Unduh Aplikasi
54.62% MENGEJAR CINTA MAS-MAS / Chapter 59: MCMM 58

Bab 59: MCMM 58

Happy Reading ❤

Jam baru menunjukkan pukul 7 pagi saat Banyu tiba di kampus tempatnya menjadi asdos. Suasana parkiran motor terlihat cukup ramai karena memang rata-rata mahasiswa lebih memilih mengendarai motor. Mengingat terkadang situasi jalan raya yang kurang kondusif. Apalagi di Senin pagi seperti ini. Kini Banyu jarang keliling untuk jualan sayur karena jadwal ke kampus yang biasanya lebih sering di pagi hari. Sebenarnya jadwal asistensi jam 10 atau setelah jam pertama. Namun dosen yang dibantunya sering meminta bantuannya memeriksa makalah ataupun skripsi mahasiswa.

"Pagi mas Banyu." sapa segerombolan mahasiswi sambil cekikikan dan meliriknya malu-malu.

"Pagi," balas Banyu mengangguk dan tersenyum manis kepada mereka. "Saya duluan ya. Jangan lupa nanti siang asistensi di ruang 301."

"Baik mas." sahut mereka sambil cekikikan.

"Gila... ganteng banget sih tuh asdos. Segar banget mata gue pagi-pagi liat yang bening begitu."

"Calon masa depan gue tuh." ucap salah satu mahasiswi yang langsung disoraki oleh teman-temannya.

"Kuliah dulu yang benar bambang!"

"Yaelah elo mah masa depan suram, Win. Elo mah bucin sama si Ryan. Kemana-mana berdua mulu. Kasih dong kesempatan kita yang masih jomblo."

"Beeuuh... ngapain pada ngerebutin mas Banyu sih. Dia kan sudah gue tek-in dari sejak dia masih kuliah disini."

Dan masih banyak lagi celotehan mereka. Banyu hanya menggelengkan kepala dan tersenyum mendengarnya. Itu bukan hal baru baginya. Sejak ia masih menjadi mahasiswapun sudah banyak yang mengaguminya baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.

"Pagi mas Banyu," sapa Iin salah seorang petugas TU yang kebetulan sudah ada di dalam ruangan saat Banyu tiba. Iin ini termasuk salah fans garis kerasnya Banyu. Dia suka jutek kepada mahasiswi yang terang-terangan tertarik pada Banyu.

"Pagi bu Iin." balas Banyu ramah.

"Kok ibu sih. Memangnya kapan mas Banyu jadi anak saya? Lagipula umur kita kan nggak jauh mas. Saya tahun ini baru 28 kok. Panggil mbak aja atuh mas."

"Wah saya nggak enak bu. Masa panggil senior pake sebutan mbak. Nanti saya ditegur atasan." elak Banyu sambil berjalan menuju meja pak Yogi. Diletakkannya setumpuk makalah yang sudah selesai ia koreksi dan berikan catatan.

"Nggak papa kok mas. Yang lain juga panggil saya pake sebutan mbak. Biar terdengar lebih akrab mas. Kita kan bakal sering ketemu disini."

"Bu Iin, ngapain di ruang dosen?" Terdengar suara lembut namun tegas menyapa Iin. "Itu saya lihat di depan ruang TU sudah banyak mahasiswa yang menunggu pelayanan di buka."

"Eh bu Rosa. Ini cuma pengen ketemu sebentar sama mas Banyu bu. Mau kasih sarapan buat calon pacar." Tanpa malu-malu Iin mengucapkan hal tersebut. Sontak dosen dan asdos yang ada di ruangan tersebut menyoraki Iin.

"Maaf bu Iin. Kebetulan hari ini saya puasa. Jadi saya nggak bisa menerima makanan yang bu Iin bawa," tolak Banyu berusaha sopan.

"Buat saya saja mbak sarapannya. Kebetulan ibu saya pulang kampung. Jadi nggak ada yang masakin," celetuk Husein, salah satu dosen muda yang biasanya pelit bersuara. Semua orang tahu kalau Husein tertarik pada Iin.

"Ya jangan dong. Ini kan saya masak buat mas Banyu."

