Stefano menekan pedal rem dengan kuat saat sudah berada di depan kampus Rindi. Semua orang yang ada di situ terkejut dengan apa yang Stefano lakukan.
Tidak lama Stefano keluar dengan wajah khawatir. Stefano menghampiri Rindi yang berdiri bersama Nana di depan pos satpam. Kening Rindi mengkerut bingung, sedangkan Nana sendiri membuka mulutnya lebar karena terkejut tiba-tiba sebuah mobil berhenti cepat di hadapannya.
Stefano lalu memeluk Rindi saat istrinya itu sudah benar-benar ada di jangkauannya.
"Kenapa Kamu selalu membuatku khawatir," ujar Stefano dengan suara berat.
Rindi yang terkejut dengan kelakuan Fano diam di tempat dan sibuk memandang ke sekeliling area kampus. Dia bukan malu, tapi dia tidak nyaman berada di tempat umum dan di peluk oleh laki-laki seperti ini. Walaupun Rindi tahu Fano itu suaminya.
"Hei, Kamu ini kenapa? Kapan Aku membuatmu khawatir? Aku kan tidak apa-apa," sahut Rindi kemudian melepas pelukan Stefano.
Nana yang masih berdiri di samping mereka berdua dengan mulut terbuka. Dia syok dengan tingkah Fano, dia tidak pernah tahu kalau suami sahabatnya itu bisa segila ini memeluk istrinya di depan umum.
Rindi dan Stefano sekarang duduk berhadapan di meja makan apartemennya. Fano hanya diam saja dengan ekspresi wajah masih seperti tadi. Sepertinya rasa khawatir pada istrinya belum sepenuhnya hilang. Stefano mengusap wajahnya pelan lalu dia menghela napas. Fano memandang tajam ke arah Rindi sekarang.
"Sejak kapan Kamu mengalami kejadian-kejadian itu?" Tanya Stefano penuh selidik.
Rindi mengkerutkan keningnya bingung. Apa sebenarnya yang Fano bicarakan sekarang.
"Kejadian apa? Maksudmu apa sih?" Tanya Rindi balik.
Stefano menatap Rindi tidak percaya saat ini, bisa-bisanya Rindi justru bertanya ada apa. Siapa yang sebenarnya sedang di bodohi saat ini. Dirinya atau justru Rindi sendiri yang membodohi diri sendiri.
"Jangan bercanda Rin, sejak kapan teman-teman di kampus memperlakukanmu dengan buruk? Dan kenapa mereka melakukan itu? Apa karena Kamu istriku?" Cecar Stefano pada Rindi.
Mata Rindi sekarang membulat lebar, dari ekspresi wajahnya jelas sekali kalau apa yang Stefano katakan itu benar adanya.
Flashback
Rindi menghela napas melihat lokernya lagi-lagi penuh dengan sampah bahkan air minuman yang sengaja di tumpahkan ke dalamnya. Dengan telaten Rindi membersihkan lokernya. Entah sudah ke berapa kalinya dia mengalami hal ini. Semenjak hubungan pernikahannya dan Stefano menyebar luas, Rindi benar-benar tidak bisa kuliah dengan tenang.
Kejadian-kejadian tidak nyaman itu terus saja berulang. Hari dimana Rindi pergi menggunakan kemeja nude, dia terpaksa pulang dengan mengenakan hoody hitam. Itu terjadi karena Rindi mendapatkan siraman air saat ada di kamar mandi waktu itu. Bahkan tidak ada yang tahu kalau kepala Rindi bahkan benjol karena di jatuhi gayung cukup keras. Stefano memang tidak salah mengenali baju Rindi waktu itu, hanya saja Rindi tidak ingin Stefano tahu dengan apa yang terjadi.
Flashback off
"Jawab Rin! Jangan diam saja. Apa benar Kamu mengalami hal-hal buruk seperti itu sudah lama?"
Suara tegas Stefano membuat Rindi terjingkat kaget. Rindi tidak langsung menjawab, dia hanya memandangi Stefano sekarang ini. Stefano mengerang kesal kemudian berdiri sekarang.
