Unduh Aplikasi
65.9% Pendekar Mabuk / Chapter 29: 004.Pendekar Mabuk - Perawan Sesat Eps29

Bab 29: 004.Pendekar Mabuk - Perawan Sesat Eps29

Episode 29

SEJAUH ini, Nyai Betari Ayu masih belum tahu

bahwa Suto adalah juga murid Bidadari Jalang. Padahal

perempuan yang menamakan dirinya Bidadari Jalang

adalah lawan berat Nyai Betari Ayu. Malah di dalam

hati Betari Ayu masih menyimpan dendam kepada

Bidadari Jalang, sebab pukulan 'Renggangpati' itu

diterimanya dari jurus maut Bidadari Jalang.

Dulu, Betari Ayu adalah kekasih Datuk Marah Gadai.

Tetapi sang kekasih digoda terus oleh Bidadari Jalang,

hingga akhirnya terpikat dan meninggalkan Betari Ayu.

Perginya Datuk Marah Gadai meninggalkan bekas luka

yang sulit sembuh di hati Betari Ayu. Sejak saat itu,

Betari Ayu tidak mau turun ke dunia persilatan, dan ia

lebih suka mengasingkan diri dengan membentuk

pasukan tersendiri, yaitu dengan cara mendirikan

perguruan yang kebanyakan muridnya adalah

perempuan. Kelak, Betari Ayu punya cita-cita untuk

menyerang Bidadari Jalang dan Datuk Marah Gadai

dengan mengerahkan murid-muridnya yang dianggap

pasukan tempurnya.

Andai saja Betari Ayu tahu, bahwa Suto adalah juga

murid Bidadari Jalang, entah apa jadinya. Mungkin

Betari Ayu akan memusuhi Suto dan menaruh benci

pula pada pemuda tampan itu, atau justru

melenyapkan dendam dan cita-citanya karena terpikat

oleh kemesraan Suto Sinting. Dan karena Suto tahu dua

hal itu akan terjadi salah satunya, maka Suto tetap

tidak mau menyebut-nyebut nama Bidadari Jalang di

depan Nyai Betari Ayu.

Suto memang jarang menyebutkan nama gurunya

yang satu ini, sebab ada sedikit rasa malu menyebutkan

nama yang banyak cacat di kalangan para tokoh

persilatan. Namun Bidadari Jalang seakan selalu

menjadi musuh dari tiap masing-masing tokoh, karena

memang sebelum bertemu dengan Suto, tingkah

Bidadari Jalang selalu menghadirkan perselisihan,

terutama urusan lelaki. Suto tak mau dikatakan sebagai

murid jalang. Karenanya, ia lebih dikenal sebagai murid

si Gila Tuak, tokoh dari aliran putih yang namanya

tertera pada urutan paling atas dari nama-nama tokoh

yang sulit ditumbangkan itu.

Tak heran jika seseorang menyebutkan nama:

murid si Gila Tuak, maka orang yang satunya akan

segera terbayang wajah Suto Sinting, Pendekar Mabuk

yang ke mana-mana membawa bumbung tuaknya itu.

Seperti halnya saat itu, saat sore mulai menua, seorang

perempuan berpakaian serba ungu muda yang ketat

dengan tubuhnya, melesat bagaikan terbang membawa

lari Peramal Pikun.

Tiba di suatu gua, tubuh renta Peramal Pikun yang

habis terkena pukulan hebat dari Datuk Marah Gadai itu

diletakkan oleh perempuan itu. Kemudian, tangan

perempuan itu saling terkatup yang kiri dan yang

kanan, ia duduk bersila di samping tubuh tua renta

bertongkat putih. Perempuan itu melakukan semadi

beberapa saat, kemudian kedua tangannya ditempelkan

di dada Peramal Pikun.

Kejap berikutnya, tubuh Peramal Pikun tersentak-

sentak bagai meregang nyawa. Tapi asap kuning yang

keluar dari kedua telapak tangan yang menempel di

dada Peramal Pikun itu ternyata bukan asap beracun.

Sebuah cara penyembuhan sedang dilakukan. Peramal

Pikun tersentak lagi dalam satu kejutan, lalu diam

lemas dan terkulai. Ia bagaikan orang tertidur dengan

nyenyak.

