Happy Reading ❤
"Nyu, habis ini elo jangan pulang dulu ya. Kata mami, elo disuruh ikut makan malam disini." Ucap Gibran saat mereka kembali dari shalat maghrib.
"Ah, nggak usah Gib. Itu kan acara keluarga lo. Ngapain gue ikutan makan malam bareng." Tolak Banyu. "Nggak enak sama keluarga besar lo. Tadi beberapa dari mereka melihat gue gendong adik lo ke kamar. Gue khawatir jadi omongan. Kasian adik lo."
"Ya ampun Nyu. Elo yang dibully sama Gladys, tapi elo masih melindungi dia." Banyu terkejut mendengar perkataan Gibran. "Nggak usah bingung. Tadi pak Dudung cerita ke gue gimana kejadiannya. Kenapa elo nggak bilang yang sebenarnya sama mami papi?"
"Ah, cuma kecelakaan kecil. Adik lo juga nggak berniat mendorong gue. Mungkin dia kesal ada orang asing yang pakai mobil dia." Bela Banyu.
"Lo kenapa jadi belain adik gue yang manja itu sih? Jangan-jangan lo suka sama dia, ya?" Ledek Gibran.
"Hahaha... nggaklah.. mana berani gue naksir putri pengusaha. Gue cukup tau diri dan tahu dimana porsi gue, Gib." jawab Banyu mengelak. "Lagipula adik lo kan benci banget sama gue sejak pertama kali bertemu. Gue mau fokus urus ibu dan adik-adik gue. Jodoh urusan nomor sekian."
"Tapi bukan karena elo masih belum bisa ngelupain Senja, kan?" Mendengar nama Senja disebut, pikiran Banyu melayang pada seorang gadis manis yang dulu pernah menemani hari-harinya selama 4 tahun.
"Nggaklah, bukan karena itu. Dia sekarang sudah bahagia dengan suami dan anaknya." Ada rasa sakit di sudut hati Banyu saat mengingat bagaimana sore itu Senja menyampaikan berita yang cukup membuatnya shock
Flashback on
Dua tahun yang lalu
"Nyu, bisa nanti sore kita ketemu di taman dekat rumahku?" tanya Senja melalui videocall di pagi hari itu saat Banyu akan berangkat jualan. Di layar tampak wajah Senja yang tersenyum manis. Namun entah mengapa Banyu merasa ada yang lain pada sinar mata gadisnya.
"Insyaa Allah bisa. Sesudah ashar ya, gadisku." Banyu memang biasa memanggil kekasihnya dengan sebutan gadisku. Panggilan yang mampu membuat Senja tersipu bahagia.
"Kamu mau jualan ya, Nyu? Hati-hati ya, jangan sampai lupa makan siang. Oh iya, salam buat ibu dan adik-adik ya."
"Ibu beberapa kali menanyakan kenapa kamu sekarang jarang main ke rumah. Ibu kangen sama kamu. Aku juga." Terlihat wajah Senja seolah menggelap mendengar pertanyaan Banyu. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Aku juga kangen, Nyu. Tolong sampaikan permintaan maafku karena tidak bisa main kesana."
"Gadisku, kamu kenapa? Semuanya baik-baik saja kan?"
"Sudah dulu ya, Nyu. Aku sudah ditunggu ayah di depan. Aku berangkat ke kantor dulu. Sampai ketemu nanti sore ya, Nyu." Senja memutus video call yang menimbulkan berbagai pertanyaan di hati Banyu
Sore itu setelah shalat ashar, Banyu duduk di salah satu bangku yang ada di taman. tahun yang lalu di tempat yang sama Banyu mengungkapkan perasaannya kepada Senja setelah bertahun-tahun bersahabat dengan gadis itu. Mengingat kisah pertemanan mereka mampu membuat Banyu tersenyum. Pertemanan manis yang berujung cinta.
Banyu memandang sekeliling taman yang sore itu tampak lengang. Mungkin karena hari ini bukan weekend. Tak terasa sudah setengah jam dia duduk sendirian di taman itu. Untung udara sore itu cukup bersahabat.
Pandangan Banyu jatuh pada sebuah mobil mewah berwarna hitam yang parkir di dekat taman. Wah, Senja pasti akan bahagia kalau gue bisa membeli mobil mewah seperti itu. Mungkin suatu saat nanti gue akan bisa mewujudkan hal tersebut. Memiliki mobil dan rumah mewah yang akan ditempatinya bersama Senja dan anak-anak mereka kelak.
