Unduh Aplikasi
4.24% FIREFLIES : first love / Chapter 7: Bertemu Si Bodoh

Bab 7: Bertemu Si Bodoh

"Sial!.."

Simon mendesis pelan, memutar kunci lalu menginjak pedal gas. Maserati Levante Silver berpacu dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan yang cukup ramai dipadati oleh kendaraan lain. Bagi Simon, tak ada yang lebih penting ketimbang menemukan cincin berwarna hitam, pemberian dari Caroll saat ulang tahun ke tujuh belas. Meski wanita itu malah meremehkan arti dari sebuah cincin.

Kalau dipikir lagi, ucapan Caroline tak sepenuhnya salah. Dengan usia Simon yang beranjak dewasa, apalagi Simon pun sadar dia tak seharusnya begitu membanggakan sebuah pemberian, ditambah si pemberi itu sendiri tak menganggapnya penting.

Tindakannya ini malah akan membuat sosoknya tampak seperti orang bodoh.

'Apa berharganya sebuah cincin hitam?'

Sangat berharga.

Simon, di usia ketujuh belas, mendapatkan kado paling berharga —selain berhubungan badan— yaitu cincin berwarna hitam metalik yang akan memantulkan cahaya. Terkesan keren dan elegan. Meskipun saat itu dia menerima dengan wajah biasa saja, tak ada yang tahu bagaimana perasaannya berbunga-bunga karena jelas dia memiliki perasaan lebih dalam terhadap wanita yang lebih tua darinya itu. Caroline adalah cinta pertamanya, walaupun Simon berusaha keras tak terlalu terlihat.

Tentu saja karena dia sendiri pun tahu bagaimana wanita itu memandangnya. Hanya sebagai anak kecil yang butuh teman -teman tidur tepatnya.

Cinta pertama katanya memang tak pernah berakhir secara mulus.

Menyedihkan.

Maka sampai sekarang, Simon hanya bisa menyimpan perasaannya di dalam sebuah cincin hitam metalik.

Gerimis tipis membasahi kaca depan mobil, terlihat tipis dan tak terlalu mengganggu pandangan, bisa ditebak jika keadaan di luar tak sederas beberapa saat lalu.

Simon menghentikan mobil berwarna silver tepat di parkiran sebuah cafe. Tempat terakhir kali dia datangi. Dari kejauhan saja sudah terlihat jika bangunan tersebut sudah menggelap. Lampu-lampu yang menerangi sudah dimatikan, baik yang di luar maupun di dalam. Hanya tersisa lampu jalanan dengan nyala remang-remang. Di lihat dari sisi manapun, Cafe ini telah melewati jam tutupnya.

Si pengendara Maserati Levante memukul stir, umpatan samar-samar terdengar dari bibir berwarna semerah darah. Walau hatinya berdoa setengah mati agar setidaknya ada setitik keajaiban. Misalnya seperti ada salah satu staff yang masih berada di sekitaran tempat ini, lalu berbaik hati memperbolehkannya untuk masuk, atau malah ikutan membantu mencari cincinnya yang hilang.

Simon, betapa kau sangat tamak dan tak tahu diri.

Simon tak peduli jika Tuhan tengah memasukan namanya dalam daftar hitam lalu menghapus berkat keberuntungannya selama setahun. Asal dia bisa mendapatkan kembali cincin hitam tersebut.

Pintu mobil terbuka dan kemudian terbanting dengan suara keras seiring sosok pemuda keluar dari dalamnya. Melangkahkan kaki terburu-buru menuju ke arah pintu utama yang tertutup, sudah pasti telah terkunci.

'Greg.. Greg..'

Simon menggenggam erat pegangan pintu, mendorong serta menariknya cukup kuat hingga menimbulkan suara gemeresak berisik. Siapa saja yang melihat situasi saat ini pasti langsung menyimpulkan bahwa ada pencuri yang sedang membobol Cafe ini.

'Terkunci, Sial!'

Ucapan adalah doa, meski hanya diucapkan dalam hati saja. Simon merutuki kebodohannya untuk kesekian kali, seharusnya dia berbicara yang baik-baik saja. Tuhan pasti tak akan mau mendengarkan doa dari orang berdosa besar seperti dirinya.

"HOY! SIAPA DI SANA!"

Suara berat seseorang di belakang sontak menghentikan aksi Simon. Benar-benar apes, tempat ini seolah melengkapi kenangan buruknya dalam satu hari ini. Setelah dicampakkan, disiram kopi lalu sekarang dia akan digiring ke kantor polisi atas tuduhan pembobolan Cafe yang tutup. Demi apapun di dunia ini, Simon bahkan sanggup membeli satu bangunan ini beserta para pegawainya kalau perlu, tapi itu belum cukup untuk meyakinkan siapapun orang di belakangnya bahwa dia bukanlah seorang pencuri.