Kala ia bangun di pagi hari, badannya sudah

kembali segar seperti sediakala. Napasnya longgar,

nyeri di dada sudah tak ada. Tapi perempuan yang

menolongnya membawa ke gua itu tak diketahui di

mana dia berada. Peramal Pikun mencari-carinya

sejenak.

"Seingatku dia seorang perempuan cantik," kata

hati Peramal Pikun. "Seingatku dia berpakaian ungu

muda, ketat dan badannya yang aduhai itu. Baju ungu

tanpa lengan, tapi rambutnya yang panjang sepunggung

acak-acakan, seperti orang gila. Ia menyandang pedang

di punggungnya. Seingatku, sarung pedang dan

gagangnya terbuat dari gading berukir. Seingatku, di

gagang pedangnya ada benang-benang berumbai warna

merah darah. Tapi, Siapa dia? Belum pernah kutemukan

dirinya selama aku berkelana di rimba persilatan.

Mungkinkah dia siluman dari negeri seberang?"

Peramal Pikun yakin, perempuan berambut mirip

orang gila itu pastilah orang berilmu tinggi. Gerakannya

begitu cepat saat memindahkan tubuh Peramal Pikun

agar terhindar dari serangan jurus 'Tapak Dewa' milik

Datuk Marah Gadai. Luka dalam yang berat dan mampu

disembuhkan dalam waktu cepat, merupakan ciri orang

berilmu tinggi. Peramal Pikun percaya, bahwa

perempuan itu jelas punya maksud tertentu sehingga

melakukan pertolongan terhadap dirinya,

"Aku harus mencari perempuan itu. Paling tidak aku

harus mengucapkan terima kasih atas pertolongannya,"

pikir Peramal Pikun. Maka, ia pun keluar dari dalam gua

yang bau oleh kotoran kelelawar itu.

Peramal Pikun terkejut begitu tiba di mulut gua,

ternyata gua itu terletak di tebing curam, di bawahnya

laut yang bergolak dengan batu-batu karang runcing

mirip gigi ikan raksasa. Meleset sedikit, habis sudah

nyawa orang dihujam karang-karang runcing.

"Kucing kudis!" umpat Peramal Pikun. "Bagaimana

caranya keluar dari gua ini? Tak ada jalan setapak pun

untuk ke tempat datar. Gua ini seperti menempel pada

dinding karang yang merupakan tebing curam. Gua ini

seperti tembok raksasa yang berlubang. Mencapai ke

daratan di atasnya sungguh tinggi, mencapai ke laut

juga dalam. Lalu aku harus lewat mana?"

Peramal Pikun garuk-garuk kepala. Matanya

memandang sekeliling mencari jalan untuk memanjat

tebing ke atas atau menuruni tebing ke bawah. Tak ada

jalan sama sekali. Dinding tebing di samping kanan-kiri

gua sangat licin berlumut. Kalau memang harus

melompat ke laut, ujung-ujung karang runcing belum

tentu ramah kepada kakinya. Bisa jadi tubuhnya yang

tua renta itu menancap di salah satu karang runcing

itu.

"Monyet monyong!" Peramal Pikun umpatkan kata.

"Orang itu menolongku, tapi juga membunuhku kalau

begini caranya. Mengapa ia taruh aku di gua ini? Apa

gua-gua di tempat lain sudah penuh penghuninya? Dan

lagi, bagaimana caranya membawaku kemari? Apakah

ia membawaku dalam keadaan tubuhku disampirkan di

pundak dan dia merayap turun dari atas sampai

mencapai mulut gua ini?"

Renggono sesalkan diri, mengapa saat ia dibawa ke

gua itu ia dalam keadaan pingsan? Padahal ketika

perempuan itu mendekatinya dan hendak mengangkat

tubuhnya, ia masih bisa memperhatikan ciri-ciri

perempuan itu. Tapi ketika sudah berada di atas

gendongan perempuan cantik, ia malahan pingsan.

Andai tidak pingsan, ia bisa melihat bagaimana caranya

perempuan itu membawanya ke gua bertebing terjal

lurus itu.

Wuusss...! Wuusss...!

Seekor kelelawar masuk ke dalam gua. Kejap

berikutnya, seekor lagi menyusul. Bahkan hampir

menyambar kepala Peramal Pikun. Mata tua itu

memandang ke langit-langit gua. Tak ada lubang keluar

di sana. Yang ada hanya dua kelelawar agak besar

menggantung dan mencicit menjelang petang. Peramal

Pikun gumamkan kata,

"Mati aku kalau begini! Apa mungkin aku harus

hidup bersama kampret-kampret ini?!"

