"..Mana ponselmu?" Sela Arka cepat sambil mengulurkan tangannya ke arah Elise sebelum Elise sempat mengeluarkan makiannya, untuk kakaknya.
Elise tampak ragu-ragu. Dia menatap kakaknya sekilas. Lalu akhirnya menyerahkan ponselnya pada Arka. Kakaknya dengan cepat mengambil ponsel itu, mulai mengotak-atik isinya.
"Ah, ternyata dugaanku salah kali ini.." keluh Arka tidak jelas sambil menyerahkan kembali ponsel yang sudah di geledahnya pada Elise.
"Memangnya kakak mencari apa?" Tanya Elise tidak mengerti.
"Aku berpikir kalau kau menyimpan foto laki-laki yang mungkin baru saja kau kenal itu di ponselmu. Tapi, ternyata aku salah. Kau masih menyimpan foto itu di ponselmu.?"
Elise merengut, mengambil ponselnya dari tangan kakaknya, meletakkannya di sampingnya dan lanjut menyuapi sarapan ke dalam mulutnya. Sebenarnya dia memang memiliki pemikiran itu, mengambil foto Arion dan membandingkannya dengan foto Arsen. Tapi beruntung dia tidak melakukannya. Jika tidak kakaknya yang lagi gila gosip itu akan semakin menggila.
"Kenapa kau masih menyimpan foto itu?" tanya Arka datar "Bukankah selama ini kalian tidak pernah lagi saling komunikasi? Mungkin dia sudah melupakanmu, atau tidak pernah memikirkanmu lagi. Kau bilang kau sudah mengecewakan nya, bukan? Tanggung jomblo kenapa kau masih menyimpan fotonya." Tambah Arka lagi.
Elise terdiam. Dia menunduk menatap taplak meja yang berwarna uning keemasan, lalu bergumam pelan. "Untuk mengingatkan aku, kalau aku pernah mengecewakannya."
Arka mendesah "Aku tidak bermaksud untuk ikut campur dalam masalahmu, Elise. Tapi sebagai kakakmu aku juga tidak mungkin membiarkanmu seperti ini terus. Aku tidak ingin kau terus-terusan sedih dalam perasaan itu. Dia itu masa lalumu dan kau juga sudah mengecewakan nya, sebaiknya kau tidak harus mengingatnya terus-menerus, bukan?".
Elise tidak menjawab.
"Lupakan dia Elise.. aku yakin kau pasti bisa. Lagi pula pria yang kita jumpai kemarin itu sepertinya menyukaimu.."
"Menyukai dengkulmu!" gerutu Elise.
"Tapi, setidaknya lupakanlah masa lalumu.. kau harus bahagia.."
Elise tetap tidak menjawab. Tapi dia menggeleng.
Arka kembali mendesah "Kau selalu begini, kau terlalu di butakan oleh perasaanmu padanya. Apa kau akan terus-menerus seperti ini?".
Sebutir air mata jatuh bergulir dari sudut mata Elise. Mengalir di pipinya dan jatuh ke atas meja.
"Aku sudah berusaha melupakannya, aku juga sudah berusaha melupakan semua perasaanku padanya. Tapi..." Elise menghela napas, dia terisak. Lalu melanjutkan "Rasa cintaku padanya terlalu besar, dan sepertinya aku memang tidak akan pernah mampu melupakannya.."
"Bodoh.." gumam Arka ringan.
"Aku memang bodoh. Bodoh karena terlalu mencintainya dan membiarkan rasa cinta itu menyiksa batinku! Padahal jelas aku tahu, perbedaan antara kami begitu jauh, kakak benar mungkin dia tidak pernah memikirkan ku lagi, tapi aku tetap seperti ini, aku bisa apa? Cintaku padanya tidak bisa di hapus begitu saja.."
Arka tidak menjawab. Dia bingung untuk berkata seperti apa kalau Elise sudah berkata seperti itu.
"Tapi aku akan tetap berusaha untuk melupakannya, kakak. Kau tenang saja aku akan terus mencobanya."
Arka mengangkat wajahnya, menatap lurus ke wajah Elise yang sudah di banjiri air mata. "Kakak akan selalu membantumu.." sahutnya lalu mengambil tisu dan menyodorkannya kepala Elise "Jangan menangis lagi, nanti kau tersedak!"
Elise mengambil tisu yang di sodorkan kakaknya padanya, menyeka air matanya, lalu mengangguk. Cara kakaknya menghiburnya selalu aneh. "Terima kasih, kakak.."
"Nanti kau akan menemani ku ke taman bermain, bukan?" Elise mengalihkan pembicaraan dengan suaranya yang sengau.
"Kau serius akan menemuinya?" tanya Arka kaget.
"Siapa yang membuat masalah sebelumnya!" protes Elise sambil mengelap hidungnya dengan tisu.
