Unduh Aplikasi
72.72% LOROLOJO: Lord Rord Lort Journey / Chapter 32: Vol II 6『Pertemuan dengan Malaikat』

Bab 32: Vol II 6『Pertemuan dengan Malaikat』

Kesadaranku perlahan-lahan mulai kembali ... kedua mataku pun mulai berkedip karenanya. Setidaknya, itulah yang kurasa sedang terjadi.

Itu benar, sepertinya aku baru saja tak sadarkan diri untuk waktu yang cukup lama.

Aku tidak bisa memastikan seberapa lama aku sudah tak sadarkan diri karena aku tidak bisa mendengar satu patah kata pun di sekitarku.

Apa mungkin mereka meninggalkanku...? Tidak. Mereka bukanlah orang yang seperti itu.

Aku menyadari tubuhku yang sedang terbaring, menyentuh permukaan yang rasanya asing bagiku.

Ini bukanlah tanah, tapi aku mengabaikannya dan bersikap seperti biasa.

Aku bangun dari permukaan dan duduk dengan menyilangkan kaki.

Aku memikirkan apa yang sebelumnya terjadi.

Itu benar, kami sedang melakukan latihan.

Yah, melawan dua orang yang kekuatannya tidak masuk akal seperti mereka kurasa memang sudah mustahil sejak awal.

Apalagi, mereka adalah orang-orang yang memiliki gelar pahlawan.

Namun, di tengah-tengah latihan, entah mengapa pandanganku menjadi kabur dan pada akhirnya menjadi lemas sampai tak bisa menggerakkan tubuhku sama sekali.

Kalau kupikir-kupikir, aku tidaklah selelah itu sampai bisa-bisanya pingsan di tempat.

Lalu, apa yang sebenarnya terjadi...?

Saat aku memikirkannya, aku tiba-tiba saja tersadar akan sesuatu yang membuatku sangat terkejut.

Tempatku sadarkan diri bukanlah guild, rumah sakit atau semacamnya.

Melainkan sebuah tempat yang benar-benar sangat asing bagiku.

Apa ini adalah surga...?

Ini terasa mirip dengan situasi yang terjadi padaku saat dipanggil ke dunia ini.

Di mana saat itu ruangan yang penuh dengan kegelapan seperti alam semesta dengan pemandangan indah bintang-bintang luar angkasa.

Namun, kali ini berbeda.

Pemandangan yang dapat kulihat adalah ruangan yang penuh dengan cahaya berwarna putih serta emas yang dapat menyejukkan mata bagi siapapun yang melihatnya.

Dan juga, aku tidak merasakan sensasi jatuh yang selalu kurasakan saat berada di ruangan gelap itu.

Ke manapun aku melihat, hanya cahaya-cahaya, kilauan-kilauan, dan kabut asap berwarna putihlah yang dapat dijangkau kedua mataku.

Aku segera beranjak dari dudukku sepersekian detik setelah aku menyadarinya.

Kebingungan ini membuatku sedikit berkeringat.

Suara dari langkah kaki suatu sosok pun terdengar dari arah belakangku.

Dengan spontan, aku pun berbalik untuk mengecek.

Aku masih belum bisa melihatnya dengan jelas karena asap putih yang menutupi dirinya, tapi aku dapat melihat bentuk dari semacam sayap yang sepertinya merupakan milik dari sosok tersebut.

Sayap itu ia kepakkan dan dapat terlihat dengan jelas oleh mataku yang fokus akan bagian tersebut.

Kabut putih yang menutupi sosok tersebut pun perlahan mulai menghilang.

Kini, aku akhirnya dapat dengan jelas melihat sosok sejati pemilik sayap tersebut.

Sosok yang sedang berjalan untuk mendekatiku itu adalah seorang gadis. Gadis berambut pirang yang rasanya mirip ... tidak, tapi sama dengan seseorang.

Rambut pirangnya itu panjang dengan gaya rambut bak kumis yang melebar ke samping masing-masing sisi telinganya.

Hanya dengan melihatnya saja aku bisa langsung tahu, jika rambut pirang panjangnya tersebut sangatlah halus dan lembut.