Lelaki tua berkumis dan alis serba putih itu

termenung. Kejap berikutnya ia tersentak, karena tiba-

tiba di mulut gua telah berdiri sosok bayangan

berambut mekar acak-acakan.

"Nah, ini dia!" Peramal Pikun ucapkan kata bernada

lega.

Perempuan berpakaian ketat warna ungu muda itu

datang. Pedang bergagang bentuk 'barang keramat'

lelaki itu terlihat jelas terselempang di punggungnya.

Pedang bergagang dan bersarung dari gading ukuran itu

jelas menandakan bukan sembarang pedang.

Sisa cahaya sore masih merambah masuk melalui

mulut gua. Peramal Pikun sengaja tidak berdiri, masih

tetap duduk di tempatnya sambil memeluk tongkat

putihnya. Perempuan itu mendekat, memandang tanpa

senyum sedikit pun. Pandangan matanya bening tapi

tajam, seakan mempunyai kekuatan tersendiri dalam

dirinya.

"Terima kasih atas pertolonganmu," kata Peramal

Pikun setelah sempat salah tingkah dipandangi lama

tanpa diajak bicara.

"Aku tidak butuh terima kasihmu!" kata perempuan

berpedang gading. Suaranya serak-serak galak.

"Jadi apa yang kau butuhkan dariku?" tanya Peramal

Pikun.

"Aku mencari pemuda tanpa pusar."

Peramal Pikun terkekeh geli mendengarnya.

Perempuan itu cepat sentakkan kaki kanannya,

berkelebat menampar pipi Peramal Pikun.

Plakkk...!

Peramal Pikun hentikan tawa. Kalau ia tak ingat

bahwa dirinya telah diselamatkan oleh perempuan itu

dari jurus mautnya Datuk Marah Gadai, pasti ia sudah

membalas dan melawan saat itu. Tapi ingat ke sana,

Peramal Pikun tak mau kasih balasan. Ia hanya

cemberutkan wajah dan berkata,

"Kenapa kau menamparku? Kenapa pakai kaki?"

"Karena kau menertawakan diriku! Aku bertanya

sungguh-sungguh!"

"Aku juga tertawa sungguh-sungguh," balas Peramal

Pikun. "Aku baru dengar ada pemuda tanpa pusar. Itu

sesuatu yang lucu bagiku!"

"Aku tidak sedang melucu!" sentak perempuan itu.

"Aku butuh pemuda tanpa pusar. Aku mencarinya."

"Pemuda tanpa pusar...?!" gumam Peramal Pikun.

Diam-diam, ia segera membuka kain penutup parutnya

sendiri, meliriknya sebentar dan menggumam dalam

hatinya, "Hmmm... yang ini ada pusarnya!"

Perempuan itu kembali sentakkan suara, "Kalau kau

tak mau menunjukkan, aku terpaksa meninggalkanmu

di gua ini sendirian!"

"Mengapa kau mengancamku begitu? Kau

memaksaku harus menunjukkan pemuda tanpa pusar,

sedangkan aku sendiri tidak tahu. Setiap laki-laki punya

pusar, Jabrik!" geram hati Peramal Pikun.

"Aku tahu. Tapi aku mencari yang tanpa pusar!"

"Aku tidak tahu! Aku sendiri punya pusar! Apa harus

ditutup supaya kelihatannya tanpa pusar?!"

Plakkk...!

Cepat sekali kelebatan kaki itu menampar pipi

Peramal Pikun menggunakan punggung telapakannya.

Tangan Peramal Pikun berkelebat namun telat. Dua kali

sudah pipinya ditampar perempuan. Ditamparnya pakai

kaki. Jelas itu hal yang merendahkan dirinya sendiri.

Tapi Peramal Pikun tetap sabarkan diri. Bahkan ia

sediakan diri untuk satu kali tamparan lagi.

Menurutnya, tiga kali tamparan pakai kaki sudah cukup

untuk membayar jasa pertolongan perempuan

berambut jabrik itu.

"Mengapa kau bertanya padaku, Jabrik? Mengapa

kau seolah-olah yakin betul bahwa aku tahu di mana

adanya pemuda tanpa pusar?"

