Pukul sembilan malam.
Masih hampir enam jam lagi untuk mereka berdua meyelesaikan caffe tempat dimana mereka bekerja.
Caffe ramai saat jam makan siang, dimana mereka hanya akan menerima pesanan banyak, tempat dimana hanya untuk minum-minum dan berbicara beberapa hal di tempat itu.
Pukul enam pagi sampai pukul dua siang adalah puncaknya, akan ramai dipukul lima sore sampai tujuh malam, selebihnya cukup sepi karena sebagian orang mulai sibuk bekerja.
Ji Min melihat Jung Ki sedang mata sangat serius, dia bisa melihat pria itu benar-benar sibuk dengan lamunannya, memang gerakan pekerjaannya terlihat sangat cepat, namun saat selesai dengan pesanan pelanggan, pria itu akan memilih untuk diam dan tidak banyak bicara lagi.
Walaupun sejujurnya Jung Ki pria pendiam yang tidak banyak bicara, sekali Ji Min menyinggung hubungan dan kedekatan pria itu dengan pria yang memiliki aura dominan dan tegas bernama Kim Tae Woo itu Jung Ki akan selau marah atau setidaknya dia semakin menjadi pendiam.
Walaupun dampaknya tidak besar sama sekali, setidaknya Ji Min hanya ingin Jung Ki terbuka padanya, melihat seberapa buruk dan menyebalkannya Jung Ki terhadap dirinya, apa Ji Min salah?
Dia perduli, hanya saja kepeduliannya pada Jung Ki selalu terlihat menjadi masalah, dan kesalahan juga.
Ji Min mengambil satu pesanan yang sama untuk pelanggan yang datang seorang diri, Ji Min mulai menegur Jung Ki sedikit. "Kau kenapa?" tanya Ji Min, namun pria itu diam tanpa suara.
Ji Min menghela nafasnya berat, Jung Ki tetap egois dengan dirinya sendiri, dia tirak menjawab apa yang Ji Min tanyakan bahkan saat pria itu lebih tua dari Jung Ki dua tahun.
Ji Min mengalah, pria itu mengambil satu gelas cup milik pelanggannya dan memberikannya, satu pria itu memberikan uang pas dan berjalan pergi tanpa membalas sapaan Ji Min. "Terimakasih."
Setidaknya Ji Min bisa menghela nafasnya lega mengingat apa saja yang Jung Ki katakan padanya.
Tidak ada.
"Kenapa kau hari ini, Jung Ki? Apa aku salah bicara?" Jung Ki menggelengkan kepalanya pelan, pria itu menjawab dengan gerakan tubuh tanpa suara, namun Ji Min hanya bisa menatap serius pria itu tanpa suara juga walau sebentar.
"Jangan seperti itu, aku rekan kerjamu, dan kau tidak bisa terus mendiamkanku seperti ini sepanjang hari, apa aku menyakiti hatimu sedikit saja?" Jung Ki menggelengkan kepalanya pelan, bukan itu maksud Jung Ki, pria itu bahkan melepas celemek yang dia pakai untuk melayani pelayanan pekerjaan.
"Kak, aku hanya kelelahan," jawab Jung Ki membuat pria yang lebih tua darinya dua tahun itu terlihat memutar bola matanya malas.
"Aku juga lelah, Jung Ki. Tapi tidak seperti ini caranya," balas Ji Min membuat Jung Ki menghela nafasnya berat. "Lalu?"
"Aku hanya tidak dalam mood baikku, maafkan aku Kak Ji Min. Aku merepotkanmu lagi, aku membuatmu tidak nyaman yang selalu membuatmu terus-terusan kurang nyaman di dekatku. Maafkan aku," ucap Jung Ki berulang kali, Ji Min tersenyum tipis.
Tangan kecil, pendek, dan berwarna putih itu mengelus puncak kepala Jung Ki pelan. Seseorang tahu seberapa sulitnya pria pendiam itu bisa disentuh dengan baik, bahkan Ji Min harus mendapat setidaknya izin lebih dari tiga tahun dari kebersamaannya lima tahun.
Jung Ki sangat pendiam, dia bahkan tidak suka disentuh saat mereka saling tahu namanya saja. Jung Ki benar-benar pria baik, putih, polos dan egois juga sebenarnya.
Seseorang pasti akan paham apa yang sebenarnya Jung Ki lakukan sebab privasi, tapi menurut Ji Min. Ini sangat keterlaluan.