Pandangan Banyu membeku saat pintu mobil tersebut terbuka dan dari dalamnya keluarlah seorang gadis cantik yang sejak tadi ditunggunya. Mata Banyu membulat saat melihat siapa yang turun dari pintu pengemudi. Awan Danudirja. Anak pemilik beberapa resto mewah dan klinik di kota mereka. Bukan hanya itu, keluarga Danudirja juga terkenal sebagai salah satu konglomerat. Pria yang dulu juga tertarik pada Senja. Kenapa mereka bisa berbarengan? Ah, mungkin mereka secara tak sengaja bertemu. Tapi kenapa pria itu ikut turun dan menghampiri gadisku? Perasaan Banyu semakin tak karuan saat dilihatnya Awan menggandeng tangan Senja dan melangkah bersama ke arah tempatnya duduk. Ada apakah ini?
"Hai, Nyu. Sudah lama? Maaf tadi aku nggak bisa buru-buru ijin keluar kantor. Ada sedikit pekerjaan yang harus diselesaikan. Maklum dikejar deadline. Tadi juga saat dalam perjalanan kesini ada sedikit kemacetan. Jadi terlambat deh." Celoteh Senja sambil tersenyum. Senyum yang dipaksakan
Banyu tau kalau Senja sebenarnya gugup. Biasanya kalau gugup Senja akan banyak bicara, seperti sekarang ini.
Banyu berdiri hendak memeluk Senja, namun Senja memberi kode agar Banyu tak mendekat. Awan yang sedari tadi berdiri di belakang Banyu, perlahan maju dan mendekati Banyu. Awan mengulurkan tangannya mengajak berjabat tangan yang disambut Banyu dengan kaku.
"Pa kabar bro? Belum bosan jualan sayur?" Tanya Awan sambil tersenyum sinis.
"Alhamdulillah gue baik-baik saja dan masih belum bosan jualan sayur. Gimana kabar lo? Masih jadi anak manja yang kerjanya habisin harta bokap lo?" Balas Banyu. Awan terlihat tersinggung dan hendak maju untuk memukul Banyu namun gerak langkahnya ditahan oleh Senja.
Dengan senyum sinis Awan menuruti Senja. Kini dengan sengaja Awan memeluk mesra bahu Senja. Mendapat perlakuan seperti itu membuat Senja serba salah. Ditatapnya Banyu dengan pandangan yang membuat Banyu tersadar ada sesuatu yang buruk yang akan Senja sampaikan.
"Wan, bisa aku bicara berdua dengan Banyu?" Tanya Senja dengan suara lirih.
"Sampaikan saja apa yang kamu mau sampaikan. Sekarang, di depanku. Aku khawatir pikiranmu berubah saat kalian bicara berdua." Jawab Awan tanpa melepaskan pelukannya.
"Awan.. please.." mohon Senja.
"Ah kelamaan... Bro, Senja kesini mau mutusin elo. Bulan depan dia bakal nikah sama gue. Orang tua kami sengaja menjodohkan kami. Kenapa? Karena orang tuanya nggak mau punya menantu tukang sayur kayak elo. PAHAM?!"
Bagai petir di senja yang cerah itu kala Awan menyampaikan berita tersebut. Banyu mematung terdiam tak bicara. Matanya memandang Senja menuntut penjelasan. Senja tak mampu membalas pandangan Banyu. Ia hanya mampu menunduk memandangi kakinya.
"Gadisku, itu nggak benar kan? Katakan ini hanya sebuah lelucon yang nggak lucu yang kalian persiapkan untuk nge-prank aku." Senja tetap terdiam tak menjawab. Banyu hendak maju mendekati Senja namun Awan langsung berdiri di antara keduanya.
"Jangan pernah lo dekati calon istri gue!" Tegas Awan. "Gue rasa apa yang tadi gue bilang sudah cukup jelas. Mulai sekarang jangan ganggu Senja. DIA CALON ISTRI GUE. DIA CALON IBU PENERUS NAMA BESAR KELUARGA DANUDIRJA. GUE NGGAK SEGAN-SEGAN PAKAI KEKERASAN KALAU ELO BERANI DEKATI CALON ISTRI GUE!"
Mendengar ucapan Awan yang bernada mengancam membuat Senja mengangkat pandangannya. Ditatapnya Banyu dengan pandangan sedih dan memohon maaf.
"Please, lupain aku. Maaf aku nggak bisa memenuhi janji kita. Mulai sekarang kita putus." Setelah selesai mengucapkan hal tersebut, Senja berbalik dan berlari menjauhi Banyu yang masih shock.
"Elo sudah dengar apa kata Senja. So, good bye bro. Senja sudah jadi milik gue. Lupain dia."
Flashback off
⭐⭐⭐⭐
"NYU!! WOY!!" Sebuah tepukan keras mendarat di bahu Banyu. "Eh dia malah bengong. Kenapa lo? Ingat mantan?"
"Ah, sialan lo Gib. Bikin gue kaget aja." Omel Banyu.
"Lagian elo bengong aja. Tuh lihat mami sudah manggil kita."
"Gue pulang aja, Gib. Nggak enak sama keluarga lo."
"Kalau elo nolak tawaran mami, itu sama aja elo menghina keluarga besar Hadinoto - Van Schuman."
