Unduh Aplikasi
38.09% Dear Tante Kunti / Chapter 8: PENERIMAAN

Bab 8: PENERIMAAN

Waktu berlalu dengan cepat, sinar mentari mulai menyapa gadis pucat itu. Rasa hangat sekaligus panas bergabung menjadi satu, tapi Meyes masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong. Dua jam telah berlalu, tapi dia masih dalam posisinya berdiri di dekat tiang bendera tanpa mengenal rasa pegal.

Siswa yang berlalu-lalang menatapnya bingung, beberapa diantaranya berjalan tanpa peduli dengan keadaan Meyes sekarang.

Gadis itu menghela samar, perhatiannya beralih pada sepatu hitam mengkilat itu dengan tatapan sedih. Kedua sudut bibirnya tertarik ke bawah meskipun hanya sedikit. Daun berwarna cokelat yang baru saja mendarat di sebelah sepatunya menjadi pusat perhatiannya sekarang.

Dia berharap itu miliknya, sesuatu yang seharusnya tidak bersarang di dalam dirinya. Seharusnya Meyes tidak mengharapkan sesuatu yang bukan miliknya, tidak meminta sesuatu yang jelas-jelas tidak baik untuknya pada Tuhan. Namun, apa daya? Semua telah terjadi sesuai dengan keinginannya.

Meskipun telah terjadi sesuai dengan apa yang dia harapkan, tapi tetap saja, menjadi indigo tak seindah yang dia bayangkan.

Helaan napas kembali Meyes keluarkan, sekarang dia memandang lurus ke depan. Memperhatikan beberapa siswa yang berlalu-lalang. Beberapa diantara mereka memberikan sapaan beserta senyum, tapi tak pernah Meyes gubris.

Gadis itu masih fokus dengan isi kepalanya, padahal Meyes ingin sekali isi kepalanya menghilang, dan berganti menjadi kosong seperti dalam serial Spongebob waktu Patrik memilih untuk tidak memiliki otak, atau sewaktu Spongebob membakar semua isi otaknya. Dengan begitu dia bisa hidup tenang seperti dulu.

Bell berbunyi dengan begitu nyaring. Meyes segera menyeka air matanya yang baru saja keluar. Kakinya mulai melangkah menuju kelas yang jaraknya lumayan jauh dari tempatnya sekarang.

Langkahnya terhenti di depan pintu kelas, dengan malas tangan kanannya menyentuh gagang pintu itu, dan mendorongnya sebelum dia benar-benar masuk. Berjalan menuju bangkunya yang berada di paling ujung dengan tatapan yang masih saja kosong.

Gadis itu duduk, dan meletakkan kepalanya di atas meja dengan lesu. Raut mukanya berubah malas, dan kedua sudut bibirnya pun semakin melengkung ke bawah. Shapa menatapnya heran, mengikuti posisi Meyes dengan kening yang bertaut.

"Lo kenapa?"

Meyes menggeleng.

"Meyes, tadi ada yang bilang ke gue kalau lo nangis di halaman. Lo kenapa, ada masalah apa? Ayo, cerita sama gue!" ucap Shapa yang semakin khawatir.

"I'm mey, and i'm okay," sahut Meyes dengan lesu.

Kening Shapa semakin bertaut lebih dalam, dia sangat yakin ada yang tidak beres dengan temannya yang satu ini. Lebih tepatnya sesuatu tengah terjadi, dan Meyes masih merahasiakan masalah itu.

Shapa juga masih tidak tahu apakah masalah ini masalah yang rumit, atau tidak. Mungkin saja dia bisa memberikan solusi ketika Meyes bercerita, akan tetapi menunggu gadis itu membuka suara akan memakan waktu yang lama, dan membuatnya semakin penasaran.

Shapa menghela samar, menutup kedua netranya sejenak, dan kembali menatap gadis di depannya dengan tatapan tajam.

"Lo kenapa? Masalah apa lagi yang lo dapetin sekarang hm? Ayo, cerita sama gue, mungkin gue bisa ngasih solusi atau mungkin gue bisa bantuin masalah lo ini!"

Meyes menegakkan tubuhnya, menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba gatal, dan menatap Shapa datar. Dia malas untuk membahas hal tidak penting ini, tapi bibirnya juga terasa gatal karena ingin menceritakan hal ini kepada Shapa. Lagi pula siapa orang yang paling dia percaya selain Shapa? Tidak ada, bahkan keluarganya pun tidak bisa dia percayai sampai detik ini.

