Johannes Hendrik van den Bosch terlihat senang ketika anak perempuan satu-satunya datang mengunjunginya bersama dengan pasangan lesbiannya.
"Jadi, kau adalah pasangan dari Simone," kata lelaki tua itu menatap perempuan berambut panjang bergelombang berwarna merah.
"Iya, Tuan. Kami sudah hidup selama sembilan belas tahun," balas Juliette Rosenbluth dengan nada suara yang lembut.
"Cukup lama juga kalian hidup dan menjalin hubungan. Walaupun terdengar aneh, setidaknya aku senang juga melihat kalian hidup bahagia. Aku titip, Simone, yah." Lelaki tua itu tersenyum ramah menatap kedua perempuan tersebut. "Aku dengar kau sudah punya anak, Juliette. Mana anakmu?"
"Dia sedang bertugas, Tuan. Dia ingin sekali menjadi Tentara. Kalau tidak ada Simone, mana mungkin dia bisa menjalani karirnya dengan mulus," jawab Juliette.
Simone menghampiri ayahnya dan bersandar dengan penuh manja pada tubuh ayahnya. "Ayah, izinkan aku bersandar pada tubuhmu, untuk kali ini."
Johannes Hendrik van den Bosch mengelus dengan lembut kepala anak perempuan satu-satunya. "Seandainya saja aku tidak terlalu keras padamu. Mungkin kau tidak akan seperti ini. Aku benar-benar telah menjadi ayah yang buruk."
Simone hanya diam dengan ekspresi wajahnya yang datar.
"Kau memang seperti diriku. Bisa dikatakan diriku versi perempuan. Sayangnya Marielle meninggal saat melahirkanmu. Walaupun saat itu aku sempat mendengar kabar bahwa kau meninggal setelah melahirkan Athena. Aku meyakini bahwa kau masih hidup. Mungkin naluriku sebagai ayah mengatakan bahwa kau masih hidup. Walaupun aku tak tahu keberadaanmu."
Setelah berbicara santai. Johannes mengajak Simone dan Juliette untuk pergi ke sebuah kafe yang jaraknya tidak jauh dari rumahnya. Mereka bertiga tengah menikmati sajian makan malam yang ringan di kafe tersebut, dengan menu secangkir kopi panas, dan beberapa roti bakar dengan aromanya yang harum.
"Walaupun ini terkesan biasa saja. Namun sebagai seorang ayah, aku ingin memberikan kasih sayang yang cukup bagi anak perempuanku. Aku tahu ini memang terkesan murahan. Namun aku ingin bertindak sebagai seorang ayah untuk terakhir kalinya bagi anak perempuanku satu-satunya," kata Johannes Hendrik van den Bosch disela-sela menikmati roti bakar yang tengah mereka makan.
"Ini seperti kenangan dua puluh tujuh tahun yang lalu. Saat Ayah dan Mom Beatrix mengajakku ke sini untuk merayakan pesta ulang tahunku yang ke tiga belas. Mungkin kenangan tersebut hanyalah satu-satunya kenangan indah yang aku miliki tentang sisi lembutmu," balas Simone.
Johannes Hendrik van den Bosch tersenyum tipis mendengar kalimat yang dikatakan oleh Simone. "Satu-satunya sisi lembut yang kumiliki, yah."
"Tapi aku tidak dendam dan membencimu, Ayah," kata Simone seraya mengunyah roti.
Perlahan air mata membasahi kedua mata biru lelaki tua tersebut. Walaupun dia telah bersikap sangat keras pada anak perempuannya. Namun, Simone tidak menyimpan dendam padanya.
Seorang lelaki berkepala botak dengan pakaian serba hitam yang ada di kafe, berdiri, dan mengarahkan senapan AK-47 yang dia bawa. Dia menembak secara acak ke segala penjuru, di mana berondongan pelurunya menembus leher Juliette Rosenbluth yang membuatnya langsung tewas seketika. Beberapa orang langsung berjatuhan ketika orang itu melakukan sebuah pembantaian.
Simone begitu kaget ketika pasangan hidupnya mati secara mengenaskan di hadapannya. Johannes Hendrik van den Bosch segera memeluk Simone yang masih diam mematung. Kini giliran peluru tersebut menembus tubuh lelaki tua yang tengah melindungi puteri satu-satunya. Simone diam mematung ketika ayahnya menjadikan tubuhnya sendiri sebagai perisai daging untuk melindunginya.
Mayat-mayat bergeletakan di setiap sudut kafe, dengan total korban jiwa ada sekitar dua puluh tiga. Lelaki tersebut menembak dirinya sendiri setelah dia membantai dua puluh tiga orang.
Simone menangis dengan suara yang keras ketika dua orang yang dia cintai meregang nyawa di hadapannya. Dengan sisa kehidupan yang masih ada Johannes Hendrik van den Bosch mengusap air mata puterinya. Dia tersenyum menatap anak perempuan satu-satunya dan berkata dengan suara yang serak dan pelan, "Setidaknya aku bisa bertindak sebagai seorang ayah untuk terakhir kalinya."