"Maaf, ada barang saya yang tertinggal di dalam Cafe ini..." kata Simon sembari berbalik badan. Dia sedikit terkejut melihat seorang pemuda berperawakan tinggi besar berjalan ke arahnya. Dia tak bisa melihat wajah pemuda itu, tapi firasatnya mengatakan bahwa orang di depan sana bisa saja meremukan tubuh kurus tanpa otot miliknya ketika mencurigai alasan yang baru saja dia jabarkan.

Alasan—

Lalu, secara cepat Simon menyesal karena sadar alasan semacam itu tentu tak akan langsung dipercaya. Kalau ada satu saja orang yang percaya, bisa dibilang kasus perampokan dan pencurian di negeri ini akan semakin melonjak tinggi setiap hari. Terkecuali jika orang tersebut cukup bodoh untuk mengiyakan.

"Benarkan? Kalau begitu kebetulan sekali, saya juga melupakan sesuatu di dalam sana~" ujar si pemuda tinggi sembari tersenyum lebar. Dengan santai dan tanpa curiga, pemuda itu berjalan melewati Simon lalu membuka pintu Cafe dengan kunci di tangannya.

Ah, ternyata Simon baru saja bertemu dengan salah satu orang bodoh.

Simon hanya berdiri di belakang pemuda bertubuh tinggi itu, menunggu sampai pintu terbuka, selanjutnya dia akan mencari dengan leluasa tanpa takut disangka pencuri. Sepertinya, Tuhan benar-benar mendengar doanya beberapa saat yang lalu, hanya saja terpaut jeda waktu cukup panjang sampai permintaannya terkabulkan. Tidak panjang juga, Simon lah yang tak sabaran sebenarnya.

"Ah, sebentar.... kunci mana yah yang benar...." gumaman pemuda tinggi sampai ke telinga Simon yang berada di belakang. Memunculkan dugaan besar dan lebih spesifik.

Pemuda ini lebih bodoh dari perkiraan awal Simon. Bukan hanya mudah mempercayai ucapan seseorang, dia juga ceroboh. Tubuh besar tak menjadi patokan isi kepalanya juga besar. Simon meringis, menyadari bahwa kemungkinan dia tak akan mendapatkan cincin hitam tersebut secepatnya. Ah, bahkan dia sendiri tak terlalu yakin jika cincin tersebut ada di dalam Cafe ini. Tindakan selanjutnya sangat bergantung pada si pemuda bertubuh tinggi yang masih sibuk memindai manakah kunci yang benar.

Pemuda bertubuh besar?

"Kau pemilik tempat ini? Penumpah minuman?"

Pertanyaan dadakan dari Simon sontak membuat si pemuda tinggi berhenti memilah kunci, terkesiap dengan bahu menegang lalu diiringi dengan suara gemerincing dari kumpulan kunci yang terjatuh ke lantai. Tampaknya bukan hanya Simon saja pihak yang baru menyadari satu hal.

Kebetulan yang membuat canggung keadaan.

Terutama bagi si pemuda tinggi yang kini terlihat ragu-ragu memutar sudut badannya. Menoleh ke arah Simon dengan cengiran lebar di wajah, jelas untuk menutupi ekspresi cemasnya.

"Ma—maafkan aku Tuan!"

Si pemuda tinggi —Ashley— langsung membungkukkan badan, seperti yang telah dia lakukan sebelumnya saat tak sengaja menumpahkan minuman di pakaian Simon.

"Aku tak mengerti kenapa kesialan selalu menimpaku di tempat ini," Simon menatap datar sambil menyilangkan tangan di dada. "Ah, bukan, sepertinya karena bertemu denganmu membuat kesialan menimpaku terus menerus.."

"Maafkan saya Tuan!"

Pemuda itu masih setia membungkuk.

Simon menghela nafas pelan, dia jadi merasa tak enak telah meluapkan emosi pada orang yang sebenarnya tidak salah. "Sudah cukup membungkuk seperti itu, memangnya kau robot 'minta maaf'?"

"Ini sebagai bentuk ketulusan hati saya agar anda memaafkan~"

'Pluk'

Simon menepuk dahinya sendiri. Dia paham sekarang, pemuda di depannya adalah tipikal orang keras kepala yang tak akan berhenti sebelum tujuannya tercapai.

Bodoh, ceroboh dan keras kepala.