"Nggak papa mbak berikan saja pada pak Husein. Daripada mubazir. Kasihan tuh pak Husein belum sarapan."

Dengan kesal Iin memberikan tempat bekal kepada Husein yang menyambutnya dengan senyum lebar.

"Jangan lupa nanti tempatnya dicuci dulu sebelum dibalikin ya," ucap Iin judes. Dia memang terkenal blak-blakan.

"Baik mbak Iin. Nanti setelah makan saya kembalikan dalam kondisi bersih. Perlu saya isi lagi nggak mbak?"

"Isi pakai cinta saja mas Husein," celetuk pak Firman, dosen komputer yang sudah cukup senior. Celetukan yang mampu membuat merah wajah Husein yang kebetulan berkulit putih.

"Ah, pak Firman ada-ada saja nih. Mana mau mbak Iin menerima cinta saya. Lah wong calonnya mbak Iin kan mas Banyu." elak Husein.

"Waah lucu liat muka mas Husein memerah begitu. Jangan-jangan mas Husein beneran naksir mbak Iin nih. Gas pol mas." ledek dosen lain. Dengan kesal Iin mengangkat tinggi kepalanya dan berjalan keluar ruang dosen dengan angkuhnya. Dosen-dosen lain tertawa melihatnya. Banyu ikut tertawa.

"Nyu, kenapa nggak diterima aja cintanya mbak Iin? Dia kan naksir sejak mas Banyu masih jadi mahasiswa." tanya Reza yang kebetulan sama-sama asdos.

"Nggaklah mas. Takut ada yang marah," elak Banyu sambil tersenyum.

"Waah.. jangan-jangan mas Banyu sudah punya calon nih," ledek pak Firman.

"Ah, pak Firman bisa saja. Saya permisi dulu mau ke perpustakaan ya pak."

⭐⭐⭐⭐

"Dys, malam minggu besok kamu jangan kemana-mana ya."

"Memangnya ada apa Mi? Gladys mau ajak eyang kakung dan eyang uti ke Bogor. Mau menginap di vila sekalian refreshing."

"Batalkan saja rencana kamu."

"Kenapa?" tanya Gladys tak mengerti.

"Semalam tante Karin, adiknya jeng Meisya kasih tahu kalau keluarga pak Bramantyo mau silahturahmi kesini."

"Ooh. Ya sudah, kan mereka yang mau datang. Nggak perlu ada Gladys kan?"

"Ya perlu dong. Mereka kan mau sekalian membicarakan acara lamaran kamu. Gimana sih kamu gitu aja kok nggak mengerti." omel Cecile sambil menyiapkan sarapan Praditho.

"Adis nggak mau sama Lukas, Mi. Adis nggak cinta sama dia."

"Lho kalau kamu nggak mau, kenapa diam saja saat dilamar waktu itu?"

"Ini semua gara-gara mami."

"Kok gara-gara mami? Mami juga nggak tahu kalau Lukas mau menyiapkan surprise kayak begitu buat kamu," balas Cecile tak terima dituduh oleh Gladys.

"Iya, gara-gara mami paksa Adis buat datang ke acara diner itu. Kalau Adis nggak datang, kan nggak akan kejadian kayak gini."

"Sama saja kan sayang. Mau waktu itu, malam minggu besok atau bulan depan, kamu akan tetap dilamar oleh Lukas." ucap Cecile tak mau kalah.

"Ya tapi mami kan tahu kalau Adis nggak cinta sama dia."

"Kamu cintanya sama si tukang sayur itu? Apa sih yang bisa dibanggakan dari tukang sayur itu Dys? Cuma wajahnya saja yang ganteng. Yang lainnya biasa saja."

"Akhlaknya mi. Akhlak mas Banyu adalah akhlak seorang imam yang baik bagi rumah tangga. Memangnya mami mau Adis menikah dengan orang yang akhlaknya jelek?"

"Apakah akhlak yang baik bisa memberikan kehidupan yang nyaman?" tanya Cecile dengan nada tinggi. Tak biasanya mereka berdua bertengkar seperti pagi ini. "Apakah akhlak yang baik bisa membayar uang salon kamu?"