"Gue bingung Fa," ucap Meyes akhirnya.

Shapa ikut menegakkan tubuhnya, mengatur posisi kursinya agar bisa menatap Meyes dengan nyaman. Dahinya kembali bertaut, "Soal apa?"

Gadis itu terdiam, perhatiannya beralih pada jendela kelas yang sedang terbuka lebar, "Gue gak pernah mikir dua kali, tentang masalah di masa depan, atau soal kemungkinan-kemungkinan yang bakalan terjadi. Gue terlalu bego buat itu semua, yang gue turutin cuman rasa penasaran sama nafsu doang."

Shapa tidak mengerti dengan alur pembicaraannya. Meyes terlalu bertele-tele untuk Shapa yang sangat lemot.

"Harusnya gue gak pernah mau buat jadi kaya gini. Andai gue gak menggebu-gebu, mungkin ini gak bakalan terjadi," ucap Meyes sebelum menutup kedua matanya erat.

"Apa? Sebenernya lo kenapa? Maksud lo apa?" sahut Shapa bingung, "Jujur gue gak paham sama apa yang lo bilang, lo sebenernya kenapa? Jangan bertele-tele!"

Meyes tersenyum kecil, dia lupa dengan kelemotan Shapa yang sudah mendarah daging. Ia kembli menatap Shapa dengan wajah yang serius, bahkan gurat kesedihan, dan penyesalan itu menghilang seketika. Seakan-akan dia memiliki dua kepribadian yang sangat berbeda.

"Indra ke enam yang selama ini gue pengen, sekarang gue udah gak pengen. Gak tau kenapa waktu udah punya meskipun wadahnya masih kecil, tapi gue pengen buang wadah itu, dan balik hidup normal kaya dulu," jelas Meyes.

"Jadi lo sedih gara-gara itu?"

Meyes mengangguk.

Shapa semakin tidak mengerti dengan temannya. Dia menyentuh dahinya yang sekarang terasa pening. Meyes selalu berubah pikiran dengan cepat, tapi yang ini lumayan lama. Namun, tetap saja penyesalannya sangat cepat, dan hanya berjarak beberapa hari setelah mereka pergi ke rumah kerabat Shapa.

Ini keinginan Meyes, dan dia juga selalu mencari cara untuk mendapatkan kemampuan indigo itu. Shapa merasa geram dengan temannya yang satu ini, seharusnya Meyes merasa puas, dan senang sekarang, bukan sebaliknya. Ini membuatnya pusing sebagai teman dekat Meyes.

"Shafa, jujur gue ngerasa takut, tapi gue berani, dua rasa itu dateng bersamaan waktu mereka dateng." Meyes menggenggam tangan kiri Shapa erat, raut mukanya sekarang berubah sedikit takut, "Gue... gue ngerasa ada yang aneh, dan keanehan ini harus gue singkirin. Lo tau gak sih, meskipun gue gak bisa liat wujud mereka, tapi gue bisa ngerasain kehadiran mereka, dan gue bisa cium aroma mereka yang gak enak. Kadang... waktu di rumah sendirian gue cium aroma... bunga, atau bangkai busuk yang bikin gue mau muntah."

"Bau anyir? Lo pernah nemuin?"

Meyes menggeleng.

"Meyes, kalau lo gak mau kaya gini seharusnya lo pikir-pikir lagi sebelum putusin jadi indigo!" ucap Shapa kesal.

"Iya gue nyesel, gue bego emang. Tapi Fa, gue bingung sekarang, cuman gue yang bisa liat mereka di rumah, lainnya gak ada yang bisa. Gue... gue takut kalau nanti tiba-tiba wadahnya berubah jadi lebih besar lagi, terus... terus gue gak bisa bedain mana manusia sama mana hantu yang asli."

Shapa menghela kesal dengan bola mata yang berputar, "Terus sekarang gimana? Gak akan bisa di tutup, om gue sendiri yang bilang kemarin."

"Masa gue harus terima nasib?"

"Mau gak mau ya harus gitu. Udah deh terima aja nasib lo sekarang ini, mungkin ini yang terbaik buat lo, dan buat keluarga lo juga."


Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C8
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk