Episode 17
MELIHAT sikap berdiri Suto yang tak bisa tegak,
melihat bentuk mata Suto yang sayu, dan melihat
bumbung tuak yang masih dipegang dengan tangan
kiri Suto, Datuk Marah Gadai segera dapat
menyimpulkan, pemuda berpakain coklat inilah yang
tadi mengganggunya dengan menggunakan raga
Cadaspati. Pemuda yang mengenakan baju tanpa
lengan inilah yang mengendalikan Cadaspati
bertingkah seperti orang gila di hadapannya.
"Berarti dia sudah ada di atas sejak tadi!" geram
Datuk Marah Gadai dalam hatinya. Matanya pun
memandang lebih menyipit kepada Suto yang saat itu
sedang cengar-cengir memandang Peramal Pikun.
"Menurut ramalanku, kau yang bernama Suto
Sinting, murid si Gila Tuak!" kata Peramal Pikun.
Suto menjawab, "Menurut ramalanku, kau
kakaknya Cadaspati yang berjuluk Peramal Pikun."
"Dari mana kau tahu?"
"Dari tadi!" jawab Suto dengan suara mabuknya
yang sesekali cegukan itu. Bahkan ketika Suto
tertawa bersama Peramal Pikun, suara cegukannya
masih sesekali menyentak tubuh.
"Menurut ramalanku, kelak kau dijuluki orang
Pendekar Mabuk! Kau akan menjadi orang sakti.
Bahkan jauh di masa tuamu nanti, kau bisa menjadi
seorang tokoh yang bergelar Tokoh Sinting. Tentu saja
kau akan mempunyai murid yang sinting-sinting
semua. He he he he...!"
"Kalau... huk... kalau begitu, huk... aku buka
perguruan, huk... perguruan Sinting Teladan saja,
huk...!" sambil Suto cegukan.
Datuk Marah Gadai membentak, "Ini bukan urusan
ramal-meramal! Ini urusan Pusaka Tuak Setan!"
"Sudah kubilang tadi, huk... Paman. Kalau kau,
huk... minum tuak itu, huk... maka kau akan... akan
menjadi setan, huk!"
"Itu bukan urusanmu! Menyingkirlah, biar
kuhancurkan dulu kedua orang tua itu, Bocah
ingusan!"
"He he he...," Suto tertawa dan bicara kepada
Peramal Pikun. "Dia mengatakan aku sebagai bocah
ingusan, huk...! Padahal aku cuma ingusnya bocah,
huk... he he he...!"
Rupanya kesempatan itu digunakan oleh
Cadaspati untuk menelusup pergi. Dan dengan sisa
tenaganya ia segera melarikan diri dari arena
pertarungan. Karena pada waktu itu Cadaspati
membatin.
"Aku tak akan mampu menghadapi Datuk Marah
Gadai dalam keadaan terluka begini. Aku bisa mati di
tangannya! Sebaiknya aku melarikan diri, biar
masalah Datuk diurus oleh Renggono, kakakku!"
Datuk Marah Gadai sempat melihat kelebatan
sosok Cadaspati yang meninggalkan tempatnya.
Maka ia pun segera berteriak.
"Hai, mau ke mana kau?! Jangan lari, Jahanam!"
Serta-merta Datuk Marah Gadai melompat untuk
mengejar Cadaspati. Namun, secepatnya pula
Peramal Pikun melompat dengan bersalto satu kali di
udara. Tongkatnya dibabatkan ke arah kepala Datuk
Marah Gadai. Wungng...! Tongkat itu tidak mengenai
sasaran, namun membuat tubuh Datuk Marah Gadai
bagaikan dihantam seribu topan. Tubuh yang terkena
kibasan angin tongkat itu terjerembab jatuh ke tanah
dengan wajah membentur semak-semak. Prosss...!
Peramal Pikun kembali berdiri tegak di tanah
dengan tongkat digenggam tangan kanan. la
menertawakan keadaan Datuk Marah Gadai, yang
segera berusaha bangkit dengan mengusap-usap
wajahnya. Wajah itu menjadi merah tergores-gores
akibat duri semak yang ditabraknya.
"Keparat kau, Peramal Pikun! Terang sudah kau
turut campur dengan urusanku! Jelas sudah kau bikin
persoalan baru denganku!" geram Datuk Marah Gadai
dengan wajah menampakkan kemarahannya.
"He he he... terpaksa aku bikin urusan lagi
denganmu, karena kau mengancam nyawa adikku!"
Napas Datuk Marah Gadai terengah-engah.
Sekarang sedang berusaha diredakan. Pada saat itu,
terucap dalam batin Datuk Marah Gadai.
"Angin pukulannya lebih hebat dari yang dulu.
Sekalipun aku bisa mengalahkan dia di sini, tapi aku
akan kehilangan pusaka yang sudah kuincar
bertahun-tahun lamanya itu. Aku tak boleh larut
melayani dia. Aku harus mencari kesempatan untuk
mengejar Cadaspati. Tak mungkin ia bisa berlari jauh
karena ia dalam keadaan terluka oleh pukulanku
tadi."
