Unduh Aplikasi
12.09% Ratu Sejati / Chapter 15: Tidak Bisa Mundur

Bab 15: Tidak Bisa Mundur

Pemandangan dua orang wanita yang tengah sibuk merencanakan menu apa saja yang akan ada pada acara perayaan ulangtahun pekan depan membuat Adhinatha tidak bisa berkata-kata. Dirinya jelas tidak menyangka akan semudah itu Regina membaur dengan ibunya. Dia tidak menyangka kalau ibunya akan semudah itu dekat dengan orang baru. Memang, Ayu itu orang yang ramah dan pandai berbasa-basi. Tapi Adhi jelas tau kalau

kedekatan ibunya dengan Regina bukan sekedar basa-basi. Regina benar-benar diterima, seperti anak sendiri. Buktinya? Banyak. Salah satunya adalah ajakan Ayu untuk ke salon langganannya. Ibunya bukan tipe orang yang mudah pergi ke salon dengan orang asing, soalnya.

"Kenapa dengan wajahmu?" teguran dari suara berat di sebelahnya membuat Adhi yang sejak tadi bersandar pada meja bar sontak menegakkan punggungnya.

"Eh, Ayah."

Aryasatya menoleh, ikut melihat pada arah pandang putranya dan langsung menemukan pemandangan istrinya dengan calon anak menantunya itu.

"Kenapa? Iri, ya? Ibumu punya kesayangan baru, sekarang." Arya memberi tatapan meledek membuat putranya itu kian sebal.

"Kenapa aku harus iri? Aku anaknya sedangkan wanita itu bukan."

Pria paruh baya itu terkekeh. "Memangnya kalau kamu anaknya dan dia bukan, bisa menutup kemungkinan dirinya akan lebih disayang? Tidak, 'kan?"

"Ayah … bisa tidak, sih, jangan mengomporiku terus?" Kalimat dengan nada kesal juga tatapan yang mendelik jengkel benar-benar mampu menghibur Arya. Pria usia enam puluh satu tahun itu bahkan tidak bisa membendung rasa ingin tertawanya. Alhasil, tawa riuh itu terdengar dan sempat menarik perhatian dua orang wanita yang tengah duduk di sofa dan asyik dengan katalog itu mendongak dengan alis terangkat.

Mengibaskan tangan, menyuruh dua wanita itu tidak perlu memperdulikan dirinya, Arya kembali menatap putranya dengan tatapan geli.

"Kamu itu persis seperti ayah dulu. Ibumu juga sama seperti Regina. Sangat disayang oleh kakek-nenekmu bahkan saat pertama kali dia datang ke rumah. Dan ayah jelas tau bagaimana perasaanmu sekarang."

"Jangan sok tahu, Yah."

Arya mengusap sudut matanya yang berair. "Bukan sok tahu. Ayah memang tahu, kok."

"Dan aku tidak penasaran sama sekali akan hal itu."

Bukannya jengkel mendengar nada kesal putranya, Arya lagi-lagi tergelak.

"Bersyukurlah karena kamu memiliki calon istri yang sangat diterima di sini, Dhi. Di luar sana banyak yang rumah tangganya runyam karena ibu dan istrinya tidak pernah akur apalagi cocok."

***

Regina tersenyum mendengar bagaimana wanita di depannya itu bercerita dengan penuh semangat tentang pengalaman wanita itu sekolah chef dulu. Regina juga suka memasak sebenarnya. Tapi dia tidak punya waktu untuk menekuni minatnya itu. Dia terlalu sibuk menjalani kehidupan lurus yang sudah dirancang sedemikian rupa untuk menjadi penerus keluarga dan penerus perusahaan sementara hingga dirinya menikah dan adik lelakinya sudah matang dipersiapkan sebagai seorang pimpinan. Jangankah untuk menekuni hobi, bersenang-senang seperti remaja pada umumnya saja dia tidak punya waktu.

"Paris memang sesuatu." Kalimat itu menjadi penutup dalam cerita perjalanan sekolah memasak ibu anak satu itu yang benar-benar membuat Regina iri.

"Lain kali kita memasak bersama, ya? Ada resep yang ingin ibu tularkan sama kamu, Sayangaa." Regna mengangguk antusias dengan senyum lebar.

"Sepertinya sudah cukup larut. Kamu mau menginap di sini, Nak?" tawar Ayu membuat Regina refleks menggeleng pelan.

"Gina harus berangkat pagi untuk ke kantor, Bu. Kalau Gina menginap dan pulang besok pagi-pagi, Gina tidak yakin bisa sampai kantor tepat waktu."

"Kamu selalu sampai di kantor tepat waktu? Seperti jam kerja karyawan pada umumnya?"

Regina mengangguk yakin. "Kami sama-sama bekerja di sana, Bu. Tentu saja aku perlu mengikuti aturan di sana."

"Tapi kamu 'kan putri dari pemilik perusahaan, Nak. Bahkan sekarang pun posisimu sudah menjadi bagian dari jajaran pimpinan, 'kan?" Menggaruk pelipisnya, Regina hanya mengangguk sekenanya.

