak buahnya meluncur sumpit dengan kecepatan tinggi ke arahnya dan ke arah prajurit yang bersamanya. Serangan itu berada dalam Jarak begitu dekat.
Ini terlalu mendadak dan tidak dapat terduga. Meskipun si Kepala prajurit berada di peringkat alam namun menghadapi serangan mendadak seperti ini tidak dapat dihindari.
Dengan cepat jantungnya tertusuk sumpit. Demikian juga dengan prajurit yang bersama dengannya.
Chen melempar sumpit itu kepada ke dua prajurit yang memprovokasi dirinya. Kekuatan lemparannya begitu kuat sehingga menembus tubuh prajurit pertama di hadapannya lalu menyerang Kepala prajurit yang ada di belakangnya. Satu sumpi membunuh 2 prajurit.
Dan Puteri melihat kejadian itu dari belakang juga cukup kaget Tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi mendengar teriakan kepala prajurit dan reaksinya maka dapat di duga bahwa itu sebuah serangan. Segera dia memasang kuda kuda hendak mengeluarkan pedangnya.
Pada saat yang sama sebuah tubuh melayang di udara melewati para prajurit yang akan jatuh. Chen yang berada di udara langsung melemparkan delapan buah sumpit ke arah Puteri dan asistennya.
Dengan sigap Puteri menangkis setiap sumpit tidak ada satupun yang lolos. Tapi ada satu yang lolos. Bukan sebuah sumpit tapi sebuah jarum akupunktur .
Chen memang melempar sumpit tapi juga sebuah jarum tepat di belakang salah satu sumpit. Arah sumpit itu menyerang ke mata sang Puteri. Jadi Puteri bisa melihat sumpit yang mengarah ke matanya, tapi tidak melihat jarum yang berada di belakang sumpit. Karena jarum itu tersembunyi dari pandangannya.
Jarum itu langsung mengenai matanya dan menembus otaknya.
Tidak hanya sampai disitu. Pemuda yang sedang marah ini melompat ke arah tangga menuju ke tempat Xing Xie berada.
Xing Xie yang tidak tahu menahu hanya mendengar suara berisik dari balkon. Namun langkahnya berhenti ketika melihat Tubuh Chen sudah melayang di atasnya.
Dua jarum melesat cepat ke arah dua pengawal dari Xing Xie. Sudah diperhitungkan Chen sebelumnya kalau pengawal Xing Xie masih berada di peringkat bumi tingkat delapan dan sembilan. Mereka berdua pasti tidak dapat menahan senjata rahasia itu.
Tapi beda dengan Xing Xie yang berada di peringkat alam. Dia memiliki kipas yang dapat mengeluarkan jarum beracun. Juga memiliki Tubuh atribut angin. Orang ini pasti dapet menangkis serangan jarum akupunktur.
Jadi Chen tidak menggunakan jarumnya. Dia menyerangnya dengan menggunakan jemari Ye Shang.
Seperti yang di duga oleh Chen, Xing Xie mengeluarkan jurus andalannya...
Jurus Naga Awan
Kipasnya di kebas dari bawah ke atas lalu keluarlah gumpalan Angin Dari bawah menuju kepala Yuan Chen seperti seekor naga yang keluar dari laut.
Jurus itu sangat kuat dan dapat menghancurkan tembok. Hanya saja kelemahannya menggunakan jurus itu hanya bisa menyerang di satu titik. Jadi tidak bisa menyerang jika lawan lebih dari satu orang. Kemudian harus menunggu tiga menit lagi untuk mengeluarkan jurus yang sama.
Selama bergaul dengan Xing Xie di kehidupan sebelumnya, Chen tahu semua gerakan jurusnya, termasuk Jurus Naga Awan itu baik kelebihan dan kekurangannya.
Dengan gerakan zig zag langkah Ye Shang, dia mengecoh lawannya. Sebentar saja Chen sudah berada di belakan Xing Xie sambil memegang sebuah jantung yang masih berdetak.
Kini semua musuhnya tergeletak tidak bernyawa. Wajah Chen tersenyum puas. Orang lain akan mengatakan dirinya berdarah dingin.
Tidak bisa ditentang akan keinginan hatinya yang begitu kuat, Keinginan membunuh. Seseorang yang sudah terbiasa membunuh memang sangat sulit untuk merubah kebiasaan seperti itu
"Hua ha ha ha... " Chen tertawa puas.