"Karena kulihat kau lebih tua dari lawanmu di

telaga itu. Kau tua renta, dan aku yakin kau memang

tokoh tua di rimba persilatan. Tentunya kau punya

banyak pengalaman!"

"Pengalaman bertarung memang banyak, tapi

pengalaman memeriksa pusar orang belum punya,"

jawab Peramal Pikun.

"Jangan kau coba mendustai aku, Tua renta!"

"Aku tidak mendustaimu, Jabrik! Aku benar-benar

tidak tahu."

Perempuan jabrik itu menatap mata Peramal Pikun

lekat-lekat. Ia temukan kejujuran dari sorot pandangan

mata Peramal Pikun. Akhirnya ia mengalah, tak mau

desak lagi orang tua renta itu. Ia duduk di sebuah batu

datar. Ia pandangkan mata ke arah luar, matahari

makin hilangkan sinarnya. Gelap bertambah pekat di

dalam gua jika tidak segera ia lakukan sesuatu.

Sebongkah batu diambilnya. Batu itu agak runcing

ujungnya. Lalu kedua telapak tangannya menggosok

batu itu dengan cepat. Mata Peramal Pikun hanya

memperhatikan tanpa mau berucap kata. Dan mata

Peramal Pikun sedikit terperanjat melihat batu itu

menyala dan kepulkan asap api.

Gua menjadi terang. Batu itu bagaikan obor besar

yang tergeletak berdiri di tanah gua. Peramal Pikun

cuma sunggingkan senyum tipis. Segera ia angkat

tongkat, ia sodokkan ujungnya ke arah batu bernyala

itu. Jarak sodokan antara dua depa dari batu menyala.

Blaap...!

Batu itu padam seketika bagai ditiup angin kencang

yang keluar dari ujung tongkat Peramal Pikun.

Terdengar suara perempuan jabrik itu menggeram.

Terbayang dalam gelap sebuah kaki akan bergerak

menampar seperti tadi. Maka, Peramal Pikun cepat

angkat tongkat dan sodokkan ke arah tadi.

Buusss...!

Batu itu menyala kembali. Tampak wajah

perempuan jabrik menatap penuh kemarahan. Peramal

Pikun nyengir. Kemarahan di wajah perempuan itu pun

reda setelah melihat batu nyala kembali.

"Agaknya kita harus bermalam di sini," kata

Peramal Pikun seperti bicara pada diri sendiri.

Perempuan jabrik tidak beri jawaban apa-apa. Ia

panggangkan kedua tangannya di atas batu berapi.

Peramal Pikun pindah duduk agak dekat api. Lalu, ia

melontarkan pertanyaan dengan sikap baik-baik.

"Menurut ramalanku, kau orang berilmu tinggi."

Perempuan cantik berambut jabrik hanya menatap

wajah Peramal Pikun sebentar, lalu kembali

memandang api yang menyala, panggangkan kedua

tangannya.

"Menurut ramalanku, kau perempuan yang keras,

tegar, dan pemberani. Dan menurut ramalanku... kau

tidak punya suami!"

"Apakah kerjamu meramal?" suara serak-serak galak

itu terdengar tanpa irama. Datar-datar saja.

"Dulu, kerjaku memang meramal, itulah sebabnya

aku punya julukan Peramal Pikun. Julukan itu muncul

dengan sendirinya, karena ramalanku selalu meleset.

He he he...!"

Perempuan jabrik menatap cepat. Tawa Peramal

Pikun terhenti dalam sekejap. Ia tarik napas panjang

dan menghindar dari tatap mata si perempuan jabrik.

"Boleh aku tahu namamu?" tanya Peramal Pikun

tanpa pandang.

"Tak perlu kau tahu namaku. Tapi kau perlu tahu

julukanku."

"Siapa julukanmu?"

"Perawan Sesat!"

"He he he...!"

Plakk...!

Tamparan ketiga pakai kaki mendarat tepat di pipi

Peramal Pikun. Tangannya berkelebat tapi telat

menangkis. Peramal Pikun hanya tudingkan tangan ke

arah perempuan itu sambil ucapkan kata,

"Sudah tiga kali. Impas! Aku tak punya hutang jasa

lagi padamu! Kali ini kau tampar pipiku lagi, kubalas

dengan melemparkanmu ke laut sana!"

"Kalau kau bisa, lakukan sekarang!"