Pakaian yang ia pakai terlihat mirip seperti Aladdin, hanya saja, letak perbedaannya adalah ia memakai rok pendek berwarna biru kehijau-hijauan dan celana Aladdin berwarna putih tersebut lebih terlihat sebagai aksesoris layaknya kaus kaki daripada dibandingkan dengan celana.

Di lehernya, ia memakai semacam syal putih dengan gaya musim dingin meskipun ini masih belum waktunya.

Dari posisi sekaligus sudut ini, aku dapat melihat perut dan pusarnya dengan jelas karena model pakaian yang ia pakai tidak menutupinya.

Melihat gadis tersebut, aku mengingat hal yang terakhir serta pertama kali aku lihat saat aku pingsan dan bangun.

Itu adalah ... wajah cantik dan rambut pirang miliknya.

Wajah khawatir yang ia pasang dan senyuman sosok yang ada di depanku. Aku tidak bisa membedakannya.

Baik itu warna, gaya rambut, wajah, serta pola warna pakaian, entah mengapa semua hal yang ada pada dirinya terasa familiar bagiku.

Namun, dalam satu sisi, entah mengapa aku merasa seperti dituntut untuk tidak mengetahui siapa identitas sebenarnya dari sosok yang sedang berdiri di hadapanku ini.

Kami berdua bahkan belum pernah(?) berbicara dan aku merasa seperti sudah akrab dengannya.

Namun, aku tidak bisa bertingkah seperti itu karena situasi yang mendorong.

Apa-apaan ini...? Apa mungkin ini adalah Deja Vu?

Aku yakin jika diriku pernah bertemu dengannya sebelumnya.

Namun, pertanyaannya, di mana?

"Namaku adalah Supine. Tidak sopan untuk menanyakan nama seseorang sebelum memperkenalkan diri sendiri, apa aku benar?"

Dia tiba-tiba saja memulai pembicaraan.

Itu membuatku sedikit terkejut sehingga tubuhku menjadi sedikit bergetar.

Supine...? Jadi bukan dia, ya...

Ah, gawat. Aku harus meresponnya.

"A--Ah, namaku Lort. Sa--Salam kenal. Dan .... mohon bantuannya...?"

Aku yang masih merasa bingung pun sedikit memiringkan kepalaku untuk meng-ekspresikannya.

Sosok tersebut, Supine, menyadari sikapku yang tidak seperti biasanya dan mengatakan:

"Tidak perlu seperti itu kok, rileks saja, rileks. Kamu bisa bersikap seperti biasanya."

"A--Ah, baik."

Aku menaikkan postur tubuhku dan berdiri tegap.

"Na--Namun, tetap saja, meskipun kau menyuruhku untuk melakukan itu, tapi tentu saja akan sulit bagiku untuk bersikap seperti biasa di hadapan orang yang baru kukena--

"--kamu tidak perlu khawatir soal itu. Aku ingin kamu bersikap seperti biasanya."

"O--Ooh ... baiklah."

Aku tidak terlalu mengerti apa maksud dan tujuannya yang sebenarnya, tapi aku rasa aku akan ikuti saja apa perkataannya.

"..."

Aku diam selama beberapa detik dengan hanya melirik Supine saja dan tidak memulai apapun.

"Yah, bagaimana jika kita duduk terlebih dahulu saja? Dengan begitu, mungkin kamu bisa menghilangkan rasa gugupmu itu. Yah, meskipun aku merasa sedikit senang karena kamu merasa seperti itu, sih..."

Sebuah kursi tiba-tiba saja muncul tepat di belakang kami.

Itu tidak terlalu membuatku terkejut, mungkin itu dikarenakan ia sudah mengatakannya lebih dulu.

Aku pun duduk di kursi tersebut dengan segera.

"..."

Lagi-lagi, aku tidak mengatakan apapun dan hanya berpikir dalam imajinasiku saja.

Ca--Canggung sekali...

Tidak, kurasa hanya diriku sajalah yang berpikir seperti itu.

Aku bisa berpikir seperti itu karena senyuman gadis yang ada di hadapanku terkesan ramah dan tulus.

