Tidak pernah tidur dan selalu ramai akan aktifitas. Tidak mengenal cahaya, ataupun kegelapan. Kota ini akan selalu ramai, dan tidak pernah tidur. Kota ini juga merupakan Kota di mana budaya barat dan timur berdiri secara berdampingan. Medan memiliki bangunan-bangunan serta gedung-gedung yang kokoh dan tinggi layaknya Kota-kota di Benua Europa. Kota ini juga dihuni oleh berbagai macam etnis, dan bangsa, mulai dari etnis-etnis Europa hingga Bumiputera.
Medan ini merupakan Kota terbesar di Pulau Sumatera dan juga dijuluki sebagai Paris van Sumatera karena keindahan dan kebesarannya.
Para Operator crane dari terlihat tengah memindahkan barang-barang dari kapal-kapal yang berlabuh di Pelabuhan Belawan, yang merupakan salah satu Pelabuhan terbesar, dan tersibuk di Pulau Sumatra.
Sesosok perempuan berambut panjang lurus berwarna putih dengan matanya yang berwarna hijau yang ditutupi kacamata hitam. Tengah memacu Mototrail BMW G 450 X di jalanan yang naik-turun, di mana kanan-kirinya adalah perkebunan tembakau. Saat ini Maria sedang berada di Perkebunan Tembakau Medan-Mecklenburg yang dikelola oleh salah satu pamannya, yaitu Pangeran Ludwig Heinrich Frederick Albert von Mecklenburg-Schwerin yang juga merupakan adik ipar dari Raja Belanda.
Hari ini, para Buruh perkebunan tembakau tengah bersantai sambil menonton pertunjukan musik, dan sandiwara khas Jawa, mengingat sebagian besar Buruh di sini berasal dari Pulau Jawa. Seorang Sinden bernyanyi dengan suaranya yang indah dan diiringi irama musik campur sari yang berirama merdu. Para Buruh perkebunan tembakau menari bersama di tengah lapangan untuk melepas penat dan saling berbagi kebahagiaan.
Mototrail BMW G 450 X berwarna hitam itu berhenti di sebuah bangunan yang terletak di puncak bukit. Di sana, dia melihat pamannya tengah duduk di teras bangunan tersebut sambil dipijet oleh salah seorang Tabib yang berasal dari etnis China.
"Bagaimana jalan-jalan mengelilingi 'track' perkebunan tembakau Medan-Mecklenburg?" tanya seorang Lelaki berambut pendek bergelombang berwarna hitam.
"Cukup menyenangkan, walaupun cuaca terasa panas," jawab Maria yang tengah meminum air lemon yang botolnyas biasa dia taruh di kemudi Mototrail-nya.
"Kau akan terbiasa, jika hidup di sini," kata Frederick Albert. "Kau tidak ikut berpesta dengan para Buruh. Padahal aku ingin sekali ikut berpesta dengan mereka di sana. Hanya saja aku sedang sakit."
"Aku lebih suka menikmati musik saat suasana yang tenang dan sunyi, daripada suasana yang ramai," balas Maria merebahkan tubuhnya di lantai teras rumah. "Tempat ini sangatlah nyaman untuk menenangkan diri dari ramainya kehidupan. Walaupun aku tidak suka menikmati musik di tengah keramaian. Namun, aku merasa bahagia melihat para Buruh-buruh Jawa berpesta menikmati alunan musik campur sari yang indah dengan suara penyanyinya yang merdu. Ini berasa seperti di Surga."
"Walaupun mereka hanyalah Buruh dari Pulau Jawa. Mereka juga Manusia yang butuh hiburan. Prinsip bisnisku adalah sama-sama mendapatkan keuntungan. Aku untung dan para Buruh bahagia. Jika di Jawa, Pemerintah Belanda tidak bisa memanusiakan mereka. Biarkan aku di sini bersama yang lainnya memanusiakan mereka. Dengan harta yang aku miliki, aku bukan hanya ingin mencari keuntungan. Namun, aku ingin memperdayakan mereka menjadi manusia yang berguna. Itulah sebabnya, aku mendirikan sekolah, dan membiayai anak-anak para Buruh-buruh Jawa itu untuk menempuh pendidikan tinggi. Kalaupun mereka ada yang tidak berminat, setidaknya aku memberikan mereka beberapa pelatihan. Karena di antara mereka tidak ada yang selamanya ingin menjadi Buruh. Kita harus memanusiakan Manusia!" ungkap Frederick Albert.
"Pantas saja para Buruh-buruh Jawa itu sangat menghormatimu. Bahkan mereka bekerja dengan sungguh-sungguh dan bahagia," balas Maria yang beranjak berdiri dari tempatnya bersandar. Dia berjalan menuju ke arah motor-nya, mengenakan helm-nya. "Aku kembali lagi ke Medan." Maria segera tancap gas dan kembali ke Kota Medan.
.
.
Kota Medan di malam hari terlihat sangat gemerlap dengan lampu-lampunya yang berwarna terang. Orang-orang beraktifitas seperti biasanya, walaupun sudah gelap. Hanya saja saat malam hari, para kupu-kupu malam, dan para preman berkeliaran di jalanan.
