Colombia University Kota M
Sebuah mobil mewah terlihat memasuki lahan parkir luas sebuah universitas binis. Dari dalam sana keluar sebuah kaki dengan sepatu heels, sebelum akhirnya memperlihatkan si pemilik kaki jenjang dalam balutan dress selutut berwarna putihnya.
Rambut pirangnya terurai dengan indah, belum lagi iris cantik sewarna lautan miliknya, menambah nilai plus dari penampilan nona muda keluarga Grinson.
Brakh!
Si nona muda—Gretta ini menutup pintu mobil seraya mengedarkan bola matanya, mencari keberadaan dua pengikutnya yang paling setia, jika tidak ingin dibilang penjilat.
Di sekitarnya berdengung layaknya lebah saat ia berjalan dengan elegan dan tidak lama kemudian, netranya dapat melihat dua teman- ah! Lebih tepatnya pengikut, yang selalu mengekor di mana pun ia berada.
Bukan tanpa alasan ia menyebut keduanya sebagai pengikut, karena memang itulah adanya. Keduanya ada sebagai penyambung informasi mengenainya di kampus, kepada sang nenek dan juga ibunnya si dictator yang menginginkan kesempuraan akan dirinya.
Padahal, jauh di dalam hatinya, ia ingin sekali memiliki teman yang normal dan bisa berbagi.
"Lupakan, aku selamanya tidak akan mendapatkan itu," batin Gretta merubah wajahnya menjadi angkuh, ketika melihat dua gadis cantik di depannya.
Tap!
"Good morning, Gretta. How are you to day? (Selamat pagi, Gretta. Bagaimana kabarmu)" tanya seorang dengan rambut hitam lurus sebahu, memiliki netra dan senyum memikat.
Calon dokter muda, dengan spesialis kandungan dan saat ini memasuki semester dua layaknya Gretta dan teman satunya.
"Hm, morning too, Starla," sahut Gretta dengan senyum tanpa maknanya.
Starla anastasya nama lengkapnya, dulunya adalah putri dari seorang dokter tersohor dan pemiliki rumah sakit di manhattan. Namun, karena sebuah kecelakaan dan juga rumah sakit itu sudah diakusisi oleh keluarganya, Starla pun tidak memiliki hak atas kepemilikan rumah sakit warisan tersebut.
"Selamat pagi, Nona Grinshon," sapa yang satunya lembut, ekspresi wajahnya terulas senyum manis namun Gretta tahu jika itu hanya senyum palsu.
"Pagi, Elena," sahut Gretta dan kali ini netranya melihat wajah pengikutnya yang bernama Elena dengan merendahkan, bagi Elene yang melihatnya.
Gretta tahu satu rahasia Elena, bahkan sampai seluk beluk asal keluarganya. Hingga Elene harus selalu memperlakukan Gretta lembut, tidak ingin sang nona marah.
Elena Febiola Karstone adalah seorang bangsawan, pemilik perusahaan Karstone dan dulunya perusahaan itu hampir setara dengan keluarga Grinshon. Namun, karena suatu insiden yang tidak banyak orang tahu, maka lagi-lagi perusahaan itu tumbang dengan Grinson sebagai pengakusisi.
Setelah menegur dua 'temannya', Gretta pun melenggang santai dengan keduanya yang mengekor di belakang dengan mata menatap punggung Gretta sinis dan Gretta sebenarnya tahu. Namun, ia hanya berpura-pura buta, tetap berjalan dengan dagu terangkat.
Di sepanjang jalan, ketiganya menjadi sorotan. Tidak ada yang mampu menolak, ketika tiga dewi kampus yang sedang menebar aroma pheromons kepada setiap orang yang dilalui.
Gumaman dengan nama Gretta terdengar bagai lebah dan Gretta yang mendengarnya hanya balas dengan sinis.
Sexy, cantik dan pintar namun sombong itu adalah Gretta Fernanda Grinshon.
Wajahnya tidak pernah menunduk saat berjalan, selalu diringi dengan decakan kagum dan juga tatapan iri dari setiap wanita yang melihat kesempuranaanya.
Tidak seperti kedua orang yang berjalan di belakaangnya, Gretta tidak akan menampilkan senyum meskipun tipis, karena senyumanya hanya akan terualas jika sedang berada di antara yang ia sayangi. Ya … contohnya saja nanny Anna, juga Randie dan para pelayan yang selalu ada saat ia membutuhkan.