"Aku tidak masalah sama sekali dengan itu, Jung Ki. Setidaknya katakan padaku apa masalahmu, jika kau terus diam, aku akan menjadi korban setiap harinya. Aku bersamamu hampir sembilanbelas jam dalam satu hari, kau tahu maksudku kan, Jung Ki?" Pria itu mengangguk, dia tersenyum.manis sekarang.
"Maaf, Kak." Ji Min menganggukkan kepalanya pelan, tanpa gerakan juga Jung Ki mengelus bahu kanan Ji Min pelan.
Dia menepuk satu kursi kosong tempat mereka berdua duduk jika pelanggan mulai sepi.
"Kau mau makan malam apa hari ini, Kak Ji Min?" tanya Jung Ki soal menu makan apa yang dia inginkan untuk malam ini. Ji Min menggelengkan kepalanya pelan, alis Jung Ki terangjat bingung.
"Jangan diet Kak, aku tidak bisa mengimbanginya nanti," balas Jung Ki membuat Ji Min terkekeh mendengarnya.
"Bukan maksudku seperti itu, sialan. Aku hanya ingin minum saja, makan siang yang datang kau pesan itu benar-benar membuat perutku penuh. Uangmu banyak atau bagaimana? Kenapa kau selalu membeli makan siang dalam jumlah besar setiap harinya Jung Ki?" Pria itu tertawa kecil, dia menggelengkan kepalanya pelan untuk menjelaskan salah paham antara makan siang yang selalu datang setiap jam makan siang mereka berdua bukanlah darinya.
"Aku tidak membelinya," jawab Jung Ki membuat alis Ji Min menyatu sempurna.
"Maksudmu?" Jung Ki terkekeh, dia mengangkat kedua jarinya, jari telunjuk dan jari tengah, lalu pria itu kembali menyentuh jari tengah dan jari telunjuknya bergantian. "Kau paham maksudku?" Ji Min memutar bola matanya malas.
"Tidak mungkin ada yang selalu mengirimi makan siang setiap hari berbeda jika itu hanya seorang penggemar rahasia, Jung Ki." Ji Min membantah apa yang sebenarnya terjadi, pria itu bahkan lebih percaya pada orang kaya yang selalu salah kirim makanan mahal ke caffe tempt mereka bekerja dsripada penggemar rahasia.
"Kau hanya tidak tahu saja, Kak." Ji Min malas mengambil serius pembicaraan, pria itu kembali mengambil sisa makan siang satu porsi untuk mereka makan malam bersama.
"Mood mu buruk, kau kenapa lagi hari ini? Apa karena Kim Tae Woo lagi?" tanya Ji Min meminta penjelasan karena Ji Min melihat seberapa keras dan berbedanya Jung Ki dan Tae Woo saling pergi atau tidak membalas tatapan mata mereka yang selalu lama.
"Kak Ji Min selalu mengatakan aku dengan pria itu hal-hal aneh, bagaimana bisa kau berpikir seperti itu saat pria itu--"
"Dia tidak pernah meninggalkan caffe ini sebelum makan siang, atau bahkan setelah kau makan siang. Tapi tadi, dia bahkan memesan pesannya dan langsung pergi. Bukankah dia di sini hanya satu setengah jam saja di sini? Dia aneh, dan kau juga aneh." Ji Min menanyakan kecurigaannya pada Jung Ki semenjak itu.
Dalam dua tahun terakhir Tae Woo memang selalu dematang ke caffe tempat dimana Jung Ki dan Ji Min bekerja, lebih menggila di satu tahun pertama saat Tae Woo benar-benar tidak datang setiap weekend dan di caffe sampai sembilan jam dalam sati hari, setelah mereka (Jung Ki dan Ji Min) makan malam.
Untuk sekarang, satu tahun terakhir setidaknya pria itu tidak segila itu. Sebab semuanya menjadi berubah, Tae Woo pulang hanya sampai dibatas jam di makan malam siangnya.
Jung Ki diam saja, pria itu memilih untuk tidak menjawab dan mengambil makanannya dan mengunyahnya.
"Kau selalu mengalihkan pertanyaanku, kenapa? Apa kau tidak nyaman dengan pembicaraan ini?" Jung Ki menganggukkan kepalanya pelan, dia menjawab dengan gerakan cepat. Ji Min yang melihat Jung Ki menjawabnya dengan cepat bahkan saar pertanyaan satu tahun terakhir mereka dekat, Jung Ki baru saja menjawab pertanyaan darinya.