"Kalau Kamu memang tidak mau jawab, Aku cari tahu sendiri," ujar Stefano kemudian pergi ke kamar meninggalkan Rindi yang masih bingung saat ini.
Rindi begitu ingin mengatakan semuanya pada suaminya itu. Tapi kalau akhirnya Stefano kembali menyuruhnya pindah kuliah bagaimana dengan biaya kuliah yang harus dia ganti nanti. Sedangkan tabungan yang dia miliki terus-terusan Tante dan Pamannya ambil sedikit demi sedikit. Rindi menghela napas berat lalu meletakkan kepalanya di meja sekarang, dia bingung harus bagaimana saat ini.
***
Stefano menghentikan mobilnya di depan universitas Rindi. Setelah melepas sabuk pengaman, Rindi menyalami tangan Stefano.
"Aku hanya sebentar, bisa menungguku?" Tanya Rindi pelan.
Stefano memandang Rindi kemudian menganggukkan kepalanya mengiyakan. Rindi tersenyum kemudian turun dari mobil Fano. Gadis itu berjalan masuk ke dalam universitas setelah menyapa satpam penjaga. Sedangkan Fano memandangi punggung Rindi yang menjauh. Sudah beberapa hari ini Dia mengantar jemput Rindi tapi kenapa tetap tidak ada yang terjadi pada istrinya itu. Tidak seperti yang dia curigai dengan Victor. Stefano berakhir menunggu Rindi sambil mengecek jadwal kerjanya 1 minggu ke depan.
Rindi sedang mengecek email miliknya di dalam mobil yang di kendarai dirinya dan Stefano menuju arah pulang. Rindi melihat beberapa pekerjaannya yang harus di terjemahkan secepatnya. Padahal dia berencana untuk pergi berlibur dengan Nana.
Rindi melirik Stefano yang sedari tadi diam saja. Mereka berdua memang jarang berinteraksi, padahal yang sejujurnya Rindi sangat ingin mengobrol dengan suaminya itu. Rindi berdehem mengalihkan perhatian Stefano. Sekilas Fano menoleh pada Rindi lalu kemudian fokus mengemudi lagi.
"Chan, boleh Aku bertanya?" Ujar Rindi memberanikan diri.
Stefano lagi-lagi hanya menganggukkan kepala menanggapi ucapan Rindi. Istri Stefano itu menghela napas pelan melihat reaksi Fano. Rindi memandang lurus ke depan kemudian.
"Boleh Aku pergi berlibur dengan Nana?" Tanya Rindi pelan dan datar.
Pada akhirnya Rindi lelah sendiri menghadapi suaminya yang memiliki sikap berubah-ubah seperti bunglon.
"Mau pergi kemana? Dan kapan? Untuk 1 minggu ke depan jadwalku penuh. Aku tidak bisa menemanimu pergi," ujar Stefano menjawab pertanyaan Rindi. Fano sekarang membelokkan mobilnya masuk ke area kantornya.
Rindi menoleh ke arah Stefano, kenapa mereka bukannya pulang justru pergi ke agensi.
"Aku harus menanda tangani berkas penting, tidak lama. Kamu bisa menunggu di studioku," ujar Stefano seakan tahu maksud dari pandangan bingung istrinya itu.
Kepala Rindi mengangguk mengiyakan ucapan suaminya itu. Rindi berpikir bisa menyelesaikan pekerjaannya sambil menunggu Stefano menyelesaikan pekerjaannya juga.
"Aku sudah bilang pada Stefano, dan dia menjawab iya secara tersirat. Dia bertanya kita akan pergi kemana."
Rindi membalas pesan Nana sambil menunggu Stefano berbicara dengan beberapa staf di dalam studio kerjanya. Rindi melihat ke dalam studio Fano. Ini kali pertama Rindi melihat Stefano begitu serius bekerja.
Ting...
"Kita pergi ke pantai Sokcho saja, tidak terlalu jauh dari Seoul. Bagaimana?"
Rindi mengerutkan keningnya kebingungan. Dia sering mendengar nama pantai itu tapi dia tidak tahu seberapa jauh atau dekat jaraknya dari Seoul.