Tangisan Simone semakin keras seraya memeluk tubuh ayahnya dan juga Juliette.
.
.
Pagi itu merupakan pagi yang kelam bagi Rakyat Belanda, khususnya penduduk Kota Den Haag, di mana terjadi sebuah penembakan masal di Ost Kafe yang menewaskan dua puluh lima orang termasuk penembak. Ratusan orang berkumpul menaruh rangkaian bunga di depan pintu masuk Ost Kafe.
Stadtholder Nikolaus dan Kanselir Leopold segera mengirimkan ucapan bela sungkawa terhadap Raja Wilhelm Nicolaas pasca penembakan tersebut. Begitupula dengan para Pemimpin negara-negara sahabat yang memberikan ucapan bela sungkawa terhadap Pemerintah Kerajaan Belanda.
Rumah berukuran cukup sedang yang terletak di Desa Munzenich, dipenuhi dengan orang-orang berpakaian serba hitam. Vivi tiba di rumahnya dengan didampingi oleh Brigadir Jenderal Frederick Edward dan istrinya, Puteri Monica.
Di sana mereka bertemu dengan pihak Konsulat Jenderal Prussia di Den Haag yang mengantarkan jenazah dari Juliette Rosenbluth.
"Yang sabar yah, nak. Kau harus kuat," kata seorang petugas Konsulat Jenderal Prussia yang ada di sana.
Vivi tidak mempedulikan orang itu. Dengan wajah yang berlinang air mata. Vivi segera memasuki rumahnya dan menghampiri peti jenazah ibunya. Tangan Vivi bergetar hebat ketika membuka peti jenazah ibunya. Ketika peti telah terbuka. Vivi terlihat sangat kaget melihat wajah ibunya yang sudah pucat dan terbujur kaku dengan lehernya yang dipenuhi perban yang berdarah.
Vivi menangis dengan suara tangisan yang terdengar pilu. Puteri Monica berjalan menghampirinya dan memeluk serta membelai lembut perempuan yang kini telah menjadi yatim piatu.
"Ibu, kenapa kau harus pergi meninggalkanku?!"
Vivi menangis dan terbatuk-batuk. Perempuan yang dikenal kuat itu tengah menangis ketika ibu yang dia sayayngi harus kembali ke sisi Tuhan. Vivi masih belum menerima kepergian ibunya, karena dia ingin ibunya melihat kesuksesan dirinya.
Puteri Monica hanya bisa memeluk anak perempuan yang oleh dirinya sudah dianggap seperti anaknya sendiri.
"Jangan menangis dan bersedih, sayang. Aku tahu akan perasaanmu. Tapi kau harus merelakan kepergian ibumu. Kau harus kuat, agar ibumu bahagia di sana. Walaupun ibumu sudah tidak ada, tapi ada kami di sini, dan bagiku kau sudah seperti anakku sendiri."
Vivi hanya bisa menangis dalam pelukan Puteri Monica.
Pukul sebelas, jenazah Juliette Rosenbluth dimakamkan di samping pusara suaminya, Valdemar Wilhelm Rosenbluth.
Ekspresi wajah Vivi terlihat begitu datar dan dingin, tidak seperti biasanya. Kepergian ibunya ke sisi Tuhan membuatnya seperti kehilangan sebagian semangat hidupnya. Vivi masih duduk terdiam di samping makam ibunya dengan ditemani Brigadir Jenderal Frederick Edward dan istrinya, Puteri Monica.
Sementara itu di Den Haag. Simone beserta para adiknya dan Keluarga Bangsawan 'Van den Bosch' tengah berdoa di Gereja. Dalam suasana duka, mereka memanjatkan do'a untuk kebaikan ayah mereka serta ketenangan dan kedamaian jiwanya di akhirat.
Hati Simone benar-benar terpukul dan hancur ketika ayahnya mati untuk melindungi dirinya. Kalimat terakhir ayahnya masih terngiang di dalam pikirannya, "Walaupun ini terkesan biasa saja. Namun sebagai seorang ayah, aku ingin memberikan kasih sayang yang cukup bagi anak perempuanku. Aku tahu ini memang terkesan murahan. Namun aku ingin bertindak sebagai seorang ayah untuk terakhir kalinya bagi anak perempuanku satu-satunya. Setidaknya aku bisa bertindak sebagai seorang ayah untuk terakhir kalinya."
Simone mengenakan pakaian serba hitam dan menggunakan kacamata hitam untuk menutupi kesedihannya. Simone sudah ikhlas menerima kepergian ayahnya yang tidak mungkin akan kembali lagi, begitupula dengan para adik tirinya, dan juga kerabat yang lainnya.
Simone tengah duduk termenung di tepi kanal di pinggir rumahnya sambil menatap beberapa kapal yang berlalu lalang. Bagi Simone, duduk di tepi kanal sambil memperhatikan kapal yang berlalu lalang sudah cukup untuk menghibur, dan mengobati hatinya setiap kali dia sedih.