"Jung Ki?"
"Maaf," sambung Ji Min merasa sangat sungkan dengan apa yang dia dapatkan dari Jung Ki. "Maaf, Kak." Jung Ki terkekeh, dia menggelengkan kepalanya pelan tanpa suara.
"Aku hanya bercanda," jawab Jung Ki membuat Ji Min juga ikut terkekh mendnegarnya. "Kau bukan simpanan orang lain kan, Jung Ki? Aku hanya takut kau mendapat masalah," ucap Ji Min sebab selama lima tahun bekerja bersama dengan Jung Ki, pria itu bahkan sama sekali tidak tahu rumah dan alamat milik Jung Ki selama lima tahun berteman baik dengan Jung Ki.
"Tidak, aku pria baik, manis, polos, dan cantik. Jadi ku pikir, bagitu banyak orang akan membelikan makan siang atau makan malam untukku juga, aku anak baik Kak Ji Min."
"Bisa saja Kak Seok Jin yang membelikannya," sambung Jung Ki kembali menyakinkan apa yang Ji Min tanyakan padanya memang bukan Tae Woo yang membelikannya padanya.
Atau bahkan orang yang mampu membelikan makanan untuk mereka terkesan orang lain atau sugarnya.
"Aku hanya curiga, apa kau dan Te Woo memiliki hubungan di belakangku yang tidak aku ketahui?" Jung Ki mengangkat kedua bahunya malas dan mengambil satu makanan terakhir karena Ji Min terlalu lama berbicara dan mengabaikannmakan malam mereka. "Kau terlalu banyak berbicara Kak, maaf menghabiskannya." Jung Ki membuat Ji Min menghela nafasnya berat, dia melirik mata Jung Ki terkejut dengan wajah termenung.
"Mulut dan perutmu itu," maki Ji Min membuat Jung Ki tertawa puas dan membuangnya bekas makanan mereka ke belakang saat ada detingan yang sama dimana seseorang datang pukul sembilan malam.
Ji Min membersihkan tangannya, dia menyingkirkan makan malamnya juga dan memilih untuk tetap menyelesaikan tugasnya untuk berbicara.
"Maaf, nyonya pesan apa?" tanya Ji Min menanyakan pesanan pada pelanggan malam-malam yang sengaja datang membuat Ji Min berusaha profesional.
"Satu--"
Beralih dari Ji Min untuk Jung Ki, pria itu benar-benar menghela nafasnya berat dan mengambil ponselnya di kamar mandi malam.
"Apa aku harus menghubunginya?"
"Apa dia marah?"
Jung Ki bimbang, dia bingung, apa yang seharusnya dia lakukan apa yang sebenarnya dia perjuangkan benar-benar bertolak belakamg sekarang.
Untuk kali ini, dia harus mengalah.
Tangannya mengambil ponsel di saku kanan celananya untuk menghubungi seseorang, setidaknya menanyakan kabar saja.
"Maaf," ucap Jung Ki mengambil langkah cepat dengan mengatakannya lebih dulu. "Maafkan aku, Kak." Tidak ada jawaban dari sana, hanya saja Jung Ki hanya bisa mengerti jika pria itu memang akan marah jika apa yang Jung Ki minta terlalu kasar mengusirnya.
"Apa aku kurang mengerti dirimu?" tanya pria dari sambungan telefon yang lain membuat Jung Ki menegang di tempat, dia mulai merinding.
"Aku hanya--"
"Hubungan ini ada hanya karena aku dan kau saling mencintai, kenapa sekarang kau harus perduli pada orang lain?" tanya balik pria itu dengan pertanyaan sarkas tidak ingin jawaban dari Jung Ki.
"Bukan maksudku seperti itu," balas Jung Ki mengoreksinya. "Tapi kau melakukannya." Tae Woo menegaskannya.
Ambil beberapa saja, jangan melakukan atau bahkan mencontohnya. Ini hanyqasisi liar, anggap kalian saat membacanya sebagai Jeon Jung Ki jika kalian wanita, anggap kalian Kim Tae Woo jika kalian pria. Santailah saat membaca novel saya.
"Jangan sekarang," minta Tae Woo saat dia baru saja sampai di kantornya lebih cepat dari sebelumnya, bahkan pria dengan nama lengkap Jung Hoo Sik saja sudah lebih dulu berdiri dan menghampiri Kim Tae Woo untuk memberikan tanggung jawab dan juga pekerjaan patennya.