"Aku bilang Stefano dulu, besok Aku akan kabari kembali."
Rindi meletakkan ponselnya kembali setelah membalas pesan terakhir Nana. Rindi kembali melihat ke kaca yang membatasi dirinya dan suaminya yang ada di dalam ruangan kerjanya itu. Tujuan Rindi menunggu Fano sambil bekerja gagal total, sekarang gadis manis itu memasang headset di telinga lalu mendengarkan beberapa musik kesukaannya.
***
Rindi mengemasi bajunya, dia yang memang tidak akan menginap lama di Sokcho hanya membawa beberapa lembar baju. Rindi menghentikan kegiatannya saat pintu kamarnya di ketuk dari luar.
"Bisa bicara sebentar?" Ujar Stefano saat melihat istrinya sudah berdiri di depannya sekarang.
Rindi mengikuti Stefano duduk di sofa. Stefano memandang Rindi sebentar. Fano kemudian menyodorkan buku tabungan pada Rindi. Stefano juga menyodorkan sebuah kartu kredit pada Rindi.
"Pergunakan ini untuk kebutuhanmu," ucap Stefano kemudian.
Rindi menautkan alisnya, dia tidak pernah sekalipun berpikir untuk mendapatkan ini dari Fano. Kebutuhan setiap hari sudah Stefano cukupi, kenapa sekarang Fano justru memberikan ini padanya.
"Untuk apa? Aku mempunyai cukup uang sendiri, Chan," sahut Rindi menolak dengan halus.
Stefano menatap Rindi kemudian menghela napas pendek. Dia meletakkan buku tabungan dan kartu kredit di tangan Rindi.
"Anggap saja ini imbalanmu menjadi istri kontrakku," ujar Stefano lagi dengan nada dingin.
Rindi tercekat tidak bisa berkata-kata mendengar perkataan Stefano baru saja. Dia yang mengiyakan ajakan Fano untuk menikah kontrak, sedikitpun tidak pernah memiliki pikiran untuk meminta imbalan. Rindi murni hanya ingin membantu Fano keluar dari masalah yang menyangkut dirinya juga.
"Chan, apa maksudmu imbalan? Aku..."
Kalimat Rindi terpotong saat bel apartemen Fano berbunyi. Stefano langsung berdiri tidak menghiraukan perkataan Rindi lagi. Rindi sendiri sekarang memandang ke arah Stefano sambil menahan air matanya keluar.
Keesokan harinya, pagi sekali Rindi sudah selesai memasak. Rindi sengaja membuat lauk sedikit lebih banyak. Karena dia tidak akan ada di rumah untuk 3 hari ke depan. Selesai menyiapkan sarapan dan bekal makan siang Fano, Rindi mengetuk pintu kamar Fano.
"Sarapan sudah siap," singkat Rindi kemudian pergi ke kamarnya tanpa menunggu Fano keluar.
Rindi baru keluar saat Fano sudah mulai sarapan. Rindi duduk di depan Fano kemudian dia meminum susu yang sengaja dia buat untuk dia konsumsi pagi hari. Rindi sedang tidak memiliki nafsu makan hari ini. Fano melirik Rindi yang tidak sarapan, mulutnya sudah terbuka akan bertanya tapi justru lebih dulu Rindi yang berbicara.
"Lauk sudah siap di kulkas, panaskan saat Kamu mau memakannya. Ini bekal makan siangmu, jangan melupakan makan sesibuk apapun Kamu bekerja. Aku harus berangkat sekarang, Nana sudah menunggu di terminal bus," ucap Rindi kemudian berdiri.
Rindi mencium tangan Fano terlebih dulu sebelum benar-benar pergi. Stefano tercengang melihat sikap Rindi yang berubah 180 derajat. Ekspresi wajah Rindi sama sekali tidak pernah Fano lihat sebelumnya. Stefano menghentikan makannya dan menyusul Rindi, tapi Fano berhenti di ambang pintu rumah saat melihat Rindi sudah benar-benar keluar dan tidak menoleh lagi.
***