"Justru itu Gina perlu on time. Biar bisa jadi contoh untuk karyawan lain."

Ayu geleng-geleng kepala mendengar itu. Dia makin menyukai perempuan ini. Cara berpikirnya benar-benar menakjubkan, dia menyukai itu sangat dan kian yakin untuk menyukseskan rencana perjodohan itu.

"Baru ngobrol beberapa jam saja ibu sudah sangat menyukaimu, Nak.Ibu tidak sabar menjadikan kamu menantu di keluarga ini."

Jika wanita pada umumnya akan senang mendengar kalimat semacam itu, Regina justru lain. Dia justru takut. Entah untuk alasan apa, dia tidak mengerti.

Mungkin akan rencananya yang berniat menjalani kehidupan pernikahan yang lain dari seharusnya? Atau rencana untuk menunda momongan sampai waktu yang ditentukan karena berjaga-jaga mereka akan berpisah entah di usia pernikahan ke berapa? Regina tidak yakin. Yang jelas perasaan buruk itu masih bercokol di dadanya bahkan saat dirinya sudah duduk di kursi penumpang bersebelahan dengan Adhinatha yang mulai menyalakan mesin mobilnya.

"Kenapa dengan wajahmu?" tanya pria itu seraya memundurkan kendaraanya, memutar setir dan mengubah arah mobilnya. Regina tidak menjawab pertanyaan Adhi. Dia justru membuang muka, menatap ke luar jendela dan membiarkan Adhinatha yang menggerutu karena diabaikan.

Sepanjang jalan wanita itu terus saja terpikirkan akan perjanjian yang dia sepakati dengan Adhinatha. Sepanjang jalan, dia terpikirkan rencananya yang ingin menjalani pernikahan itusesuka hati. Di pikirannya dia kalut.

Hingga akhirnya mobil itu sampai di pekarangan rumah keluarga Atmadja dan mesin mobil dimatikan, Regina akhirnya menoleh menatap Adhinatha yang juga menunggunya berbicara.

"Apa kita harus melakukan ini, Dhi?"

"Apa maksudmu?" tanya Adhinatha tidak mengerti.

"Rancangan pernikahan kita," ujar wanita itu pada akhirnya. "Kamu masih ingin melanjutkan pernikahan dengan rules yang kita buat sendiri itu? Aku sepertinya tidak bisa."

Rahang pria itu mengeras. "Kenapa tidak bisa?"

"Memang kamu bisa?" Regina menatap Adhi dengan tatapan penuh keraguan. "Aku pikir pernikahan seperti yang kita sepakati tidak akan mereka setujui, Dhi."

"Yang menjalaninya kita,'kan?"

"Tapi …."

"Kamu sudah mengatakan sepakat, Regina." Adhinatha memperingatkan walau jelas itu tidak perlu. Regina masih ingat. Dengan sangat jelas wanita itu ingat bagaimana dirinya menyepakati itu semua. Dan karena itulah, dia menyesal. Dia merasa sudah mempermainkan pernikahan dengan merencanakan hal itu. Dan terlebih lagi, Ayu seperti menaruh banyak harapan pada mereka.

Bertemu dan diterima dengan baik, Regina jelas tidak menyangka akan mendapatkan itu semua. Ini terlalu banyak dan murni, Regina jadi merasa bersalah harus membohongi mereka kalau sampai pernikahan ini diteruskan. Dia takut mengecewakan.

"Jangan mundur. Kita tidak punya kesempatan untuk mundur." Kalimat itu terlontar begitu tegas dari bibir pria itu.

"Apapun yang terjadi, tetaplah berpegang pada rencana awal , Regina."

"Tapi …."

"Jangan pernah berpikir untuk mundur. Karena jika kamu nekat melakukannya, ibu pasti akan sangat kecewa denganmu."

"Tapi, Dhi—"

"Tidak ada tapi, Regina. Kita sudah sepakat melakukan ini. Ibaratnya kolam, kita sudah nyebur. Tidak ada jalan putar balik. Kita hanya perlu mengikuti arus saja dan melanjutkan perjalanan."


Load failed, please RETRY

Hadiah

Hadiah -- Hadiah diterima

    Status Power Mingguan

    Rank -- Peringkat Power
    Stone -- Power stone

    Membuka kunci kumpulan bab

    Indeks

    Opsi Tampilan

    Latar Belakang

    Font

    Ukuran

    Komentar pada bab

    Tulis ulasan Status Membaca: C15
    Gagal mengirim. Silakan coba lagi
    • Kualitas penulisan
    • Stabilitas Pembaruan
    • Pengembangan Cerita
    • Desain Karakter
    • Latar Belakang Dunia

    Skor total 0.0

    Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
    Pilih Power Stone
    Rank NO.-- Peringkat Power
    Stone -- Batu Daya
    Laporkan konten yang tidak pantas
    Tip kesalahan

    Laporkan penyalahgunaan

    Komentar paragraf

    Masuk