Ravi tersentak bangun karena batuk hebat yang dia alami. Dia melihat bagaimana darah berwarna merah pekat telah keluar mengotori tangannya. Dadanya terasa sakit bahkan hanya untuk meraup oksigen yang dia perlukan.
"Ravi?" Raymond dengan sigap langsung menyerahkan segelas air ke arahnya yang di minum Ravi hingga tandas, tak hanya itu Raymond tanpa di suruh meraih tangan Ravi yang terkena noda dan membersihkannya dengan selimut. Ravi meringis mengetahui itu.
"Sudah berapa lama aku tertidur?" tanya Ravi melihat ke jendela yang masih terang di luar sana.
"Tiga jam," jawab Raymond cepat.
"Apa yang kamu lakukan?"
Raymond menjauhi pandangannya dan dia tidak menjawab apa-apa. Membuat Ravi dengan hati-hati bertanya kembali di sela-sela tarikan napasnya yang mulai teratur. "Apa yang kamu lakukan?"
"Melihat Ravi." Pada akhirnya Raymond menjawab dengan takut-takut, sementara Ravi sendiri tidak tahu untuk menanggapi apa-apa.
"Ravi, bisakah kita pergi menemui Daniel?" Raymond tiba-tiba saja bertanya mengenai hal itu, dia menatap Raymond dengan alisnya yang hampir menyatu.
"Atas dasar apa?" tanya Ravi.
"Mengobati Ravi, hanya dia yang bisa melakukannya. Ini akan semakin memburuk."
Ravi menepis tangan Raymond ketika pria itu hendak menyentuhnya. "Jangan pernah berpikir untuk melakukannya. Seberapa parahnya itu terjadi padaku di kemudian hari, aku tidak akan pernah membiarkan Daniel melakukannya."
Ravi mengatakan hal itu dengan sungguh-sunngguh, tidak bisa memepercayai Daniel lagi. Dia mungkin tidak mengerti bagaimana proses ini bisa terjadi hanya karena tamparan menyakitkan itu hingga menyebar kesekujur tubuhnya. Namun, yang jelas bahwa Daniel pastilah mengetahui akibatnya dan Ravi yakin walaupun Raymond tidak ingin memberitahu tentang siapa Daniel sebenarnya Ravi tahu bahwa Daniel sama seperti Raymond. Juga hal itu dibuktikan dengan Daniel yang mengenal sosok Adrian.
"Mengapa Ravi? Aku tidak bisa membiarkan Ravi seperti ini?"
"Jika kamu membahas tentang ini lagi, sebaiknya kamu pergi dan tinggalkan aku sendiri. Jangan pernah menemuiku lagi."
Raymond duduk gelisah dengan banyaknya gerakkan yang dia buat, ketika Raymond hendak membuka mulutnya memprotes apa yang Ravi katakan. Ravi segera bangkit berdiri untuk menghentikannya berbicara bagaimanapun juga Ravi tidak ingin mendengar apapun tentang Daniel lagi.
"Baik Ravi, aku tidak akan melakukannya lagi. Maaf."
Ravi berbalik untuk menghadap Raymond dan berkata, "Dengar Raymond, aku tidak pernah memaksamu untu bersamaku. Jika kamu ingin pergi maka pergilah, aku tidak akan menahanmu."
Raymond ikut bangkit berdiri menjadi lebih gelisah lagi, kepalanya menggeleng keras menepis apa yang Ravi katakan, "Tidak, Ravi. Aku tidak akan pergi, aku ingin selalu bersama Ravi."
Mendengar itu, Ravi hanya bisa menghembuskan napas kasar, dia membuat rencana untuk melakukan sesuatu setelah ini karena Ravi tidak bisa diam saja di sini.
"Ravi, bisakah aku mengatakan sebelumnya lagi. Ini akan menjadi yang terakhir."
Ravi kembali diusik ketika dia hendak memasuki kamar mandi mereka. "Katakan."
"Ravi sebenarnya, memang bahwa aku ingin membuat Ravi sembuh karena itu satu-satunya jalan. Tapi dibandingkan untuk membawa Ravi padanya, aku lebih ingin membalas atas apa yang dia lakukan pada Ravi. Aku tidak pernah bisa tenang ketika mengingat kejadian itu ada di kepalaku dan sangat menyesali karena aku tidak bisa bergerak cepat untuk menahannya."
Ravi mendengarkan semuanya, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa dan memilih untuk masuk ke dalam kamar mandi meninggalkan keheningan tidak nyaman di belakangnya.