"Mami kok jadi matre sih? Mami tau nggak kalau Lukas itu nggak sepolos yang mami kira?" Cecile tampak terkejut mendengar ucapan Gladys. "Dia itu pendukung s*x pranikah. Dia sudah melakukan hubungan s*x dengan para mantan pacarnya."

"Ah, kamu tau darimana? Jangan su'udzon."

"Om Bram dan tante Meisya sendiri yang cerita saat acara diner. Dan Lukas juga tidak mengelak saat Adis menanyakan hal tersebut."

"Iya. Tapi Dys, itu kan hanya masa lalu dia. Mami yakin begitu menikah dengan kamu dia akan berubah menjadi suami yang setia."

"Aah.. terserah mami deh. Adis malas bahas ini sama Mami. Adis nggak akan pernah benar. Kayaknya mami deh yang kepincut sama Lukas."

Cecile baru mau membalas ucapan Gladys saat suaminya masuk ke ruang makan. Di belakangnya tampak Gibran dan juga Ghiffari yang kebetulan mampir. Khansa tidak ikut mampir karena kini ia sedang hamil muda dan sering mual bila diajak bepergian.

"Ada apa sih kalian pagi-pagi sudah adu kencang suara? Suara kalian terdengar hingga kamar papi. Apa yang kalian ributkan? Kasihan eyang kakung dan eyang uti nggak bisa istirahat karena mendengar suara kalian.

"Ini lho schatz, Gladys masih saja menolak untuk menikah dengan Lukas. Padahal semua orang sudah tahu kalau Lukas telah melamar dia. Tapi anakmu ini tetap kekeuh memilih Banyu, si tukang sayur itu."

"Sekarang Banyu sudah bekerja sebagai asisten dosen di kampus, bukan sekedar tukang sayur lagi. Bahkan dia juga sudah menjadi salah satu supplier di resto milik ambu. Selain itu dia juga sudah membuka kios sayur dan memiliki pegawai." bela Gladys.

"Yang kayak gitu kamu mau bandingkan dengan Lukas yang dokter spesialis jantung, pewaris tunggal penerus Brama's Corporation serta salah satu pemilik saham rumah sakit jantung terbesar di kota ini? Nggak usah bercanda, sayang. Lelaki pilihanmu nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan Lukas."

"Kenapa mami mengukur segalanya dengan materi? Pernikahan dan berkeluarga nggak melulu mementingkan materi, mami." balas Gladys tak mau kalah. "Apakah

buat mami materi lebih penting daripada kebahagiaan anak mami?"

"Adek!" Ghiffari menegur Gladys dengan keras. "Jaga bicaramu. Ingat, kamu bicara dengan mami."

"Sudah dek, ngalah aja. Nggak usah ngotot. Masih pagi." Gibran ikut membujuk Gladys.

"Gara-gara mami, hubungan Gladys dan Banyu berantakan. Apa itu yang mami mau?" tanya Gladys dengan suara bergetar.

"Sudah dek. Tarik nafas. Semua bisa dibicarakan dengan kepala dingin." Praditho merengkuh bahu Gladys. "Diajeng, pelankan suaramu. Nggak enak sama bapak dan ibu."

"Tapi schatz.... " Cecile urung melanjutkan bicaranya karena dilihatnya pandangan tajam sang suami.

"Ini masih pagi. Mending kita sarapan daripada ribut kayak gini," ucap Praditho sambil menyuruh Gladys duduk di sisi kanan dan Cecile duduk di sisi kirinya.

"Pi, Adis ijin nggak ikut sarapan bareng."

"DUDUK!" Kali ini suara Praditho terdengar lebih tegas. Kalau sudah begini Gladys tak berani membantah sang papi.

"Diajeng, berikan kebebasan pada Gladys untuk memilih pasangan hidupnya. Dia yang akan menjalani pernikahan itu, bukan kita."

"Tapi Schatz, kita harus bilang apa pada keluarga jeng Meisya? Mereka pasti akan malu bila Gladys memilih lelaki lain padahal anak mereka sudah melamar Gladys di hadapan ratusan orang. Dan anakmu tidak menolaknya."

"Tapi Adis juga nggak pernah menerima lamaran itu, Mi. Lukas itu egois dan gak pedulian. Tanpa menunggu jawaban Adis dia langsung memasang cincin itu."