Dengan ditemani Athena, Charla, dan Charlemagne. Elizabeth yang tengah hamil tua terbang menuju ke Den Haag secara tiba-tiba. Kanselir Leopold bersikap pasrah akan keputusan istri pertamanya yang tengah hamil tua, walaupun dia melarang Elizabeth untuk pergi ke tempat jauh. Namun, karena dia sangat mencintai Elizabeth, Kanselir Leopold mengizinkan Elizabeth untuk pergi ke Den Haag dengan ditemani Athena, Charla, dan Charlemagne.
Simone begitu kaget ketika sepasang tangan yang halus itu memeluk dirinya dari samping dan memberikan sebuah ciuman singkat di pipi bagian kanannya. Tindakan Elizabeth benar-benar membuat kaget ketiga anaknya.
"Kalau Ayah tahu, bisa fatal," bisik Charla kepada Athena dan Charlemagne yang mengomentari kelakuan bisexual ibunya.
"Eliz," kata Simone menatap perempuan berambut panjang bergelombang berwarna pirang kecokelatan. "Kenapa kau di sini? Apa kau tidak khawatir akan dimarahi Leopold?"
"Tenang tidak perlu khawatir. Kami di sini untuk menghiburmu," balas Elizabeth yang terlihat mesra memeluk Simone. "Aku turut berduka cita atas tragedi yang menimpamu, di mana kau kehilangan ayah sekaligus pasangan hidupmu," bisik Elizabeth. Kedua tangan Elizabeth memeluk tubuh Simone yang seksi. "Apakah kau sudah siap untuk menjadi seorang ibu lagi? Kalau kau terlalu lama bersedih, nanti kualitas air susumu buruk, dan itu akan membuat anak kita sakit. Jadi jangan bersedih, yah, adikku."
"Ibu, kalau ayah sampai tahu tindakanmu yang menyimpang. Dia akan mengusirmu lagi. Kau tahu kan kalau ayah sangat benci tindakan LGBT," kata Athena menatap tajam ibu tirinya.
Elizabeth hanya bersikap biasa saja, sambil memeluk erat tubuh Simone.
"Ah, tidak masalah kan. Lagian kita ini seperti saudara. Aku yakin Simone paham akan tindakan ini. Ini adalah tindakan saling menyayangi antara kakak dengan adiknya," balas Elizabeth dengan begitu santainya, seolah-olah bahwa tindakan yang dia lakukan adalah wajar.
Elizabeth menghentikan tindakan tercelanya. Dia menempelkan tangan kanan Simone ke perutnya yang semakin membesar. "Louis sudah tidak sabar lahir ke dunia dan ingin segera bertemu Simone. Aku bermimpi bahwa anak ini akan merepotkanmu, Simone. Maka dari itu kau harus sabar dan kuat. Louis juga akan menjadi pengembara dan petarung yang hebat seperti dirimu."
Elizabeth membelai lembut wajah cantik nan tampan Simone. Dia membelai rambut Simone yang pendek dan jemarinya memainkan bibir merahnya yang seksi.
"Kau memang perempuan yang sangat sempurna, Simone. Bagiku, kau sudah seperti adikku sendiri." Elizabeth mendekatkan wajahnya ke Simone dan mencium pipi kanannya. Setelah menciumnya, Elizabeth memeluk Simone, dan berbisik dengan menggunakan Bahasa Perancis, "Aku titip mereka dan Leopold untukmu. Jadilah ibu yang baik karena kau adalah perempuan yang kuat. Aku menyayangimu, Simone, adikku tersayang." Elizabeth memberikan ciuman singkat pada kening Simone.
"Ibu! Apa-apaan tindakanmu barusan. Ayah bisa marah kalau tahu!" Charla benar-benar marah akan tindakan lesbian yang dilakukan ibunya.
"Aku hanya ingin membagikan perasaanku beserta anak yang tengah aku kandung. Aku tahu memang ini salah. Namun bagiku, Simone sudah seperti adikku sendiri. Saat bersama dengan Simone, aku merasa seperti memiliki seorang adik, dan aku rela berbagi banyak hal dengan adikku," balas Elizabeth dengan nada halus.
"Kau tidak seharusnya membentak Ibu, Charla," kata Athena. "Aku tahu akan amarah yang tengah menimpamu."
"Tidak apa-apa, Athena. Lagian ini salahku. Wajar jika Charla membentakku, karena dia hanya ingin mengingatkan ibunya yang salah." Elizabeth berjalan memeluk Charla, "Maafkan ibu, sayang, dan terima kasih atas perhatianmu. Aku merasa bersyukur memiliki anak yang baik seperti kalian semua."
Simone turut memeluk ketiga anaknya, dan juga Elizabeth. Dia tersenyum bahagia dengan air mata kebahagiaan yang membasahi wajahnya. "Terima kasih telah menjadi bagian dari kehidupanku. Kalian semua adalah hartaku yang paling berharga."
Cerita dark fantasy yang wajib kalian baca dan koleksi.