Alasannya tentu banyak kalau disebutkan satu per satu. Pertama, dia adalah anak berandalan legendaris Gaman Patih. Kedua, catatan kejahatannya di desa-desa terlalu parah. Ketiga, hidupnya susah. Keempat, parasnya serampangan. Kelima, keenam, ketujuh dan seterusnya masih cukup untuk memanjangkan paragraf ini.
Ah, tidak.
Mungkin masih ada satu alasan lagi. Yang terkuat. Yakni dengan latar belakang seburuk itu, dirinya malah diizini masuk Ndalem setalah Gaman memintanya langsung ke Kiai Nasiruddin.
Tepat pada hari pertama kedatangannya di pesantren ini.
Gaman mengeluh banyak hal sebelum menyerahkan segala sesuatu kepada Kiai Nasiruddin. Sebab dia mulai punya keinginan jadi ayah yang lebih baik. Lalu menyuruhnya mengabdi saja karena tidak sepintar santri yang lain. Atau setidaknya, begitulah penilaian Gaman.
Gaman tahu diri. Sebab selam hidup dia belum pernah sanggup menyekolahkan Geni ke lembaga formal. Pun tak berpikir itu penting sampai hari isterinya bunuh diri.
Ah, kok sekolah...
Mencari biaya untuk makan bertiga saja susah. Lalu mengapa tak mengajarinya mencopet demi bertahan hidup setiap hari? Pikirnya waktu itu.
Sampai-sampai pesantren ini gempar seketika—ralat. Bahkan satu kampung pun ikut ribut saat dirinya menggiring Geni masuk ke gedung putera sebagai teman sekamar Mirza dan Khilmy. Apalagi sebagai abdi ndalem yang bertugas di kantin bersama keduanya.
Berita-berita pun mulai menyebar luas. Simpang siur. Dari desa satu ke desa lain. Bahkan ada rekan lama Gaman yang menyemburkan bir dari botol begitu mendengar hal tersebut.
Lalu mulut-mulut pun mulai berbisik heran. Dimana-mana ada, sampai-sampai membuat Geni terbiasa dengan risihnya.
"Hei, dengar-dengar ada dua berandal yang tobat lho..."
"Heh? Kata siapa?"
"Banyak orang lah. Beritanya sudah nyebar tahu..."
"Berandal mana maksudmu?"
"Gaman Patih dan anaknya. Pernah dengar?"
"Oh—wow! Yang benar kamu?"
"Iya, lah... berani taruhan lima puluh ribuan aku!"
"Yeee... ngaco!"
"Denger-denger sih, si Gaman sadar setelah ditinggal istrinya mati."
"Heee?"
"Iya. Bunuh diri. Parah sekali, kan?"
"Ah, gila..."
"Udah ketiban utang judi sih, katanya..."
"Oh, gitu..."
"Kasihan, ya."
"Ah, biarin. Mereka pantes aja lah ngalamin itu."
"Dasar berandal."
Dan Hizqil hanyalah satu contoh santri yang sejak awal kurang suka pada kehadirannya. Sampai-sampai sempat membuat Geni tertekan. Tapi Gaman justru bilang, "Ndak usah dengerin! Kayak kita pernah peduli sama omongan orang saja, ngerti?"
Membuatnya tegar dan mengangguk patuh waktu itu. "Nggih, Bapak," katanya pelan. Lalu diam saja saat ditarik masuk gerbang utama pesantren Darul Amin.
Menebalkan muka.
Masa bodoh pada ratusan pasang mata santri sana yang menatap mereka layaknya hama.
Pun tak peduli pada apapun sesuai kata-kata Gaman yang bermakna.
Sayang, setelah seminggu merasa mulai tenang, Geni justru ketar-ketir kali ini. Padahal kedua kakinya sudah menjauhi pintu kantor itu sejak tadi. Maksudnya, pemandangan aneh barusan... yang terlihat sangat jelas meski hanya sempat membuka sedikit daun pintunya.
Mereka adalah Zaki dan Hanin.
Dua laki-laki yang katanya masih sepupu, tapi malah berpelukan di sofa sedekat itu sebelum berciuman layaknya kekasih.
Sungguh.
Geni sampai tak mau percaya pada dirinya sendiri, meski tak ada masalah mata sekali pun selama hidupnya.
"Saya tadi salah lihat kan..." gumam Geni tanpa sadar.