Lengkap sudah komposisi hari sialnya.

"Iya iya....ku maafkan. Jadi, cepatlah berdiri," kata Simon dengan nada memerintah. Sebagai orang yang masih waras, dia mempunyai kesadaran diri untuk mengalah. Apalagi, dia harus cepat-cepat menemukan cincin hitam metalik tersebut.

Berkat perkataannya barusan, pemuda tinggi itu akhirnya bangun, lalu kembali memasang tampang berseri-seri yang sangat tidak cocok dengan tubuh besarnya.

Simon rasa, pemuda di depannya itu memiliki keterbelakangan mental. Lihatlah, bagaimana bisa lelaki dewasa seperti itu bertingkah layaknya anak kecil. Dia cukup terganggu dengan tampang polos itu.

Si pemuda besar kembali berbalik badan menghadap pintu yang masih terkunci, kembali pada kegiatannya tadi, mencari kunci yang benar. Bunyi gemerincing saat kumpulan kunci diguncang, juga gumaman kesal saat tak menemukan kunci yang pas, membuat Simon di belakangnya berdiri dengan tangan yang gatal.

"Kemarikan," sergah Simon, mengambil alih kumpulan kunci dari tangan pemuda lainnya. Dia sebenarnya orang yang cukup tenang dan penyabar, tapi untuk kali ini, kesabarannya sudah hilang oleh satu orang bodoh. Iris gelapnya mencermati setiap batang kunci, mengamati lekat-lekat dan mencobanya satu persatu. Sama seperti yang dilakukan si pemuda tinggi, tak jauh beda sebenarnya. Hanya saja, pada kali ke dua mencari kunci yang cocok, dia sukses melakukan pencariannya.

Kunci berbentuk pipih dengan batang bergerigi berhasil membuka pintu yang terkunci. Lalu, Simon memberikan kumpulan kunci tersebut pada pemuda di belakangnya dengan tatapan meremehkan.

"Ta—tadi saat ku coba tidak bisa!" Ashley menyangkal, hidungnya kembang kempis ketika menyadari arti dari tatapan pemuda yang lebih kecil darinya. Yeah, meskipun dengan tubuh mungil, namun Ashley bersumpah jika dia merasa aura yang sangat kuat dari pancaran bola mata sehitam malam.

Lebih tepatnya, membuat dia jadi salah tingkah.

Simon tak menggubris, dia membawa langkah kakinya memasuki ruangan yang sudah menggelap. Tak heran karena Cafe ini sudah tutup beberapa waktu lalu. Simon tak ambil pusing untuk menyalakan cahaya flashlight ponselnya daripada meminta pada si pemuda besar tapi bodoh untuk menyalakan lampu.

Simon sedikit membungkuk, menyoroti setiap jengkal celah yang memungkinkan jadi tempat hilangnya cincin hitam. Kolong bangku, celah diantara kursi-kursi, di bawah pot tanaman kecil, Simon mencari dengan sangat teliti. Bola matanya memicing dan alisnya berkerut agar dapat melihat dengan lebih jelas.

Sayangnya, dia bukanlah kucing, kelelawar atau hewan malam dengan penglihatan sangat tajam di ruangan gelap. Dia tetaplah manusia yang mempunyai keterbatasan penglihatan. Ditambah benda yang tengah dia cari adalah sebuah cincin berwarna hitam.

Hitam metalik akan sangat membaur dengan kegelapan di sekitarnya, membuatnya menjadi tak terlihat sama sekali.

Ini sungguh merepotkan, tapi Simon masih merasa sungkan untuk meminta pada si pemuda tinggi agar lampu tempat ini dinyalakan. Dari sudut mata, Simon dapat melihat sosok pemuda tadi telah berlalu masuk ke dalam ruangan lain, dapur barangkali. Melenggang santai tanpa memerlukan penerangan selain matanya sendiri. Tanpa takut menendang benda-benda lain di sekitarnya.

"Ck! Aku juga bisa melakukannya!"

Entah sejak kapan Simon jadi lebih bersungut-sungut dalam pencariannya.


Bab 8: Sudah Ketemu

"Anda belum menemukan barang anda?" sosok pemuda tinggi terlihat keluar dari ruangan lain, tepatnya berdekatan dengan meja saji, mungkin tempat penyimpanan persediaan.

Apapun itu Simon tak terlalu peduli, dia terlalu sibuk untuk menjawab pertanyaan yang lumayan penting itu. Karena bisa saja si pemuda tadi akan segera menutup Cafe ini, hanya tinggal mendapat jawaban dari Simon lalu kemudian mereka akan keluar secara cepat. Maunya memang begitu, tapi nyala senter dari ponsel tak cukup untuk membuat pencahayaan menjadi lebih terang. Simon merasa dirinya menjadi karakter game horo yang pernah dia mainkan. Berada di gedung gelap, hanya berbekal senter dan sendirian.

Lupakan saja si pemuda besar di ujung ruangan, manusia itu tak membantu sama sekali.

Baik, harusnya perkataan itu dibalikkan pada Simon. Karena pada dasarnya dia sendiri tak meminta bantuan apapun pada si pemuda tinggi.

"Ah, maaf! Saya lupa menyalakan lampu!"

Ashley tergopoh-gopoh berlari menuju saklar lampu di dekat mesin penghancur kopi. Menekan beberapa tombol berwarna putih lalu cahaya mulai menyeruak dari lampu-lampu gantung di langit-langit Cafe, kegelapan yang tadi mendominasi langsung hilang. Bersamaan dengan si pemuda tinggi yang berjalan ke arah Simon.

"Biar saya bantu.."

Si pemuda tinggi menawarkan diri, entah karena inisiatif atau sebenarnya dia bisa membaca isi pikiran Simon. Benar, diam-diam Simon telah banyak menggerutu di dalam hati, memaki tentang ketidakpekaan sosok tinggi besar satu ruangan dengannya, tentang kebodohan sosok itu karena tak langsung tanggap menyalakan lampu, atau mungkin Simon hanya butuh pelampiasan saja untuk mengurangi kadar darah yang sudah tinggi sampai melampaui batas kenormalan.

"Tidak perlu, aku bisa sendiri."

Simon dengan harga diri kuat menolak dengan tegas bantuan yang ditawarkan oleh si pemuda besar. Dia bahkan tak menatap barang sedetik pun dan masih berjalan ke seluruh penjuru ruangan, kepalanya menunduk dan masih menyoroti dengan cahaya flashlight dari ponsel di tangannya. Walaupun cahaya lampu di atas cukup untuk menerangi bawah kolong meja sekalipun, Simon tak mau menerima itu semua.

"Akan cepat untuk menemukan barang anda jika kita mencarinya bersama-sama."

Saran dari si pemuda tinggi sangat masuk akal. Semakin banyak orang semakin baik bukan. Namun, mungkin Simon sudah terlanjur malu jika dia menerima bentuan dari pemuda yang telah ia maki-maki dalam hati. Seperti menjilat ludah sendiri dan Simon tak mau melakukan itu.

"Kalau kau ingin membantu, setidaknya berdiri saja dan tunggu sampai aku menemukan barangku."

Di belakang , Ashley mengerucutkan bibir, untung saja Simon tak melihatnya karena sudah pasti dia akan menjatuhkan tatapan risih atas tindakan Ashley yang terkesan tak sadar umur.

"Kalau anda mencarinya sendirian, kita pasti akan menemukannya saat fajar tiba," ujar Ashley dan lagi-lagi dia membeberkan fakta sebenarnya. Yang tentu saja hal itu membuat Simon di depan sana mendecak sebal.

"Heh.." Simon mengangkat wajah yang sedari tadi menunduk, lalu memutar badan menghadap ke arah si pemuda tinggi yang berada lima langkah di belakangnya. "Siapa namamu?"

"Ashley Pak!" jawab Ashley dengan pose tegap seperti tentara. Ah, dia tampak gugup sekarang. Ruangan yang telah terang benderang membuatnya jadi lebih mudah melihat sosok pemuda bertubuh kecil, tepatnya pada paras rupawan yang mulus dan putih seperti porselen. Di mata Ashley, seolah yang berdiri di depannya adalah sosok vampir seperti dalam film fantasy romance. Kulit putih berpadu dengan bibir semerah darah.

"Pak? Aku tidak setua itu."

"Yah? Kakak!" Ashley meralat ucapannya masih dengan posisi tegap sempurna.

Simon lantas menepuk dahinya sendiri, dia sudah kehabisan kata-kata untuk memaki si pemuda jangkung. "Jangan asal memanggilku begitu, kita sama sekali tidak akrab!" hardik Simon dengan suara tinggi, cukup membuat Ashley tersentak saking kagetnya. "Dan, berhenti bersikap konyol seperti itu, memangnya kau sedang wajib militer huh?"

Ashley menyisir rambut cepaknya ke belakang, menandakan dia sedang merasa gugup sekarang. Sepertinya, apapun yang dia katakan atau lakukan akan selalu terlihat salah di mata pria berkulit pucat ini. Tapi, bukan Ashley namanya jika tidak keras kepala. Tanpa diminta dan tanpa persetujuan, dia lantas ikut melakukan pencarian barang milik si pria Vampir. Ah, benar, Ashley tak menanyakan nama pria tersebut. Sepertinya juga percuma saja jika dia menanyakan hal itu sekarang.

"Benda apa yang anda cari Tuan?"

"Hey, sudah ku bilang tidak usah membantu—"

"Saya juga ingin segera pulang, jadi sebaiknya kita lakukan pencarian ini agar cepat ditemukan."

Diluar dugaan, respon Ashley yang terkesan dingin mampu membuat Simon membungkam mulut, tak ada lagi protes.

"Jadi, bisa tolong sebutkan ciri-ciri barang yang Anda cari?" tanya Ashley lagi.

"Cincin," sahut Simon. "Cincin berwarna hitam metalik dengan tekstur sedikit kasar karena terdapat arsiran bergelombang pada permukaannya," dia melanjutkan dengan penjelasan sedetail mungkin.

"Cincin?" Ashley menegakkan tubuhnya yang tadi membungkuk. "Maksudmu, cincin semacam ini?"

Simon sontak memutar kepala, matanya langsung menjadi fokus ke arah sebuah benda berwarna hitam metalik yang berkelip memantulkan sinar dari cahaya lampu di atasnya. Benda itu, cincin yang selama dia cari ternyata ada pada si pemuda jangkung berwajah menyebalkan -Simon tak terlalu peduli pada nama si pemuda yang baru saja dia ketahui- kalau tahu begini, untuk apa dia susah payah mencari dalam kegelapan apalagi menghabiskan waktu untuk sekedar mengobrol dengan orang asing tak menyenangkan. Buang-buang waktu saja.

Simon segera menyambar cincin miliknya secepat kilat, memperhatikan dengan seksama lewat iris mata sekelam langit malam di luar sana. "Di mana kau temukan ini?" tanya Simon tak santai.

"Saat mengepel lantai yang basah ketika... ketika saya tak sengaja menumpahkan minuman pada Anda," jawab Ashley agak takut, dia bahkan tak berani menatap langsung bola mata sipit yang terkesan menelanjanginya sekarang.

Otak Simon bekerja, dengan segala kejeniusannya langsung mengambil kesimpulan secara paten dan pasti. Cincin ini sangat merekat sempurna pada jari manisnya, butuh tarikan cukup kuat atau cairan pelumas yang licin agar dapat melepaskan dari jemari. Cairan itu, tentu saja si kopi dingin laknat. Dan si brengsek jangkung di depannya telah menyimpan cincin ini cukup lama.

"Kenapa kau tak bilang dari awal?!"

"Anda kan tidak menjawab pertanyaan saya tadi.." Ashley mundur selangkah dari tempatnya berdiri, jaga-jaga kalau pria ini hendak melayangkan pukulan atau sejenisnya.

"Sial!"

Simon mengepalkan tangan di udara sementara Ashley sudah memejamkan mata erat, pikirannya sudah dipenuhi oleh hujaman bogem mentah. Namun ternyata Simon hanya sedang menahan amarah, setelahnya dia buru-buru pergi dengan langkah tergesah dan menubruk pundak lebar Ashley, entah sengaja atau tidak sengaja.

Ah, anggap saja sengaja karena Ashley meringis kesakitan sembari memegangi pundaknya.

Meski bertubuh kecil, ternyata pria itu memiliki tenaga yang lumayan kuat.

"Yah, aku lupa menanyakan namanya..."


Load failed, please RETRY

Hadiah

Hadiah -- Hadiah diterima

    Status Power Mingguan

    Membuka kunci kumpulan bab

    Indeks

    Opsi Tampilan

    Latar Belakang

    Font

    Ukuran

    Komentar pada bab

    Tulis ulasan Status Membaca: C7
    Gagal mengirim. Silakan coba lagi
    • Kualitas penulisan
    • Stabilitas Pembaruan
    • Pengembangan Cerita
    • Desain Karakter
    • Latar Belakang Dunia

    Skor total 0.0

    Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
    Pilih Power Stone
    Rank 200+ Peringkat Power
    Stone 0 Batu Daya
    Laporkan konten yang tidak pantas
    Tip kesalahan

    Laporkan penyalahgunaan

    Komentar paragraf

    Masuk

    tip Komentar Paragraf

    Fitur komentar paragraf sekarang ada di Web! Arahkan kursor ke atas paragraf apa pun dan klik ikon untuk menambahkan komentar Anda.

    Selain itu, Anda selalu dapat menonaktifkannya atau mengaktifkannya di Pengaturan.

    MENGERTI