Itu terlihat seperti ia sudah menunggu momen ini sejak lama.

Seakan-akan dia ingin menghabiskan waktunya dan bersantai-santai ria dengan orang yang sedang bersamanya.

Melihat senyuman gadis cantik seperti dirinya secara langsung membuatku semakin gugup, aku pun mencoba untuk mengalihkan fokusku.

Pandanganku sampai ke sayap putih keemas-emasannya.

Aku tidak tahu jika ini hanya perasaanku saja atau semacamnya, tapi sayapnya terlihat seperti sedikit tembus pandang.

Satu-satunya perbedaan yang kurasakan hanya dengan melihat penampilannya mungkin hanyalah kedua matanya yang berwarna emas serta sayap pada punggungnya.

Sayap tersebut berukuran cukup besar dan berwarna putih keemas-emasan.

Aku beralih ke tempat lain, rambutnya.

Pirang keemas-emasan. Terlihat indah dan anggun untuk dirinya.

Aku menyadari sesuatu saat melihat bagian atas dirinya.

Sebuah lingkaran ... sebuah halo yang memancarkan warna yang sama dengan rambutnya dapat terlihat tepat di atas kepalanya.

Dengan halo di atas kepala serta sayap putih di belakang tubuhnya, itu membuat dirinya terlihat seperti malaikat...

"He He. Terima kasih ... atas pujiannya."

Supine terlihat seperti baru saja mengetahui sesuatu dan sedikit tertawa kecil setelahnya.

...?

A--Apa? Mengapa dia tiba-tiba berterima kasih begitu...?

Itu sedikit membuatku kebingungan, tapi aku tidak meresponnya karena aku berpikir itu akan jadi aneh jika menanyakannya.

"..."

Supine terus menerus menatap mataku.

Aku tidak membalas tatapan tersebut dan mencoba untuk mengalihkan pandanganku karena itu adalah hal yang normal untuk seorang laki-laki remaja sepertiku dikala sedang terjebak dalam situasi seperti ini.

Situasi di mana kau harus berhadapan secara langsung dengan gadis berparas cantik yang selalu kau idam-idamkan...

Seperti yang kukatakan sebelumnya, pakaian miliknya nampak terbuka, yang membuat aku dapat untuk melihat kulit putih mulusnya itu dengan jelas.

Dalam itu, maksudku adalah bahu, lengan, bagian atas dadanya, pusar, dan bagian bawah rok pendeknya.

Kulitnya ter-ekspos secara langsung dan itu membuat diriku semakin merasa gugup untuk membuat kontak mata.

Namun, dari semua itu...

Aku rasa telinga dan ekor ras hewan akan cocok dengannya...

Supine tersenyum padaku seolah-olah dia baru saja mengingat sesuatu.

"Seperti dirimu sekali."

...?

Apa yang dia maksudkan...?

"A--Anu ... apa yang sebenarnya anda maksudkan...?"

"Sudah kukatakan sebelumnya, kamu tidak perlu formal begitu."

"A--Ah..."

Supine mengangkat tangannya ke atas dan menjelaskan maksud dari perkataannya:

"Baru saja, kamu berpikir jika diriku akan terlihat cocok dengan telinga serta ekor dari ras hewan, bukan?"

E--Eh? Bagaimana dia bisa mengetahuinya...?

Apa mungkin aku kelepasan?

Tidak, aku rasa aku bukanlah orang yang seperti itu.

"Sekarang, kamu sedang membuat pertanyaan dan mencoba untuk mencari jawabannya sendiri di dalam pikiranmu, apa aku benar?"

"Ba--Bagaimana kau bisa mengetahuinya?"

Aku beranjak dari dudukku dan berdiri mencoba untuk mendekatinya.

"Akhirnya kamu menatap mataku secara langsung..."

Setelah ia mengatakannya, aku langsung mengalihkan pandanganku dan kembali menghindari kontak mata dengannya secara langsung.

"Langsung saja ke jawabannya. Itu benar, seperti yang sedang kamu duga-duga."

Biar kutebak, telepati?