***
Ravi pada akhirnya untuk sementara ini bisa lepas dari Raymond. Dia butuh untuk pergi keluar sendiri. Memang kota ini tidak akrab baginya, pertama kali bagi Ravi mengunjungi serta langsung tinggal di sini. Kota kecil yang Ravi pilih secara acak, tidak pernah dia pikirkan sebelumnya.
Dia mengenakan masker yang menutupi sebagian wajahnya, Ravi tidak memiliki berkas-berkas kelulusan kuliah atau sekolahnya dan hanya akan mencari pekerjaan secara acak yang dapat dia temukan di sini untuk sementara. Setidaknya untuk membiayai hidup mereka berdua di sini terlebih dahulu selama beberapa minggu ke depan dan dia akan memikirkan rencana selanjutnya.
Mencium aroma roti di udara membuat Ravi tergoda untuk masuk ke dalam sebuah toko yang dipenuhi roti panas pada etalase mereka. Dia melihat sekeliling bagian dalam bangunan itu dan merasa tiba-tiba menyukainya, makanan manis menjadi satu-satunya makanan kesukaan Ravi, membuat dia bisa sejenak melepas beban yang ada di pundaknya.
Ravi melihat etalase-etalase di mana roti-roti mengkilap berpoles mentega itu terhidang menggodanya. Namun, dia akhirnya menghentikan langkahnya untuk menjelajah lebih jauh lagi atau bisa saja Ravi akan menghabiskan uang tersisa di dompetnya untuk banyak roti-roti itu. Dia mengambil dua roti isi cokelat ukuran sedang kemudian beranjak dari sana menahan dirinya untuk tidak menoleh ke belakang.
"Dua roti cokelat?" Penjaga kasir itu bertanya pada Ravi dan dijawab dengan anggukan sekenanya. "Ravi? Apakah itu kamu Ravi?"
Ravi mengangkat wajahnya untuk meliha pria yang melayaninya ini tengah memandangnya ingin tahu. "Liam?"
"Iya, ini aku Liam. Bagaimana kamu bisa berada di sini Ravi?" Ravi pun tidak meyangka akan menemukan tetangga serta temannya berada di kota kecil ini seolah-olah dunia memang sesempit itu. Namun, bersama Liam selalu merasa canggung baginya apalagi setelah mendengar pria ini mengatakan ketertarikannya pada Ravi.
"Aku hanya memerlukan sedikit hiburan," jawab Ravi setengah tersenyum. "Bagaimana denganmu?"
Pria berambut cokelat itu sejenak menatap sekeliling yang hanya ada Ravi untuk sementara sebagai pembeli, Liam kembali memfokuskan pandangannya pada Ravi. "Apakah kamu kabur dari rumahmu?"
Untuk sepersekian detik mata Ravi melebar dan dia tahu ini akan terjadi, lebih baik mengatakannya. "Benar, aku harap kamu tidak membicarakan keberadaanku pada orangtuaku dan juga Daniel."
Ada ekspresi aneh yang melintas di wajah itu kemudian menghilang dengan cepat digantikan dengan sebuah sebuah senyuman tipis. "Tidak, tentu saja tidak. Itu bukan menjadi urusanku dan aku tidak ingin ikut campur."
Mereka terdiam sejenak lantas Ravi berucap, "Terima kasih. Aku terkejut bahwa kamu juga berada di daerah ini, apa yang kamu lakukan?"
Senyum Liam melebar, mata itu kembali berkeliling singkat pada ruang tokonya yang penuh dengan roti dan jatuh kembali pada Ravi. "Aku sudah lama ingin memiliki sebuah toko roti di masa depan dan akhirnya aku mendapatkannya. Sebenarnya keluargaku tidak mendukung sama sekali dengan langkah yang aku ambil ini, jadi aku pergi ke sini dan melakukannya."
"Itu bagus." Ravi tersenyum, walaupun Liam hanya bisa melihat matanya. Dia sendiri bahkan lupa apa yang seharusnya bisa lakukan untuk masa depannya, mungkin dia dahulu mempunyainya, tetapi dia hanya terlalu malas untuk melakukan sesuatu.
"Apa yang kamu lakukan?" Ravi mengangkat alisnya mendengar pertanyaan dari Liam.
"Aku berkeliling sebentar kalau-kalau ada pekerjaan yang bisa aku lakukan dan aku teralihkan untuk sementara oleh bau-bau rotimu," ucap Ravi yang mulai santai.
Liam tersenyum. "Jika kamu mau, kamu bisa di sini. Aku hanya berdua dengan Luna, itu jika kamu mau."
Ravi berdiri tegak dengan antusias. "Benarkah?"
Liam tertawa renyah. "Tentu saja."