"Nanti saja!" sambil peramal sial itu bersungut-

sungut. Tapi tiba-tiba ia ingat nama julukan tadi, dan

perlu menegaskan sekali lagi dengan sebuah tanya,

"Apa benar julukanmu Perawan Sesat?"

"Ya."

Peramal Pikun cepat tutup mulutnya dengan

telapak tangan, serta palingkan wajah membelakangi

Perawan Sesat. Hanya badannya yang tampak bergerak

diguncang tawa geli. Perawan Sesat tahu hal itu, tapi ia

tidak ambil peduli.

"Dari mana asalmu, Perawan Sesat?"

"Bukit Garinda," jawab Perawan Sesat tanpa

memandang Peramal Pikun.

"Bukit Garinda...?!" Peramal Pikun belalakkan mata

sedikit. "Bukankah itu wilayah Partai Perempuan Sakti?"

"Ya."

"O, jadi kau orang dari Perempuan Sakti?"

"Ya."

"Aku kenal dengan salah seorang anggota

Perempuan Sakti. Dulu aku pernah bentrok dengannya

karena salah paham, tapi sekarang sudah tak ada

masalah lagi. Orang itu bernama Nyai Lembah Asmara!

Apa kau kenal dengan nama itu?"

Perawan Sesat tatapkan mata tajam-tajam ke mata

cekung Peramal Pikun. Lalu, kejap berikutnya ia

ucapkan kata tegas-tegas.

"Itu nama guruku!"

"Ooo... jadi kau muridnya Nyai Lembah Asmara?!"

"Betul!"

Peramal Pikun angguk-anggukkan kepala dalam

senyum kemenangan masa lalunya. Tak sadar dia

ucapkan kata, "Cantik sekali dia...."

Plakkk...!

Satu tendangan kaki menampar kena di pipi

Peramal Pikun. Cepat ia angkat tongkatnya. Tapi hasrat

untuk mengibaskan tongkat ke kepala Perawan Sesat

terhenti dan hilang seketika, karena ia ingat, Perawan

Sesat murid Nyai Lembah Asmara. Perempuan cantik itu

dikenalnya sebagai perempuan berdarah dingin. Musuh

tak pernah lolos dari tangannya. Pasti mati sebelum

minta ampun.

Peramal Pikun ingat, dulu ia pernah terdesak

melawan Nyai Lembah Asmara, hampir sepuluh tahun

yang lalu. Ilmu Ketua Partai Perempuan Sakti itu cukup

tinggi. Menurut ukuran Peramal Pikun, sangat tinggi. Ia

dulu hampir mati di tangan Nyai Lembah Asmara. Ia

jadi jera bertemu dalam bentrokan dengan perempuan

itu. Karenanya, saat ia akan membalas tamparan

Perawan Sesat, ia urungkan niat, karena tak mau punya

urusan dengan Nyai Lembah Asmara.

Peramal Pikun kendorkan ketegangannya, dan

lontarkan tanya,

"Apakah mencari pemuda tanpa pusar itu utusan

dari gurumu?"

"Ya."

"Hmmm...," Peramal Pikun manggut-manggut. "Aku

tahu sekarang maksudnya."

"Jika kau tahu, tunjukkan di mana tempat pemuda

tanpa pusar itu!"

"O, kalau tempat pemuda tanpa pusar aku tidak

tahu. Siapa orangnya pun aku tidak tahu. Aku cuma

tahu tujuan dari gurumu itu dan...."

"Kabar burung yang didengar oleh Guru,!" sahut

Perawan Sesat. "Pemuda tanpa pusar itu telah diangkat

murid oleh tokoh tua dari golongan putih yang bergelar

si Gila Tuak."

"Hah...?!" Peramal Pikun sentakkan suara,

belalakkan mata. Kaget ia mendengar nama si Gila

Tuak dibawa-bawa. Ia segera lontarkan tanya pada

Perawan Sesat.

"Jadi, menurut gurumu, pemuda tanpa pusar itu

muridnya si Gila Tuak?"

"Betul! Apa kau kenal dengan murid si Gila Tuak?"

"Kenal sekali. Dia yang bernama Suto Sinting,

bergelar Pendekar Mabuk. Tapi..., aku tidak tahu

apakah dia punya pusar atau tidak! Aku belum pernah

memeriksa perutnya!"

"Suto Sinting...?!" geram suara serak Perawan Sesat.

*

* *


Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C29
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk