Aku menanti pagi untuk segera ingin menyampaikan kepada teman-temanku, fakta apa yang aku bawa semalaman ini. Aku sedikit memiliki harapa untuk tersenyum dengan segala kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi dengan hubunganku bersama Arman. Meskipun Ayah masih memaksa aku tetap dengan Royan, tapi aku masih punya harapan dari bantuan dan solusi dari teman-teman yang bis jadi mau membantuku untuk bisa berpisah dari Royan.
Aku memejamkan mataku dan berharap pagi segera menjemput.
PAGI HARI ...
Aku sangat bersemangat untuk pergi ke kantor, ingin aku sampaikan kepada semua orang bahwa pria itu tidaklah baik untukku. Aku berharap bisa menjauh darinya. Tentu dengan bantuan teman-temanku. Aku harap begitu.
Aku menunggu mereka datang dan aku ingin mengajak mereka konferensi meja bundar. Hehee.
"Ardy, Liza dan Arman. Aku mau menyampaikan sesuatu yang penting, sini yuk ngumpul bentar sebelum masuk kerja.
Mereka berdatangan ke arahku dan memasuki ruang admin dimana aku dan Liza bekerja.
Aku duduk di samping Arman.
Ardy duduk di kursiku yang menghadap komputer berjejer dengan Liza.
"Semalam aku menemukan rahasia dari calonku itu yang mengagetkan aku," ucapku. Membuat mereka bertanya bersahut-sahutan. Tak sabar menunggu penjelasanku.
Apakah itu? Mereka semua melongo dan benar-benar berkonsentrasi dengan topik ceritaku. Aku menceritakan apapun yang terjadi kemarin, dari awal keberangkatanku sampai dinner disana, ada Laura itu juga sampai pulang di rumah dan tentang respon Ibu dan Ayahku terhadap itu semua. Teman-temanku ini tak berkedip menyimak hal itu.
"Ibumu sudah benar, Nez? Tapi Ayahmu kenapa masih keras kepala begitu?" Liza menyahutku.
"Aku tadi sempat tersenyum Nez, aku kira aku bisa memiliki kesempatan, tapi saat kau bilang Ayahmu tidak berubah keputusannya. Aku jadi down lagi," Arman mengatakan isi hatinya.
"Harusnya itu kesalahan fatal lho, sebagai laki-laki dan harusnya seorang Ayah melarang Putrinya berhubungan dengan pria bermasalah. Kok maaf Nez, Ayahmu sedikit aneh," tambah Ardy.
"Itulah Prends! Aku bingung harus bagaimana, Ibuku padahal sudah menangis dan menolak melanjutkan hubungan itu. tapi Ayah entahlah apa sih yang ada di kepalanya. Aku sama sekali tak mengerti," desisku kecewa.
"Aku butuh solusi, ide dan saran kalian. Apa yang harus aku lakukan? Aku tak mau hidup dengan pria yang bermasalah begitu. belum apa-apa sudah ada masalah gini? Gimana nanti? Iya kan?" ucapku lagi.
"Arman, dia sudah seenaknya tidur dengan banyak wanita di masa lalu. Ayo Arman hanya kita yang bisa menggagalkan pernikahanku itu!" Aku memegang tangan Arman dan menatapnya.
"Caranya?!" Arman menanyakan. Liza dan Ardy masih melongo menunggu cara apa yang aku akan katakan itu.
"Ayo Arman ...."
"Apa Nez? Mau apa?" tanya Arman.
"Ayo hamili aku!" cerocosku enteng.
"GUBRAKH!" Si Ardy terjatuh ke lantai.
"Uhukk Uhukkk!!!" Liza melotot terbatuk-batuk.
Kulihat Arman terkaget, bersemu merah. Mungkin malu di dengar yang lainnya.
Arman memegang keningnya.
"Ngomongnya pelan-pelan, malu Nez di dengar teman yang lain." Wajah dia memerah.
"Eh Buk, bisa gak sih ngomongnya tuh di sensor dikit?!" Gerutu Ardy sembari bangkit
dari jatuhnya.
"Emang kenapa? kita-kita uda 20+ semua, kan gak ada masalah dong?" protesku sewot.
"Eh ya tolong empatinya dong dipake, kalian ngomong hamil-hamilan, kami Jones nih, Jones, Nez (jomblo ngenes), kira-kira dong ngomongnya!" Tambah Ardy.
"Iya ih, kamu makin enggak waras, sampai pemikiranku gak nyampai tau, Nez ... Nez ...." Liza sambil menggeleng geleng kepalanya melihat kelakarku.
"Sekarang kalian pikir, dia aja sudah seenaknya tidur dengan banyak perempuan, sampe yang gak dicintai lagi. Tuh bejat kan? Emang ada cara lain buat aku dan Arman bisa menikah? Kan enggak Ada? Ya bener deh, Arman harus menghamili aku, baru aku bisa menikah sama Arman?"
"Yeeee nih anak, pakai diulang-ulang lagi?" jawab Ardy.
"Dengar Nez," Arman menatapku lekat-lekat sambil kedua tangannya meraih kedua tanganku.
"Kalau kamu nyuruh aku hamilin kamu, itu sama saja kamu nyuruh aku jadi seperti dia? Apa bedanya aku sama dia kalau begitu?"
"Lah! Ya beda dong, dia itu banyak perempuan. Kamu cuma satu perempuan, orang yang gak cinta saja main embat kan? Kalau kamu kan mencintai aku. jadi kalau kamu ya hanya dengan orang yang kau cintai, itu berbeda dong dengan dia?" aku menjabarkan alasanku.
"Aku ... mana mungkin melakukan itu Nez?"
"Iya lah Nez, kamu jangan nekat, iya kalau kalian bisa menikah masih mending, lihat Ayahmu sepertinya sangat keras kepala. Bisa-bisa Arman yang dijebloskan penjara. Lha kamu? merana akhirnya tetap menikah dengannya." sahut Liza.
"Lalu aku harus bagaimana lagi? Semua cara yang aku lakukan selalu salah dan pada akhirnya tidak mengubah apa-apa?" nadaku lirih dan aku menangis lagi.
"Memang kita enggak bisa melakukan apa-apa Nez? Semua kan di tangan Ayahmu? Ibumu saja yang notabene orang paling dekat dengan Ayahmu tak bisa melakukan apa-apa? Bagaimana kita? Siapalah kita ini?" potong Liza.
"Arman gimana? Kamu mau bilang apa?" tanyaku padanya.
"Kalau kau tanya hatiku, aku sangat setuju dengan semua idemu. Tapi akalku menolaknya Nez, semua itu terlalu fatal jika kita nekat,"
"Semua itu tergantung Ayahmu, kalau sampai hal tak diinginkan terjadi? Bisa saja Ayahmu itu menuntut keluarga Arman? Bagaimana perasaan Ibunya? Ayah dia juga Nez? Kamu juga harus pikirkan itu ... bukan hanya satu sudut pandang saja." Liza menambahkan lagi.
Yaa ... akhirnya tetap tak bisa berbuat apa-apa, sedih sekali harus menerima kenyataan ini, sudah tahu kejelekan orang itu, tapi masih harus tetap menikah dengan dia? Gimana rasanya perasaanku kelak?
"Aku tahu, kalian memang takkan bisa berbuat apa-apa, aku pun sama. Harus mengikuti alur sesuai kemauan Ayah. Aku juga baru ingat kalian semua takkan bisa mambantuku sebab bagaimanapun Ayahku sudah menjualku pada orang kaya itu. Dan tak bisa lagi menarikku Karena pelunasan sudah dilakukan di depan? Mungkin kata ini yang cocok untuk menggambrakan nasibku," Aku seketika menjatuhkan kepalaku diatas meja kerjaku, dengan tangan bersendekap diatas meja itu. Aku merunduk ... Aku menangis ... Arman, aku merasakan mengelus rambutku. Liza dan Ardy tampak diam membisu.
"Aku juga berat kalau pada akhirnya harus mengatakan kepada kalian. Karena sudah tak ada lagi yang bisa menghentikan. Aku mau bilang bahwa hari minggu besok aku dan dia sudah disiapkan acara untuk bertunangan. Aku harap kalian semua datang. Aku tak tahu akan ada hari sesedih itu bagiku, tapi itulah rencana Ayah." Aku semakin sesenggukan mengatakan itu juga akhirnya.
"APA?! Kamu ... minggu tunangan? Maafkan aku Nez, aku tak tahu bagaimana cara aku mempertahankanmu, aku sangat lemah dalam hal ini. Aku sekarang benar-benar kalah," Arman mengatakan lirih. Aku tahu pasti ia sangat terpukul dengan kabar mendadak ini.
Hai ... tengah malam. dini hari baru Up, makasi ya readers tersayang. Sudah setia dan bersabar menantikan kisah ini. Terima kasih atas Support PS, komen dan mengiringi tulisanku selalu. Saya sangat senang.