Arka terdiam sejenak kemudian mengangguk tegas "Bukankah kau yang membuat semua ini terjadi? Lagi pula kau sudah berjanji padanya. Jadi, mau tidak mau kau harus menemuinya."
"Tapi kakak yang berjanji lebih dulu!" kata Elise tidak mau kalah.
"Tapi kau tetap menerimanya, bukan?" goda Arka.
Elise merengut "Bagaimana lagi, apa aku punya pilihan sekarang! Tidak kan! Pokoknya kakak harus pergi bersamaku!"
Arka mengangguk pasrah "Baiklah, sesuai keinginan mu! Aku harap pertemuan pertama ini membuahkan hasil.."
"Apa maksud kakak!" Elise tidak mengerti.
"Nanti kau juga pasti tahu.." jawab Arka pendek.
****
"Kami berdua turun di sini saja pak." Kata Elise pada sopir taksi yang dia dan Arka tumpangi. Mobil Arka tiba-tiba mogok dan di derek masuk bengkel, sedangkan mobilnya...dia tidak ingin memakainya dengan alasan, mobilnya itu terlalu mencolok. Jadi, mereka harus naik taksi untuk pergi ke taman bermain.
"Berapa ongkosnya ?" tanya Arka.
"Anda cukup membayarnya sesuai dengan yang tertera di argo.." jawab sopir itu sopan.
Arka mengeluarkan beberapa uang kertas dari dompetnya dan menyerahkan nya kepada sopir taksi itu lalu mengajak Elise keluar dan melangkah menuju pintu masuk bermain.
Jam 10 pagi itu. Arka menemani adiknya Elise untuk bertemu Daniel, laki-laki yang mereka temui di kedai cumi pedas manis kemarin. Sebenarnya Elise terlihat sangat tidak mau pergi tapi dia memaksanya dan di sinilah mereka sekarang.
"Kakak.. tiba-tiba aku menjadi tidak yakin dengan semua ini.." kata Elise terlihat gugup "Kita pulang saja, yuk! Sepertinya aku masih belum siap ." tambahnya lagi dengan wajah memelas sambil menarik-narik lengan baju Arka.
"Elise.. bukankah kau yang memaksaku untuk ikut datang ke sini, hingga aku terpaksa membatalkan janji ku pada Rian. Kau harus berani, kalau tidak sekarang kapan lagi? Kau sudah bilang akan berusaha melupakannya bukan? Mungkin dengan cara ini kau bisa melupakannya meskipun tidak secepat yang di harapkan. Lagi pula kau ini aneh sekali. Ayo kita baru saja sampai. Masa secepat itu langsung pulang. Sudah kau jangan seperti anak kecil begini, malu tahu.." sahut Arka tidak peduli dengan ekspresi wajah Elise yang sudah seperti anak ayam kehilangan induknya.
"Tapi, kak.."
"Daniel!" panggil Arka cepat pada laki-laki yang sedang berisi di depan pintu masuk taman bermain itu. Dan sebelum Elise sempat merengek-rengek seperti bayi yang minta di beri susu. Arka langsung menyeretnya mendekat ke arah Daniel.
Elise mengkeret, tubuhnya meleleh bagaikan lilin. Dia tidak tahu kenapa perasaannya sangat aneh, padahal sebelumnya mereka pergi ke toko baju dan berbelanja bersama-sama. Tapi bukan Daniel yang membuatnya tidak nyaman, ada sesuatu yang dia sendiri tidak tahu.
"Arka! Elise, apakah kita terlalu pagi?" sapa Daniel tersenyum ramah dengan seulas senyum tersungging di bibirnya.
Untuk sesaat Elise terpesona oleh wajah tampan Daniel, apakah sebelumnya laki-laki itu memang setampan itu. Rasanya dia tidak melihat ketampanan Daniel sebelumnya.
"Selamat pagi, Daniel. Tidak! Kita datang di waktu yang tepat! Lagi pula tamannya juga sudah di buka, bukan?" balas Arka tersenyum "Bagaimana kabarmu..?"
"Seperti yang kau lihat, aku sangat baik.." jawab Daniel ringan "Kau sendiri..?"
"Sama, aku juga baik.." Jawab Arka pendek.
"Bagaimana denganmu Elise." Daniel beralih pada Elise yang sejak tadi hanya terdiam dan sedikit linglung. Elise tidak menjawab gadis itu terlihat berada di dunianya sendiri.
"Elise adikku sayang.." teriak Arka di telinga Elise membuat gadis itu terlompat kaget.
"Kakak! Kalau aku mati jantungan bagaimana! Kenapa kau berteriak di telingaku? Sakit tahu!" gerutu Elise kesal sambil mengusap-usap telinganya yang masih berdenging karena kerasnya suara Arka. Sungguh tidak di sangka teriakan kakaknya mampu menembus ke otaknya.