"Benar. Yah, sesuatu yang agak mirip dengan itu."

Itu artinya ... semua imajinasiku akan dirinya sudah terungkap sejak awal, ya...

"A Ha Ha ... sayangnya benar begitu."

"Yah, itu sudah terjadi. Biarlah berlalu."

Aku kembali ke kursi dan duduk.

"..."

Supine memasang wajah sedikit kebingungan akan sesuatu.

Aku yang melihatnya ikut merasa kebingungan akan situasinya.

Aku pun bertanya kepadanya:

"A--Ada apa? Apa ada yang aneh?"

"Tidak ... hanya saja, ini sudah lama sekali sampai-sampai aku bisa-bisanya melupakannya."

...?

Aku sama sekali tidak mengerti apa yang ia katakan.

Yah, biarlah.

Namun ... agak menyeramkan juga rasanya jika mengetahui seseorang bisa mengetahui isi pikiranmu begini...

"A--Ah, kalau soal itu, kamu tidak perlu khawatir. Tentu saja aku tidak akan mengintip mengenai sesuatu yang bersifat privasi kok."

"Tidak, tidak, tidak. Dari awal saja, yang namanya mengintip isi hati seseorang itu saja seharusnya sudah bisa melanggar privasi lo..."

"E--Eh? Benarkah itu? Ka--Kalau begitu, aku minta maaf."

Supine beranjak dari duduknya dan membungkuk ke arahku.

Seorang malaikat cantik sedang meminta maaf padaku dengan membungkukkan kepalanya. Sekarang, bagaimana caraku meresponnya?

"Ti--Tidak perlu membungkukkan diri seperti itu, Nona Supine."

Entah mengapa aku merasa aneh saat menyebutnya dengan 'Nona'...

Supine pun kembali duduk ke kursinya setelahnya.

"Namun ... aku tidak menyangka jika seorang malaikat memiliki kemampuan seperti telepati. Bukankah itu terasa curang sekali? Kau jadi bisa mengetahui apapun yang kau inginkan."

"Itu mungkin benar, tapi sisi kebalikannya adalah kamu juga akan bisa mengetahui keburukan seseorang bahkan sebelum kamu mengenali dirinya."

Kata-katanya membuatku terdiam, tidak bisa membalas perkataannya.

Apa bahkan seorang malaikat juga ada yang memiliki sifat buruk...?

Yah, kurasa ada. Tidak ada yang benar-benar baik ataupun buruk di manapun kau berada.

"..."

Aku merasa situasinya menjadi canggung dan mencoba untuk mengalihkan topiknya.

"A--Ah, berbicara soal itu. Apa kamu ini adalah malaikat, Nona Supine?"

"Eh? Emm ... kurasa kamu bisa menyebutnya seperti itu."

Apa yang dia maksud dengan itu?

Malaikat, ya...

Kalau memang malaikat adalah sosok yang rupawan seperti dirinya, kurasa aku akan lebih memilih--

"--a--anu!"

...?

"A--Ada apa?"

"Bisakah kamu menghentikannya? Sejak awal, kamu selalu berpikir seperti itu setiap kali melihatku. Ju--Jujur saja, aku merasa senang. Namun, jika kamu terus melakukannya. Bahkan seorang malaikat seperti diriku masih bisa tersipu."

A Ha Ha ... aku lupa jika dia bisa telepati...

Dan juga, apa barusan dia bilang jika bahkan seorang malaikat masih bisa tersipu malu...?

"A--Ah, mari lupakan itu sejenak dan beralih ke hal lain."

Aku terlalu terbawa suasana sebelumnya sampai-sampai bisa-bisanya melupakan hal sepenting ini.

Aku memasang ekspresi serius dan membuat kontak mata secara langsung kepada Supine yang sedang memasang wajah gadis polos.

"Jadi, sekarang ini kita ada di mana?"

"Sekarang ini, kita ada di alam bawah sadarmu."

"..."

Aku diam sebentar dan memasang wajah bingung karena responnya yang sangat tidak sesuai dengan perkiraanku.

"Ada apa?"

Supine sedikit memiringkan kepalanya dan menanyakan kondisiku yang aneh.