"Kau terlalu sibuk akhir-akhir ini. Ya, aku tahu aku tidak seharusnya ikut campur dengan ini. Tapi, bukankah ini salahmu juga jika perusahaan ini hancur?" tanya Hoo Sik pada Tae Woo sebab dia merasa butuh jawaban dan alasan dibalik Tae Woo melakukan hal yang dia inginkan akhir-akhir ini.
"Ada kau jangan lupakan itu, Kak Hoo Sik. Kau ada di sini karena diperlukan, jika kau tidak ada di sini. Aku tahu caraku memperlakukan dengan baik perusahaan yang sudah terlalu tua ini." Tae Woo menjawabnya dengan wajah sangat datar dan memilih berjalan menjauh menuju lift untuk kembali ke kantornya kali ini.
Jika tidak untuk tidur setidaknya Tae Woo harus menguris beberapa meeting pertemuan via virtual karena dia tidak bisa datang untuk meeting ke luar ruangan untuk siang ini. "Kau perlu mendengarkanku," ucap Hoo Sik yang berusaha memaksakan diri untuk ikut ke lift yang sama dengan Tae Woo saat itu, namun pria itu memilih mwndorong Hoo Sik berusaha menjauhkan Hoo Sik dari dirinya.
"Mengantrilah dengan baik, Kak." Tae Woo menegurnya dengan baik, pintu lift tertutup dengan rapat walaupun hanya ada Kim Tae Woo saja. Sebagian karyawan yang bekerja di teman itu melihat secara sembunyi-sembunyi bagaimana Tae Woo memperlakukan Hoo Sik terlalu nyata.
Jika benci setidaknya jangan melakukan banyak hal yang membuat semua orang harus tahu jika hubungan baik antara Kim Tae Woo dan Jung Hoo Sik itu tidak baik. Setidaknya tidak untuk konsumsi publik atau semua karyawan tahu. Akhir-akhir ini Kim Tae Woo terlihat terlalu jelas mengutarakan kebenciannya terhadap Jung Hoo Sik bahkan tidak hanya dengan ucapannya melainkan dengan tindakan tangan.
Dorongan, pukulan tangan, bahkan kaki juga diantara keduanya sudah sangat jelas saling tidak menyukai dengan jelas. Awalnya memang tidak, namun melihat sedrastis apa perubahan Kim Tae Woo pada Jung Hoo Sik sepertinya bukan dalam waktu baru-baru saja.
Semua karyawan bisa melihat bagaimana respon Jung Hoo Sik yang terlihat sangat sabar dan hanya diam begitu Tae Woo memperlakukannya dengan tidak baik. Mungkin memang Kim Tae Woo sangat kasar, hanya saja pria itu menutupi semua kebusukannya diam-diam dan pada akhirnya lelah berpura-pura.
Itu pendapat karyawan saja.
"Apa yang kalian lihat? Kerjakan pekerjaan kalian masing-masing," tegur Hoo Sik saat sebagian karyawannya mulai menatap dengan tatapan kasihan dan iba padanya.
"Maaf, tuan." Salah satu mereka menjawab, sebagian mulai mengerjakannya saja tanpa menjawab. Hoo Sik yang melihat tatapan karuawan mulai berbeda kembali menghela nafasnya berat, tangannya mengambil tombol lift dan mulai masuk untuk menyusul adik laki-laki sepupunya.
"Dan terjadi lagi, kenapa kau seperti ini Kim Tae Woo." Hoo Sik menghela nafasnya terasa begitu berat saat tahu jika adik laki-laki sepupunya mulai melakukan hal diluar kendalinya lagi.
Ini akan menkadi masalah serius untuknya dan untuk orang lain juga. Setidaknya jika tidak untuk di depan karyawan, Hoo Sik terima-terima saja di lain tempat.
Hoo Sik bukannya membenci Tae Woo, Hoo Sik hanya tidak ingin Tae Woo dioandang buruk saja sebenarnya.
Sampai di lantai ruangan resmi dimana hanya ada ruangan pribadi dan ruangan milik Tae Woo dan Hoo Sik pria itu memilih mengetuk pelan ruangan milik Tae Woo. "Aku akan masuk," ucapnya hanya memberitahu, Tae Woo menyetujui tanpa mengatakan apapun.
"Jika kau hanya akan membahas soal tadi, kau terlalu manja, Kak." Belum mengatakan apapun, Hoo Sik bahkan sudah mendapat jawaban kurang menyenangkan dari Tae Woo.