"Abang bisa mengerti kenapa Adis nggak berani langsung menolak Lukas saat itu. Tapi seharusnya kamu juga jangan mau dicium, dek. Dengan kamu diam saja, orang beranggapan kamu menerima."

"Semuanya terjadi begitu cepat, bang. Adek juga nggak mau mempermalukan Lukas dan keluarganya di depan orang banyak."

"Tapi jadinya kamu yang repot kan, dek," celetuk Gibran.

"Pokoknya malam minggu besok kamu nggak boleh kemana-mana. Lagipula mumpung ada eyang kakung dan eyang uti disini. Jadi keluarga jeng Meisya bisa berkenalan dengan keluarga besar kita."

Praditho menoleh ke arah Gladys yang terdiam. Dilihatnya wajah Gladys yang mendadak muram. Ia tak tega melihat putri kesayangannya menikah dengan pria yang tak dicintainya. Bukannya ia tak ingin sang putri segera menikah namun tidak dengan cara seperti ini. Di sisi lain ia juga tak dapat menyalahkan sang istri sepenuhnya. Karena menolak lamaran keluarga Bramantyo setelah kejadian lamaran on the spot-nya Lukas juga tidak bisa ditangani secara gegabah. Nama baik keluarga Bramantyo Prawira dan keluarga Hadinoto - Van Schuman dipertaruhkan dalam hal ini.

"Diajeng, bagaimana kalau urusan lamaran ditunda dulu. Seperti yang diajeng bilang, malam minggu atau bulan depan sekalipun Lukas akan tetap meminang Gladys. Kalau memang Allah menentukan mereka berjodoh maka takkan ada sesuatupun yang dapat menghalangi hal tersebut."

Baik Cecile maupun Gladys tampak sihuk dengan pikiran masing-masing setelah mendengar ucapan Praditho.

"Baiklah. Aku akan bicara pada jeng Meisya untuk menunda masalah lamaran dan pernikahan antara Lukas dan Gladys. Tapi aku masih kurang setuju bila adek memaksakan keinginannya untuk menikah dengan Banyu."

"Mami nggak usah khawatir. Hubungan adek dan Banyu sudah keburu berantakan." Gladys berdiri dari kursinya sambil menangis dan meninggalkan anggota keluarganya terbengong-bengong.

"Mi, apa mami nggak bisa membiarkan adek memilih Banyu?" tanya Gibran prihatin. Walaupun Gibran sering menjahili Gladys, namun sesungguhnya ia tak sanggup melihat adiknya bersedih dan menangis seperti tadi.

"Iya Mi. Adek sudah mulai dewasa. Coba mami perhatikan deh banyak perubahan positif pada diri adek sejak dia mengenal Banyu." Ghiffari ikut membujuk sang mami. "Berikan kepercayaan pada adek, Mi. Biarkan sekali ini dia menjadi orang dewasa seutuhnya dengan mengambil keputusan sendiri."

"Kalian nggak usah ikut campur urusan ini. Justru kalau kalian sayang mami, kalian akan bantu mami dengan membujuk adik kalian untuk menuruti keinginan mami." balas Cecile keras kepala.

Ketiga pria dalam keluarga itu saling berpandangan menghadapi sifat keras kepala wanita-wanita yang mereka sayangi. Sifat keduanya begitu mirip sehingga sering terjadi benturan namun benturan kali ini termasuk yang cukup memprihatinkan.

Sementara itu di dalam kamarnya Gladys menelungkup di atas kasur. Ia berteriak sekuat tenaga melepaskan kemarahan, kekecewaan dan kesedihannya. Setelah puas, kini terlihat bahunya terguncang karena isak tangisnya. Bukan sekali dua kali ia berbeda pendapat dengan sang mami. Namun kali ini ia benar-benar tak bisa menerima pendapat sang mami. Ditambah lagi sikap Banyu yang hingga kini masih juga dingin dan menghindarinya.

Ya Allah, aku harus bagaimana. Keduanya orang yang kusayangi, Mami dan Banyu. Tapi aku juga nggak mau menikah dengan Lukas, si dokter psikopat itu.

⭐⭐⭐⭐


Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C59
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk