Unduh Aplikasi
0.55% Plagiat Cinta / Chapter 2: Terlihat Konyol

Bab 2: Terlihat Konyol

Pagi ini, semua anggota keluarga telah berkumpul dimeja makan untuk menikmati hidangan makanan mereka.

Mereka semua hanya tinggal menunggu Isabel saja. Namun sepertinya yang ditunggu tidak kunjung datang juga. Sampai akhirnya Bunda Arin menyuruh Anin, adik dari Azam untuk memanggil Isabel.

"Anin, sebaiknya kamu panggilkan kakakmu Isabel!" titah Bunda Arin.

"Baik Bun, akan Anin panggilkan," ucap Anin, lalu segera pergi.

Sampainya didepan kamar Isabel, Anin segera mengetuk pintu kamar Azam dan Isabel.

"Kak, apa kakak didalam? Boleh Anin masuk?" tanya Anin dengan sopan.

"Masuk lah Anin, pintunya tidak Kakak kunci kok," sahut orang dari dalam kamar.

Tidak menunggu waktu lama, Anin pun segera masuk kedalam kamar.

"Kak Isabel, Bunda memanggil Kakak untuk sarapan. Kak Isabel sedang apa?" tanya Anin.

"Mmm ... begini Anin, sebaiknya kalian makan saja duluan, Kakak masih belum selesai beres-beres," ucap Isabel.

"Biar Anin bantuin ya kak," tawar Anin.

"Eh, tidak usah, sebaiknya kamu sarapan saja dulu. Kakak bisa melakukannya," jelas Isabel.

"Gapapa Kak, biar Anin bantu saja," ucap.

"Jangan Anin, biar Kakak saja sendiri. Sudah cepat sekarang kamu keluar saja! Bunda dan Ayah pasti sudah menunggumu," suruh Isabel.

"Kakak ngusir aku?" kesal Anin dengan bibir sedikit mengerucut.

"Hahaha ... bukan gitu Anin, masa Kakak ngusir kamu sih. Sudah ya sekarang kamu temui Ayah dan Bunda, bilang kalau Kakak nanti nyusul," ucap Isabel dengan lebih lembut lagi, supaya Anin tidak merasa tersinggung seperti tadi.

"Hemm ... ya udah deh, aku duluan ya Kak," ucap Anin sambil melangkahkan kakinya keluar kamar. Isabel hanya tersenyum saja.

Saat Anin kembali, Ayah dan Bunda merasa kebingungan karena Isabel tidak ikut serta bersama Anin.

"Loh, dimana Isabel?" tanya Ayah Bondan, ayahnya Azam.

"Tadi Kak Isabel masih beres-beres Ayah, jadi dia menyuruhku keluar duluan dan meminta kita sarapan duluan saja. Katanya nanti Kak Isabel nyusul," jawab Anin.

"Oh, ya sudah, tak apa, sekarang kamu sarapan saja!" titah Bunda Arin.

Setelah selesai sarapan, Bunda segera membereskan meja makan.

"Azam, sebaiknya kamu antarkan sarapan Isabel kekamarnya Nak! Kasihan dia, pasti sudah merasa lapar," titah Bunda kepada Azam.

"Baik Bunda," ucap Azam menurut saja.

Azam segera mengambil beberapa makanan dan menyajikannya diatas piring, lalu membawanya kekamar.

Didalam kamar, Isabel nampak sedang menyapu lantai. Keringat mulai bercucuran didahinya. Azam yang melihat itu merasa kasihan dan tidak tega.

"Ehem ..." Azam berdehem untuk menghilangkan susanan canggung.

Isabel hanya melirik sekilas lalu kembali meneruskan kegiatannya.

Isabel memang sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah, justru dia merasa sangat bosan jika tidak melakukannya.

"Ehem ... ehem ... ehem ..."

Azam kembali berdehem dan terus berdehem, tetapi tetap saja diabaikan oleh Isabel.

Kerongkongan Azam sampai sakit, karena terus berdehem. Azam seperti orang konyol karena terus melakukan hal tersebut.

Sebenaryna Azam merasa sangat malu untuk memulai pembicaraan. Tidak hanya malu, dia juga takut kalau sampai kejadiaan semalam terulang kembali.

Karena kesal melihat tingkah Azam yang seperti itu, sudah seperti anak-anak meminta sesuatu. Sampai akhirnya Isabel menghampirinya.

Isabel melipat kedua tangannya diatas dada dan menaikan pandangannya sambil menaik turunkan alisnya, pertanda dia sedang bertanya pada Azam kenapa dia terus bersikap aneh.

Azam masih diam membisu, ragu untuk menyampaikan niatnya datang ke sini.

"Ada apa?" tanya Isabel memulai pembicaraan.

"Em ... hemm ... Bunda menyuruhku mengantar sarapan ini untukmu Isabel," jelas Azam. Akhirnya dia mau berbicara juga.

"Hanya itu?" tanya Isabel kembali.

"I ... iy ... iya ... hanya itu, tidak ada yang lain," ucap Azam sangat gugup.

"Bahkan hanya untuk memberiku sarapan, harus sampai bertingkah aneh dan menyebalkan seprti tadi," kesal Isabel.

"Makanlah! Aku akan siap-siap untuk pergi bekerja" terang Azam.

"Hmm."

Hanya kata itu yang Isabel ucapkan.

Kini kamar Azam dan Isabel sudah terlihat sangat rapi. Isabel membereskannya dengan sangat telatan.

Meskipun dia sendiri yang menghancurkan kamarnya, tapi dia sendiri juga yang merapikannya.

"Hufh ..." Isabel menarik nafasnya berat.

Isabel mengambil sarapan yang tadi Azam bawa, kemudian mulai mencicipinya.

"Makanan ini sangat enak, mungkin Bunda yang memasaknya. Bunda memang pintar memasak," ucap Isabel.

Isabel mulai menyantap makanannya seperti orang kelaparan yang sudah tidak makan berhari-hari.

Dibalik pintu kamar mandi, Azam memperhatikan cara makan Isabel. Dia merasa heran dan aneh, wanita secantik dan seanggun Isabel, bisa makan dengan cara seperti itu.

Azam merinding namun juga merasa lucu melihatnya. Ia cekikikan sendirian.

"Apakah makanannya enak?" tanya Azam tiba-tiba yang membuat Isabel terkejut.

Dengan mulut penuh dengan makanan, Isabel menundukan pandangannya, merasa malu dan gengsi terhadap Azam.

Isabel langsung meninggalkan Azam begitu saja tanpa mau menjawab pertanyaannya.

Didapur Isabel terus saja menyesali keteledorannya yang makan sembarangan.

"Memalukan, kenapa juga aku harus makan seperti itu," kesal Isabel, dengan memukul-mukul kepalanya dengan serok.

Tidak sengaja Bunda melewati arah dapur dan melihat Isabel seperti itu. Bunda kebingungan.

"Nak," panggil Bunda.

"Kyaa ..." Isabel kembali dikejutkan dengan kedatangan Bunda Arin yang sangat tiba-tiba. Isabel sampai menjatuhkan serok yang tadi dipegangnya.

"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Bunda kaget.

Isabel nampak seperti orang linglung. Rasanya dia ingin sembunyi saja saat ini juga. Dua kelakuan memalukan yang dia lakukan, diketahui oleh dua orang yang berbeda, itu pun oleh suami dan Ibu mertuanya sendiri.

"Sayang," panggil Bunda kembali.

"Kamu kenapa Nak?" Bunda terus saja bertanya pada Isabel.

"Eh ... emm ... aku ... aku ..." ucap Isabel gugup.

"Hmm ... ya sudah sayang, gapapa. Bunda ga akan tanya lagi."

Seolah tahu yang dirasakan oleh Isabel saat ini, Bunda tidak ingin mengganggunya dan memberikan banyak pertanyaan yang membuatnya menjadi semakin malu.

Isabel mengaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Bunda menyentuh pipi Isabel dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang.

Bunda memang sudah menganggap Isabel seperti putri kandungnya sendiri, bukan seorang menantu.

Isabel merasa bersalah kepada Bunda. Bunda telah memberinya kasih sayang yang sangat besar, tapi dia menikahi putranya dengan tidak tulus dan penuh paksaan.

"Bunda, terimakasih Bunda telah menyangiku," ungkap Isabel.

Senyum tulus seorang Ibu, terpancar jelas dibibir milik Bunda. Isabel tidak kuat mendapat perlakuan manis dari Bunda. Tetes air mata mulai merambat dipipi Isabel.

"Sudah sayang, jangan menangis. Putri Bunda terlihat tidak manis lagi kalau sedang menangis seperti ini," canda Bunda.

Isabel menahan tawa bahagianya saat Bunda mengatakan hal itu.

Kemudian Bunda langsung memberikan pelukan hangat kepada Isabel.

Isabel sangat bahagia, walau pun menikahi laki-laki yang sama sekali tidak diinginkannya, tetapi dia beruntung karena mendapatkan Ibu mertua yang sangat luar biasa baiknya.

Bunda Arin melepas pelukannya dan mulai menyentuh pipi Isabel untuk menghapus air matanya.

Jika begini terus, mungkin saja Isabel tidak akan merindukan Ibu kandungnya karena sudah ada Ibu pengganti yang tak lain adalah mertuanya sendiri.

Bersambung ....


Load failed, please RETRY

Hadiah

Hadiah -- Hadiah diterima

    Status Power Mingguan

    Rank -- Peringkat Power
    Stone -- Power stone

    Membuka kunci kumpulan bab

    Indeks

    Opsi Tampilan

    Latar Belakang

    Font

    Ukuran

    Komentar pada bab

    Tulis ulasan Status Membaca: C2
    Gagal mengirim. Silakan coba lagi
    • Kualitas penulisan
    • Stabilitas Pembaruan
    • Pengembangan Cerita
    • Desain Karakter
    • Latar Belakang Dunia

    Skor total 0.0

    Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
    Pilih Power Stone
    Rank NO.-- Peringkat Power
    Stone -- Batu Daya
    Laporkan konten yang tidak pantas
    Tip kesalahan

    Laporkan penyalahgunaan

    Komentar paragraf

    Masuk