"Kemana saja kau hari ini? Haruskah kau datang pukul sepuluh siang saat kau bisa datang ke kantor pukul delapan pagi?" tanya Hoo Sik menanyakan tempat sebelumnya Tae Woo datangi sebelum ke kantornya. "Aku ada urusan, kali ini sedikit." Tae Woo mengangkat bahunya tidak ingin memperpanjang pembahasannya dan memilih membuka laptop yang sejak tadi dia bawa.
"Aku ada meeting dengan tuan Min nanti, sepertinya kau tidak perlu mengajariku untuk kali ini," ucap Tae Woo meminta Hoo Sik untuk beristirahat sebentar sebab dia sudah menyelesaikan pekerjaannya sejak pukul tujuh pagi tadi.
"Aku hanya butuh tahu kau darimana, Kim Tae Woo." Hoo Sik terlihat sangat tenang menanyakannya, namun lebih tenang lagi Tae Woo yang hanya menaikan kedua alisnya tanpa bicara sedikitpun. Kedua tangannya menunjukkan laptop dimana dia ingin menjelaskan jika dia juga ada urusan tapi tidak meninggalkan pekerjaan dan kewajibannya.
"Kau melihat pekerjaanku tidak ku abaikan, apa lagi yang kau butuhkan, Kak?" tanya Tae Woo sedikit meninggikan suara tidak bermaksud untuk tidak sopan padanya.
"Kim Tae Woo, aku bertanya karena aku perduli." Hoo Sik bahkan terlihat sangat frustasi mendapat jawaban dari Tae Woo sebab dia merasa begitu besar dinding yang Tae Woo ciptakan diantara dirinya dengan Kim Tae Woo.
"Ya, terimakasih sudah mau perduli padaku, Kak." Tae Woo mengambil air mineral yang dia ambil beberapa menit sebelum kedatangan Hoo Sik ke ruangannya dan meneguknya sampai setengah. "Ada masalah apa sampai kau merasa kau tidak bisa menyelesaikan masalahnya, Kak?" tanya Tae Woo mencari satu point dimana Jung Hoo Sik tidak mendapatkan kenyamanan bekerja saat Kim Tae Woo tinggal beberapa jam saja.
"Kim Tae Woo, aku sedang berbicara denganmu sebagai kakak sepupumu kalau kau mau tahu saja," ucap Hoo Sik seakan-akan dia sedang kehilangan arah bicara dan perannya untuk kali ini.
"Kak, aku tahu, kau tahu jika aku baru saja pergi ke tempat mana. Kenapa kau menanyakan aku baru saja darimana hanya untuk memancing keributan, lupakan saja," minta Tae Woo pada Hoo sik sebab pertanyaannya terdengar sangat tidak masuk akal dan menyebalkan untuk dirinya sendiri bicarakan.
"Apa yang ku tahu?"
"Kau tahu kau pergi ke caffe, apa lagi?" tanya balik Tae Woo tidak kalah lebih sewot dan tidak bersahabat kali ini. Hoo Sik memutar bola matanya malas, dia bahkan menatap serius pada adik sepupunya kali ini. "Siapa yang kau cari di caffe itu? Bukankah caffe itu milik pacarnya Nam Gi, apa minuman di sana sangat enak sampai-sampai kau harus datang ke sana tiga tahun terakhir ini?"
"Kau tidak perlu tahu sebenarnya," jawab singkat Tae Woo memilih untuk mengabaikan pembicaraannya dengan Hoo Sik karena mendapat panggilam dari seseorang.
"Ya, kirimkan saja untuk hari ini."
"Tidak masalah, kirimkan saja seperti biasa. Aku yang akan membayarnya."
"Terimakasih kembali." Tae Woo menyimpan ponselnya setelah penggilan tadi berakhir menyisakan mata tajam meneliti Tae Woo dengan serius. "Kembalilah ke ruanganmu, Kak. Kau di sini mengganggu waktuku jujur saja," celetuk Tae Woo sebab dia sedikit tidak nyaman dengan apa yang Hoo Sik lakukan padanya.
Pria itu memilih keluar tanpa bicara waaupun dia juga kelelahan mennadi kakak yang baik untuk Kim Tae Woo hari ini. Tae Woo menyalakan laptopnya untuk mulai melakukan meeting, walaupun kali ini dengan seorang pengusaha sekaligus pengacara Kim Tae Woo sudah sangat berteman baik dengan pria itu.