Di persimpangan, ketika Gretta hendak berbelok, tiba-tiba suatu insiden membuat Gretta terdiam murka, membuat seseorang yang sial itu juga ikut terdiam dengan netra membulat sempurna.
Brug!
Sebuah jus tumpah mengenai dress putihnya, mengotori dress dengan harga yang tidak mampu di jangkau oleh si penabrak (Tidak sengaja) yang segera bersimpuh di depannya.
"Maafkan saya, Nona Grinshon," mohon si penabrak dengan wajah memelas. Namun Gretta hanya diam, menatap dressnya dengan nanar dan juga si penabrak dengan hati bersabar.
"Kamu mau mati ya!?"
Bukan, itu bukan suara marah Gretta, melainkan Elena yang memang pemegang sabuk hitam turunan keluarga Karstone yang juga dulunya pemilik sebuah dojo karate.
Elena saat ini sedang mencengkram kerah si wanita penabrak, yang mengkerut takut saat Elena mengancamnya.
"Ampuni saya, Nona Kartsone," cicit si penabrak semakin ketakutan.
"Cepat bersihkan apa yang sudah kamu perbuat. Beraninya mengotori Nona Grinshon," kata Elena tidak peduli, ia semakin mencengkram kerah si penabrak kuat hingga rasanya sulit bernapas.
"Ma-maaf…"
"Hentikan Elena," sahut Gretta dengan nada dingin.
Ia menatap tajam kepada salah satunya, bukan kepada si penabrak namun kepada Elena yang menyangka jika Gretta marah kepada si penabrak. Sehingga Elena si pelaku semakin yakin, dengan ia menyiksa si penabrak Gretta akan semakin suka kepadanya.
"Dia pantas me-
"Bitch," desis Gretta sebelum meninggalkan begitu saja dua orang yang menurutnya sama saja di belakangnya.
Semua orang mengira jika Gretta mengumpati si penabrak malang, tanpa tahu jika yang sebenarnya Gretta umpati adalah temannya sendiri, yang ia tahu jelas maksudnya apa.
Semakin Elena menyiksa seseorang, semakin banyak pula yang akan menilainya sebagai orang yang kejam. Meskipun ia tidak masalah akan tanggapan itu, tapi percayalah, jauh di dalam hatinya ia seakan ingin pergi sejauh mungkin dari kehidupan palsu ini.
Keluarga yang ingin kesempurnaan darinya, dua teman yang hanya menganggapnya nona muda, dosen yang tunduk kepada keluarga dan teman di sekitarnya yang menatapnya dengan kepalsuan.
Gretta muak dengan semuanya. Namun, jika ia menyerah dan tidak menjadi kuat di sini, ia tidak akan bisa menemukan keluarganya di luar sana. Di luar, dengan tempat yang kekejamannya lebih nyata.
Beberapa saat kemudian…
Kelas bisnis dan ekonomi sudah selesai dengan sang dosen yang menutup sebagai akhir pertemuan. Para mahasiswa di kelas Gretta berada beramai-ramai keluar dari dalam sana, termasuk Gretta yang sudah ditempeli oleh dua temannya, yang kini sedang melihat dengan tatapan tak terbaca.
"Ayolah Gretta…, hanya pesta kecil untuk keberhasilanmu menjadi mahasiwsi dengan peringkat teratas," rayu Starla, kepada Gretta yang diam saja, sibuk dengan alat tulisnya.
Gretta, meskipun ia terlihat angkuh dan sombong, kepintarannya tidak diragukan maka itu nilainya yang bagus sering jadi gunjingan, mengatakan jika ia mendapatkannya karena keluarga.
Tapi apakah Gretta peduli? Jawabanya sama sekali tidak.
"Tidak."
Jawaban dingin dan sombong itu, tidak lantas membuat kedua temannya menyerah. Keduanya kembali merayu Gretta dan ucapan salah satunya membuat si nona muda ini terdiam.
"Kami sudah susah payah menyiapkannya. Ingin menjadi teman sejatimu, yang ikut senang karena berhasil menjadi yang terbaik. Apakah ini juga membuatmu enggan? Apakah kami ini bukan temanmu, Gretta?"
Teman?
Dari sekian banyak waktu yang mereka lalui, Gretta baru ini mendengar kata teman dari mereka. Sehingga ada desiran senang di hatinya dan ia tanpa sadar tersenyum dalam hati.
"Iya, kita sudah menyiapkan ini hanya untukmu," sahut Elena mendukung apa yang diucapkan Starla.
"Bagaimana?"
"Aku…."
Bersambung.