"Ti--Tidak. Hanya saja, aku tidak menduga jika kau akan memberitahunya secepat itu."

"Mengapa aku harus tidak memberitahunya padamu...?"

"Karena kupikir kau memiliki tujuan tersembunyi...?"

Supine merasa sedikit terganggu akan kata-kataku, tapi ia mencoba untuk menutupinya dengan kembali tersenyum.

"Bahkan hati seorang malaikat bisa terluka jika 'Zing'-Nya meragukannya tahu."

Supine beranjak dari duduknya dan berjalan mendekatiku.

"Apa... yang...--

Tidak seperti sebelumnya, kali ini ia benar-benar berniat untuk mendekatiku."

"--kau ... maksudkan...?"

Sesampainya di hadapanku, Supine memintaku untuk berdiri tanpa alasan yang jelas.

Aku pun mengikutinya dan ikut berdiri.

Kami berhadap-hadapan.

Dia sedikit lebih tinggi dariku.

Wajah cantiknya terpampang dan terbayang-bayang dalam pikiranku meskipun aku sedang melihatnya sekarang.

Aku merasa seperti tidak akan bisa melupakannya, kejadian ini.

Dengan perlahan, Supine semakin mendekat padaku.

Dia kelihatan seperti sedang mencoba untuk memelukku.

Seperti pasangan-pasangan yang sering kulihat di film-film sebelumnya, mungkin itulah maksud dari pelukannya.

Dia pun memelukku.

Aku tidak bisa melihat wajahnya dari posisi ini.

Pelukannya terasa hangat.

Seperti pelukan-pelukan yang pernah kurasakan sebelumnya.

Namun, entah mengapa yang satu ini rasanya berbeda.

"Aku ... aku ... akhirnya bisa bertemu denganmu lagi."

Nada suaranya bergetar ... apa dia sedang menangis...?

Mengapa? Apa yang membuatnya menangis? Aku tidak tahu alasannya.

Aku tidak melepaskan pelukan itu karena aku pikir aku akan semakin melukai hatinya jika aku melakukannya.

"Aku selalu ... dan akan selalu memercayai dirimu. Aah ... sudah lama sekali."

Saat dia mengatakannya, entah mengapa aku merasakan perasaan yang sama.

Rasa nostalgia yang datangnya entah dari mana.

"---"

Tiba-tiba saja, Supine melepaskan pelukannya dengan langsung berbalik dariku dan mengalihkan pandangannya ke belakang.

Akibatnya, aku kembali tidak bisa melihat wajahnya.

"Ya--Yang penting. Saat kamu bangun nanti, yang akan berada di hadapanmu adalah Lucia dan Senya. Mereka sangat khawatir padamu, lo. Maka dari itu, tenangkanlah mereka, ya. Da--Dan juga, soal pertanyaanmu tadi. Tentu saja aku tidak memiliki niat tersembunyi padamu--"

Dia mengatakannya dengan nada suara bergetar.

Sepertinya ia masih menangis.

"Maaf karena telah meragukanmu. Dan juga, satu permintaan. Apa aku bisa melihat wajahmu?"

"Na--Namun, aku masih penuh dengan air mata. Pasti akan tidak enak untuk dilihat."

"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin memastikan sesuatu."

"Ba--Baiklah. Karena kamu terlalu memaksa."

Perlahan, gadis yang ada di hadapanku berbalik. Menunjukkan wajahnya yang sedang dibanjiri dengan air mata.

Aku tidak mengetahui alasan yang membuat dirinya menangis ataupun alasan mengapa aku bisa ada di tempat ini.

Namun, kurasa itu bukanlah sebuah masalah meskipun aku belum mengetahuinya.

"Aku penasaran ... apakah kamu menyadarinya ... Lort...?"

Walaupun masih dibanjiri dengan air mata, Supine mencoba untuk tersenyum.

Aku tidak tahu mengapa ia melakukannya, entah karena dia sedang sedih ataupun bahagia.

"..."

Aku tidak merespon pertanyaannya dan hanya memberikannya sebuah senyuman.

Kurasa dia bahagia.