Meeting berjalan cukup cepat dan dengan pembicaraan yang santai, Tae Woo merasa nyaman dan mulai menyelam pada pekerjaannya sampai pada jam makan malam.
Makan malam datang, Hoo Sik selalu memesankan makan siang dan makan malam untuk Tae Woo setiap harinya. Selain menjadi penanggan jawaban perusahaan ini Jung Hoo Sik juga sudah menjadi tangan kanan Tae Woo dan orang kepercayaan orang tua Tae Woo.
Apapun yang terjadi, dan apa saja masalahnya Hoo Sik tahu penyelesaiannya. "Terimakasih makan malamnya, paman." Tanpa membiarkan makanannya dingin Tae Woo baru akan memulai makannya namun ponselnya berdering.
Kali ini seseorang menelfonnya lagi.
Masih dengan suara yang seperti sebelumnya juga. "Maaf." Indra pendengaran Tae Woo benar-benar diuji dengan suara lirih itu. "Maafkan aku, Kak." Namun pria itu masih membeku di tempat tanpa jawaban.
Dia diam, tapi dia mendengarkan. "Apa aku kurang mengerti dirimu?" tanya Tae Woo saat suara dari yang menelfonnya mulai hilang.
"Aku hanya--" Tanpa memberi kesempatan untuk menjawab, biarkan untuk kali ini Tae Woo memberi peringatan sedikit tegas pada pria itu.
"Hubungan ini ada hanya karena aku dan kau saling mencintai, kenapa sekarang kau harus perduli pada orang lain?" tanya balik Tae Woo dengan mempertegas suaranya.
"Bukan maksudku seperti itu," balasnya. "Tapi kau melakukannya." Tae Woo sedikit menggertak pria itu sebab dia tidak ingin masalah terjadi lagi.
"Kak, kau sudah menyetujuinya sejak awal. Dan kau juga mau mengikuti apa yang sudah kita sepakati bersama, kenapa sekarang kau berubah pikiran?" tanya pria tadi kembali menanyakan hal yang dama pada Tae Woo.
"Apa kau pikir ada pria yang bisa bertahan sampai sejauh ini hanya dengan hubungan tidak sehat seperti ini, Kim Jung Ki?" tanya Tae Woo merasa butuh mengganti nama marga keluarga Jung Ki karena pria itu masih egois dengan caranya sendiri.
"Ku beri satu pertanyaan untuk hari ini," ucap Tae Woo lagi membuat pria kecil itu hanya bisa menghela nafasnya berat dan mulai kewalahan sebab pria yang sedang bersamanya terlihat sedang memanggil-manggil namanya.
"Kak, sepertinya aku harus kembali bekerja," jawab Jung Ki seakan-akan menjelaskan jika pria itu masih berat sebelah dengan pilihannya. Dia masih tidak bisa membagi dengan imbang antara hubungan percintaannya, egonya, dan pekerjaan yang membuatnya hidup layaknya orang normal pada umumnya.
"Jung Ki, apa kau akan terus menomor satukan 'pria itu' daripada aku yang sudah jelas-jelas siapa aku di dalam hidupmu?" Jung Ki terdengar menghela nafasnya berat, disatu waktu yang mendesaknya untuk kembali berbicara dan satu waktu memaksanya untuk mengakhiri pangggilan ini, Jung Ki memilih egois sedikit lagi.
"Aku tahu aku salah."
"Kita sudah membahasnya sebelumnya, aku tahu kau tidak akan pernah merasa cemburu dengan Kak Ji Min juga. Tapi hubungan kita tidak bisa ditunjukan pada siapapun, biarkan hanya kita saja yang tahu dan merasakannya saja." Jung Ki mengatakannya seperti itu, namun Tae Woo lagi-lagi harus tetap mengalah dan terus menerima kenyataan pahit itu.
"Aku mencintaimu," ucap Tae Woo mematikan sambungan telefonnya secara sepihak.
"Tapi kau tidak tahu menderita apa saat aku mencintaimu," sambung Tae Woo lagi setelahnya. Tangan berurat dan kokoh itu memilih mengambil sumpit untuk memakan makan malamnya dalam diam.
Terimakasih telah membaca.
Anda mungkin juga menyukai
Komentar Paragraf
Fitur komentar paragraf sekarang ada di Web! Arahkan kursor ke atas paragraf apa pun dan klik ikon untuk menambahkan komentar Anda.
Selain itu, Anda selalu dapat menonaktifkannya atau mengaktifkannya di Pengaturan.
MENGERTI