Kini dia melihat sekitarnya. Tidak ada orang lain selain dirinya dengan mayat mayat itu. Kemana para tamu yang sedang makan? Kemana para pelayan?
Matanya juga memandang keluar. Tapi disana juga tidak ada orang yang biasanya ramai orang berlalu lalang. Ada sesuatu yang tidak beres. Perasaan waspada semakin kuat
Chen merasa ada orang di belakangnya. Diapun segera berbalik badan.
"A Chen? Kau membunuh anakku?" Si Tua Xing Yang marah besar. "Dendam ini harus dibalas." Teriaknya sambil mengeluarkan air mata.
"Kau membunuh sepupuku? Aku akan membalas sepuluh kali lipat." Ucap seorang yang berpakaian Raja. "Selamanya kau akan menjadi buronan."
"Kaisar Chang Zhong?" Chen menjadi kaget. "Mengapa ada disini."
Chen pun terjatuh duduk. Kini dia menyadari kalau dirinya telah membuka lembaran hitam yang baru. Dia tidak bisa lari dari kejahatan dan pembunuhan. Itu adalah karakternya yang haus darah.
"Hei... Kenapa kau duduk di situ. Cepat berdiri angkat makananmu." Bentak prajurit di belakangnya.
Chen memalingkan wajahnya. Disana masih ada dua prajurit yang memprovokasi dirinya.
Alisnya naik. Tersirat raut wajah kebingungan. Kemudian matanya tertuju kepada Kepala Prajurit dan Puteri Zuan Cia. Mereka semua belum mati.
Ternyata semua itu hanyalah bayangan dirinya. Imajinasi yang muncul karena kemarahan. Bukan... Bukan imajinasi tapi sebuah rencana pembunuhan yang belum di laksakan.
"Kenapa bengong disitu?" Bentak prajurit itu lagi.
"Pakailah mejanya. Aku kehilangan selera makan." Ucap Chen.
Dia melangkah hendak keluar dari kedai ini. Karena melangkah ditengah tengah antara ke dua prajurit itu, mau tak mau pundak mereka saling beradu.
"Hei.. " Bentak prajurit itu.
Chen terus melangkah tanpa memperdulikan.
"Maafkan kedua anak buahku jika telah menyinggung mu." Kepala Pengawal menjura.
Tapi pemuda yang sedang kesal ini terus saja berjalan tanpa memperdulikan.
"Kurang ajar. Kau berani mengabaikan kapten kami." Prajurit yang disebelah Kepala Prajurit mengeluarkan pedangnya.
"Hentikan." Bentak sang Kapten.
"Tuan. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengusirmu sama sekali." Puteri Zuan Cia pun merasa tidak enak.
Pemuda itu tetap berlalu tanpa mengatakan sepatah katapun.
"Hei ada apa?" Xing Xia yang baru menaiki tangga sedikit heran dengan situasi ini.
Sekali lagi Chen melewati Xing Xie dan bodyguardnya lalu menuruni tangga.
"Biarkan aku akan memberikan pelajaran kepada pemuda kampung itu." Prajurit itu rupanya kesal dengan sikap Chen.
"Kebilang hentikan. Kecuali kau mau mati." Bentak kepala pengawal.
"Apa maksudnya Kapten."
"Coba kau perhatikan tangannya. Ditangan kanannya terdapat dua jarum dan di tangan kirinya ada satu jarum. Jangan sampai kau menekan kepada orang yang salah."
Chen berjalan seperti orang biasa. Tangannya pun terbuka dan terlihat tidak memegang barang apapun. Namun kalau di perhatikan lebih jelas memang ada ujung jarum yang muncul di balik jari nya. Jarum itu seperti menempel di telapak tangannya.
"Ada apa ini." Xing Xie penasaran.
"Tidak ada apa apa Tuan Muda Xing Xie." Zuan Cia memberi hormat. "Apakah Tuan Muda membawa barangnya?"
"Tentu saja." Xing Xie tersenyum. "Bunga Vendoline dan kalajengking merah api yang sudah di keringkan sudah kubawa. Jika harganya cocok maka akan ku lepaskan."
Yuan Chen masih sempat mendengar pembicaraan mereka sampai disini. Selebihnya dari itu sudah tidak di dengarnya lagi. Dia sudah berada di luar Kedai.