***

Kesadaranku perlahan-lahan mulai kembali ... kedua mataku pun mulai berkedip karenanya. Setidaknya, itulah yang kurasa sedang terjadi.

Itu benar, sepertinya aku baru saja tidak sadarkan diri untuk waktu yang cukup lama.

Tidak seperti sebelumnya, aku dapat mendengar suara dari seorang gadis di dekat wajahku.

Dia meletakkan wajahnya pada tubuhku, aku tidak tahu mengapa, mungkin karena ia khawatir dan sedang bingung untuk berbuat apa.

Aku bisa melihat rambutnya yang berwarna pirang, memanjang ke belakang tubuhnya.

"XXX--XXX!"

Entah itu dikarenakan wajahnya yang ia hadapkan ke dadaku atau karena hal lain, entah mengapa aku tidak bisa memahami arti dari kata-katanya.

Dia akhirnya menyadarinya. Aku yang mulai membuka kedua mataku dengan perlahan.

Namun, pandanganku yang awalnya kabur kini semakin menjadi jelas.

Wajah dari seorang gadis yang penuh dengan kekhawatiran yang dibanjiri dengan air mata.

Hidungnya menjadi merah dan matanya menjadi sembap. Sepertinya itu dikarenakan ia menangis.

Meskipun dalam kondisi seperti ini, wajahnya bahkan masih terlihat cantik.

"Lo--Lort...?"

Dia akhirnya menyadariku.

Sejenak, tadi ia terasa seperti berbicara menggunakan bahasa yang tidak kupahami.

"Ka--Kamu akhirnya sadarkan diri! Apa kamu baik-baik saja?"

Akhirnya aku bisa memahami kata-katanya.

Selepas, ia tersenyum. Mungkin ia merasa sedikit tenang karena melihatku sudah sadarkan diri.

Namun, ia dengan segera langsung memelukku yang terbaring di atas tanah setelahnya.

Meletakkan wajahnya ke dadaku sama seperti sebelumnya.

Namun, tidak seperti sebelumnya, aku masih bisa menggerakkan tubuhku meskipun dengan perlahan.

"O--Oi--"

Aku berniat untuk melepaskan pelukannya dariku, tapi...

"--a--aku takut! Aku takut, Lort! Takut akan kehilanganmu! Kehilangan dirimu!"

"Ba--Baiklah. Baiklah. Namun, yang penting aku sudah baik-baik saja kan, sekarang? Jadi, kau sekarang sudah tidak perlu khawatir lagi. Liha--"

"--tidak! Kumohon! Biarkan aku seperti ini lebih lama lagi."

Aku merasa tidak akan bisa menolaknya meskipun dengan paksaan.

Maka dari itu, pada akhirnya aku membiarkan posisi ini berlangsung lebih lama lagi.

Kurasa ini juga merupakan keputusan yang baik...

Namun, tetap saja ini rasanya sedikit memalukan...

Wajahku pun memerah karena tersipu malu.

Beberapa menit kemudian, Senya akhirnya kembali bersama beberapa rombongan petualang yang sepertinya memiliki job pendeta.

Mungkin, Senya awalnya berniat untuk menyembuhkanku dengan sihir agar dapat membangunkanku.

Bajuku yang Lucia tiduri, akhirnya menjadi basah karena dibanjiri oleh air mata miliknya.

Yah, aku tidak bisa menyalahkannya.

Setelah kejadian itu, meskipun beberapa jam telah berlalu.

Lucia, masih dengan wajah khawatir terus menerus lengket kepadaku.

Tidak ingin menjauh dan selalu ingin dekat denganku.

Yang tidak kuketahui pada saat itu ialah ... jantungku yang berhenti berdetak.

Mungkin itulah yang membuat dia merasa sangat bersalah karena ia pikir aku jadi seperti itu karena akibat dari perbuatannya.

Ke manapun aku pergi, entah itu ke toilet ataupun memesan makanan, ia selalu mengikuti.

Jujur saja, aku tidak merasa terganggu. Hanya saja, aku takut jika orang-orang akan merubah pandangan mereka terhadap dirinya.


Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C32
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk