Bersama Cia, Dhika bisa merasakan berbagai emosi yang dia pikir tidak pernah ada dalam dirinya. Dia pun ikut duduk lalu menatap Cia dengan lamat, meski sedang marah istrinya tetap terlihat sangat cantik, dia selalu menikmati wajah itu.
"Saya dan kakek memiliki luka yang terbuka lebar, tidak mudah untuk memperbaiki segalanya hanya karena saya ingin memulainya denganmu. Saya tau niatmu baik, tapi tidak bisa spontan saya lakukan. Hati saya masih terhalang ego yang tinggi."
Hening ....
Tidak ada sahutan dari Cia, dia sudah memutuskan untuk tidak ikut campur dalam urusan hidup Dhika. Kepala Cia lebih keras dari batu.
"Seperti dirimu, jika sudah di lukai akan sangat sulit memperbaikinya. Butuh waktu untuk itu semua, begitupun saya." Dhika menatap istrinya yang menundukkan kepala, entah dengar entah nggak.
Keterdiaman Cia lebih menyakitkan dari kata-kata tajamnya.