Suto tidak ikut campur. la bahkan menenggak
tuaknya lagi. Diteguk sedikit, sebagai pembasah
tenggorokan, kemudian duduk di sebuah batu sambil
menyaksikan pertarungan tersebut, sambil sesekali
memperdengarkan suara cegukannya.
Mata Suto sempat terperanjat ketika Datuk Marah
Badai tiba-tiba menghantamkan pukulan jarak
jauhnya ke telapak kaki Peramal Pikun yang punya
nama asli Renggono itu. Pukulan tersebut mampu
membuat tanah tempat berpijak kaki Peramal Pikun
tersentak naik bersama tubuh di atasnya yang
terdorong ke belakang.
Broolll...!
Wusss...! Tubuh Peramal Pikun bagai didorong
kuat dan dijumpalitkan ke belakang. Mau tak mau
manusia keriput berambut putih panjang itu bersalto
satu kali.
Belum sampai kakinya memijakkan tanah lagi,
Datuk Marah Gadai telah kembali mengirimkan
pukulan tenaga dalamnya dengan menyentakkan
kedua tangannya ke depan. Wuuugh...! Angin besar
melesat dari kedua tangan.
Peramal Pikun segera menghentakkan tongkatnya
ke depan dalam keadaan berdiri. Rupanya ia
menahan pukulan Datuk Marah Gadai dengan tenaga
dalam yang disalurkan melalui kepala tongkatnya
yang berbentuk kepala burung garuda itu.
Duub...!
Dua tenaga dalam berilmu tinggi saling
berbenturan di pertengahan jalan. Satu benturan itu
mengakibatkan tubuh Datuk Marah Gadai tersentak
ke belakang dan oleng ke kiri, lalu jatuh di atas kayu
runcing.
"Aaauh...!" Datuk Marah Gadai memekik karena
pantatnya tertusuk kayu runcing. la segera bangkit
dan mencabut ranting kayu yang terbawa pantatnya.
Pada saat itu, Suto tertawa geli melihat Datuk
Marah Gadai seperti sedang dipermainkan oleh
Peramal Pikun. Sedangkan Peramal Pikun sendiri
hanya tersenyum-senyum dengan tubuh tetap berdiri
pada tempatnya. la berkata kepada Suto.
"Pernah melihat beruang kecocok paku? Nah,
lihatlah dia! Persis seperti beruang kecocok paku!"
Suto yang ada di belakang Peramal Pikun itu
semakin tertawa terbahak-bahak dalam pengaruh
mabuknya. Mendengar suara tawa Suto, hati Datuk
Marah Gadai semakin panas. Maka, ia pun segera
mengangkat kakinya dan menendang penuh kerahan
tenaga dalam ke arah depan. Dari tendangan kaki itu
melesatlah sinar putih keperakan. Meluncur dengan
cepat ke arah tubuh Peramal Pikun.
Dengan gerakan tua yang masih gesit, Peramal
Pikun melompat ke samping dan bersalto satu kali.
Akibatnya sinar putih keperakan itu melesat terus ke
arah Suto yang sedang duduk di batu.
Melihat kilatan cahaya putih keperakan melesat ke
arahnya, Suto segera menyilangkan bumbung
tuaknya di depan wajah. Sinar itu tepat mengenai
bumbung, namun tidak segera meledakkan
bumbung, juga tidak segera padam, melainkan justru
berbalik melesat ke tempat asalnya. Wusss...!
Kecepatannya melebihi kecepatan semula.
Datuk Marah Gadai tersentak kaget bukan
kepalang. Terpaksa ia segera melentingkan tubuh,
menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi,
hingga dalam kejap berikutnya ia sudah berada di
atas sebuah pohon, ia terhindar dari sinar putih
keperakan itu. Sinar tersebut menghantam sebuah
pohon lain. Pohon itu segera lenyap seketika, tinggal
serpihan bubuk yang menggunduk di tempatnya.
"Sinting betul bocah itu!" geram hati Datuk Marah
Gadai. "Jurus 'Tapak Dewa'-ku bisa dikembalikan
sambil cengengesan! Baru sekarang aku melihat ada
orang yang bisa menangkis jurus 'Tapak Dewa'
dengan sebatang bambu dan mengembalikan ke
asalnya. Benar-benar sinting bocah itu!" Datuk Marah
Gadai terheran-heran.
Sementara itu, Peramal Pikun pun sempat terkejut
melihat Suto bisa mengembalikan jurus 'Tapak Dewa'
yang terkenal dahsyat dan berbahaya itu. Jurus
'Tapak Dewa' adalah salah satu jurus andalan Datuk
Marah Gadai. Peramal Pikun tahu, jurus itu tak bisa
ditangkis kecuali dihindari atau diadu dengan
kekuatan yang lebih dahsyat lagi.
Peramal Pikun pun ingat, bahwa dulu ketika
sepuluh tahun yang lalu ia melawan Datuk Marah
Gadai, ia dibuat kelabakan menghindari jurus 'Tapak
Dewa' tersebut. Dulu, ia belum punya ilmu yang bisa
menandingi jurus 'Tapak Dewa'. Sekarang ia sudah
mempunyai jurus tandingan sehingga tadi ia bisa
menyelamatkan Cadaspati dengan sinar merah dari
kepala tongkatnya, yang dinamakan jurus 'Patuk
Garuda'.
Peramal Pikun mengakui, ia tak akan berani
menangkis jurus 'Tapak Dewa'. Karenanya ia sangat
terheran-heran melihat Suto dengan cengengesan
menangkis jurus itu menggunakan bumbung tempat
tuaknya. Peramal Pikun pun membatin.
"Bumbung itu pasti bukan sembarang bumbung.
Dan ilmu anak ini sungguh telah mewarisi ilmunya si
Gila Tuak. Hanya si Gila Tuak-lah yang selama ini
selalu bisa menangkis jurus-jurus maut atau ilmu-ilmu
sedahsyat apa pun. Hmmm... rupanya di dalam jiwa
Suto Sinting ini terpendam jiwa si Gila Tuak bersama
seluruh kesaktiannya. Jika bukan orang berilmu
tinggi, mempunyai kesaktian tingkat atas, tak
mungkin ia bisa menangkis dan sekaligus
mengembalikan jurus 'Tapak Dewa' itu. Aku berani
bertaruh, bocah sinting ini akan cepat dikenal
namanya di rimba persilatan. Tapi, o, ya... aku sedang
ada urusan dengan Datuk Marah Gadai! Bukan
mengagumi kehebatan bocah sinting itu...!"
Kesadaran Peramal Pikun terlambat.
Pandangannya dilayangkan ke atas, ternyata tempat
itu sudah kosong. Pohon yang semula dipakai
bertengger oleh Datuk Marah Gadai itu bagai
menelan tubuh sedikit gemuk milik Datuk Marah
Gadai. Peramal Pikun mulai bingung, la bertanya
kepada Suto Sinting.
"Ke mana orang itu tadi?"
Murid si Gila Tuak menjawab, "Pergi. Lari ke sana!"
ia menunjuk ke arah perginya Cadaspati tadi.
"Mungkin dia mengejar adikmu, huk... yang bernama
Kadaspati itu!"
"Cadaspati! Bukan Kadaspati!" sentak Peramal
Pikun membetulkan ucapan Suto yang keliru. Suto
hanya tertawa sambil mengangguk.
"Mengapa kau tidak menahannya?!" kata Peramal
Pikun, sepertinya menyalahkan Suto. Murid Gila Tuak
itu menjawab.
"Aku tidak ada urusan dengan dia! Jadi kubiarkan
dia lari ke sana, huk...!"
"Tapi dia akan berhasil merebut Guci Pusaka Tuak
Setan dari tangan adikku!"
"Kau bilang tadi, menurut ramalanmu, Guci Pusaka
Tuak Setan akan jatuh ke tanganku, huk...! Jadi,
untuk apa aku menghalangi kepergiannya!"
"Memang akan jatuh ke tanganmu. Tapi kalau kau
tidak merebutnya, tentu saja akan jatuh ke tangan
orang lain!"
"Berarti ramalanmu itu palsu!"
"Palsu atau tidak, itu tergantung anggapan orang.
Yang jelas, kau harus merebut Pusaka Tuak Setan itu
dari tangan si Datuk Marah Gadai!"
"Dia, huk... dia tidak membawa Pusaka Tuak
Setan. Yang membawa adalah adikmu! Apakah kau
ingin agar aku membunuh adikmu untuk merebut
Guci Pusaka Tuak Setan itu?"
"Itu berarti kau harus berurusan denganku Suto
Sinting!"
"Aku malas berurusan denganmu! Bukan karena
aku takut padamu, tapi aku segan melawan orang
lemah, huk!"
Tersinggung hati Peramal Pikun dikatakan sebagai
orang lemah. Tapi ia menahan diri untuk tidak
melepaskan kemarahannya. la hanya berkata dalam
hati.
"Kalau bukan karena aku sedang membutuhkan
dia, sudah kuhajar habis mulutnya yang mabuk itu!
Sayang aku harus membujuknya untuk ikut mengejar
Datuk Marah Gadai, sebab ia bisa kujadikan tameng
dan menambah kekuatanku jika ia ada di pihakku.
Yang jelas, Datuk Marah Gadai jangan sampai
menemukan Cadaspati. Sebab aku tahu, Cadaspati
terluka cukup parah. Dia tak akan mampu lagi
melawan Datuk Marah Gadai."
Suto berdiri dari duduknya dengan sempoyongan.
la berkata dengan suara mabuknya.
"Aku mau mandi, biar segar badanku!"
"Hei, bukankah tugasmu menghancurkan Pusaka
Tuak Setan?"
"Dari mana kau tahu?"
"Kudengarkan percakapanmu dengan si Gila Tuak
dari kejauhan."
"Oh, kalau begitu ilmumu tinggi juga, huk...! Aku
mau mandi!"
"Bocah ini benar-benar sinting!" kata Peramal
Pikun dalam hati. "Sebaiknya aku segera menyusul
Datuk Marah Gadai, sebelum ia menewaskan
Cadaspati!"
*
**