"Beneran nggak pa-pa nih gue ikutan makan malam dengan keluarga besar lo?"
"Ayo Banyu, ikut makan malam," Kali ini Cecile langsung mendatangi Banyu. "Dan mami tidak menerima penolakan."
"Eh, iya bu," jawab Banyu malu-malu. "Tapi, baju saya berantakan begini nggak pa-pa, bu?"
"Ya nggak pa-pa tho. Kamu kan bukan mau makan di restaurant mewah yang mengharuskan kamu pakai jas."
"Tapi saya malu bu. Saya nggak pantas makan bersama keluarga besar ibu. Saya makan bareng pak Gito aja." Banyu masih berusaha menolak.
"Kamu itu bukan pekerja disini. Kamu itu diundang sebagai temannya Gibran. Kami mau mengucapkan terima kasih atas pertolongan kamu kepada Gladys tadi sore. Dan kamu jangan panggil saya bu, panggil saya tante. Saya kan bukan majikan kamu."
"Ah, itu bukan apa-apa bu.. eh tante. Memang saya yang salah karena menjatuhkan kotak yang berat itu ke kaki non Gladys."
"Nyu, mami gue juga sudah tau cerita sebenarnya. Tadi gue yang cerita ke mami. Elo nggak usah ngebelain si Gladys lagi, deh." Ucap Gibran. "Ayo buruan kita kesana. Tuh, eyang Tari sudah mulai kesal karena acara makan malam nggak dimulai."
Akhirnya dengan sedikit segan Banyu ikut dalam acara makan malam bersama itu. Selama acara makan malam berlangsung, Banyu merasa banyak mata yang memandangnya penasaran.
"Nama kamu siapa?" Tanya eyang Tari dengan suara lembut namun terdengar berwibawa. "Kamu temannya Gibran?"
"Eh, inggih eyang. Nama saya Banyu. Saya teman SMA Gibran."
"Banyu.. artinya air. Dari yang eyang tahu tentang filosofi air, energi yang kamu pancarkan sesuai dengan nama kamu. Adem namun dibaliknya ada kekuatan yang tak bisa ditebak. Seperti ibaratnya air, kamu memiliki sifat rendah hati, berguna bagi banyak orang, memberi kehidupan, bisa mengisi kekurangan orang lain dengan kelebihan yang kamu punya. Selain itu kamu juga cukup fleksibel dengan situasi sekitar kamu. Namun itu bukan berarti kamu manut apa kata orang lain. Karena seperti air sungai yang pasti mengalir ke muara walau banyak rintangan yang menghadang, kamu juga orangnya gigih dalam meraih sesuatu. Selain itu juga kamu bisa memiliki kekuatan yang tak terkendali dan kadang merusak." Ucap eyang Tari sambil memperhatikan Banyu dari kepala meja. Hal yang mengherankan bagi banyak orang, karena posisi Banyu duduk cukup jauh dari eyang Tari. Dan semua orang tahu penglihatan eyang sudah terbatas.
"Ah, eyang sok tau nih," celetuk Gibran. "Mana mungkin eyang bisa tahu tentang Banyu, keliatan juga nggak dari tempat eyang."
"Nggak perlu melihat dari dekat untuk membaca sifat seseorang." Jawab eyang Tari. "Sebagai orang Jawa, eyang mengerti kenapa tuanya memberi nama Banyu. Semoga tebakan eyang nggak salah."
Yang lain menyambut ucapan eyang Tari dengan tawa. Untungnya eyang Tari tidak tersinggung. Ia malah ikut tertawa. Sepertinya eyang Tari adalah orang yang cukup easy going, pikir Banyu sambil ikut tersenyum.
"Mas Banyu sudah punya pasangan?" Tanya budhe Murni, kakak sulung Praditho, yang kebetulan duduk berseberangan dengan Banyu. Mata budhe Murni memperhatikan Banyu dengan intens.
"Hehehe, belum budhe. Belum pantas mikirin pasangan budhe." Jawab Banyu sambil tersenyum malu.
"Nggak pantas piye tho, mas Banyu? Budhe lihat-lihat kamu cukup ganteng lho. Pasti banyak yang naksir. Kalau memang sifat kamu seperti yang eyang bilang tadi, kamu cocok sama orang yang meledak-ledak....."
"Mbakyu, wis nggak usah dibahas lagi. Nanti Banyu nggak enak makannya. Nggak usah dimasukin ke dalam hati ya Nyu, omongan budhe Murni." Potong Cecile. Seperti biasa, Banyu hanya tersenyum sopan.
Sementara itu di ujung meja, sepasang mata indah memperhatikan Banyu dengan tajam. Namun saat secara tak sengaja matanya bersiborok dengan mata Banyu, pemilik mata indah itu melengos dan membuang pandang.
⭐⭐⭐⭐