Seorang perempuan berwajah oriental dengan pakaian yang terbuka tengah berlari dengan ekspresi wajah yang penuh ketakutan. Sementara di belakang sang Perempuan para berandalan sejumlah dua belas orang dari etnis China, India, Afrika, Jerman, Jawa, dan Aceh berlari mengejarnya. Perempuan China itu terus berlari tanpa mengetahui di jalan mana yang akan dia tuju. Seorang lelaki Afrika segera melompat dan menangkap tubuh perempuan China tersebut.
Perempuan China itu terlihat sangat ketakutan dan berusaha untuk melawan ketika lelaki berkulit hitam itu telah menangkap tubuhnya. Namun perlawan perempuan China itu tak berarti ketika rekan-rekan lelaki Afrika itu memegang kedua tangan dan kakinya. Sebuah tamparan yang sangat keras mendarat di pipinya dan lelaki Afrika itu menyumpal mulut perempuan China tersebut. Perempuan China itu dibawa secara beramai-ramai menuju ke salah satu rumah bordil.
Maria secara tiba-tiba muncul dan menarik pedangnya, sehingga menghalangi jalan para gangster tersebut.
"Siapa kau?" tanya seorang berandalan China.
"Hanya seorang perempuan yang sedang melintas," jawab Maria berjalan santai ke arah mereka.
Seorang berandalan berbadan tinggi dari etnis Aceh segera menarik rencongnya dan berlari menuju ke arah Maria diikuti oleh rekan berandalan lainnya dari etnis Afrika, Jerman, Jawa, dan India. Maria beradu senjata tajam dengan lelaki Aceh yang tengah dia lawan. Maria menendang dan membanting rekan-rekan lelaki Aceh tersebut. Lelaki Aceh itu bergerak dengan sangat cepat memainkan rencongnya sehingga membuat Maria lebih memilih banyak bertahan. Sambil beradu senjata tajam, Maria juga melumpuhkan para musuh yang menyerangnya dengan mematahkan tulang-tulang mereka. Hanya suara jerit penuh rasa ngeri yang memecah keheningan. Lelaki Aceh itu menyerang Maria dan dengan kecerdikannya, Maria berhasil mengembalikan serangan musuhnya, dengan menancapkan rencong musuhnya ke arah pangkal pahanya, ditambah Maria memberikan luka tusuk pada tangan kanan musuhnya.
Kini hanya tersisa seorang lelaki China yang tengah menyandera seorang perempuan.
"Kalau kau maju, aku akan membunuhnya," ancamnya sambil menodongkan pisau ke arah leher perempuan itu.
Maria menatap mata lelaki China itu, sehingga dia bertukar posisi dengannya. Lelaki China itu terlihat bingung ketika dia menodongkan pisaunya ke tempat yang kosong. Sementara Maria berdiri memunggungi lelaki China tersebut, dan dengan gerakan yang sangat cepat Maria berhasil memberikan sebuah pukulan yang telak tepat di wajah lelaki China tersebut sehingga dia terpental jauh menghantam tembok.
Maria segera memeluk perempuan China tersebut.
"Kau tidak perlu khawatir. Aku ada di sini untuk melindungimu," bisik Maria.
Xiong Mei menatap mata hijau Maria, ketika sepasang tangannya memegang pelan pundaknya. "Jangan khawatir, aku akan segera membereskan mereka semua."
Maria menggendong Xiong Mei ala bridal style dan melompat ke atas sebuah bangunan, di mana dia tengah tinggal untuk sementara. Maria menidurkan Xiong Mei pada kasurnya dan dia pergi menuju ke arah dapur.
Xiong Mei masih terlihat syok atas segala kejadian yang telah terjadi dengan cepat barusan. Ini benar-benar di luar dugaan dirinya.
Maria berjalan sambil membawa sebotol air putih dan buah-buahan yang segar lalu menaruhnya di sebuah meja kecil di samping kasurnya.
"Makan dan minumlah untuk memulihkan kondisi tubuhmu."
Xiong Mei segera memakan buah anggur yang ada, setelah itu dia meminum segelas air putih yang segar.
"Namaku Maria. Siapa namamu?" tanya Maria.
"Xiong Mei," jawabnya. "Aku berasal dari Hong Kong. Aku ke sini karena aku ingin mencari pekerjaan yang layak. Awalnya aku berpikir bahwa aku akan bekerja sebagai pemandu wisata. Namun, aku tidak menyangka bahwa aku terjerat dalam lingkaran perdagangan perempuan." Xiong Mei memeluk Maria dan menangis dalam pelukannya. "Masih ada banyak perempuan yang terjebak di sana. Aku mohon, selamatkanlah mereka semua."
"Siapa yang mengejarmu barusan?"
"Mereka adalah anak buah Kapiten Xue An."
"Hm, sudah tidak diragukan lagi. Kapiten Xue An memang orang yang bermasalah. Kalau bukan sahabat dari Sultan Deli, sudah pasti dia akan mendekam di jeruji besi. Hukum memang milik orang-orang yang memiliki uang," jelas Maria. "Apakah kau ingin pulang kembali ke Hong Kong?"
"Tentu saja aku mau," jawab Xiong Mei dengan sangat antusias. Mendadak ekspresi wajah Xiong Mei berubah menjadi suram. "Aku tidak mau merepotkanmu. Lagian aku sudah tidak memiliki Keluarga lagi, karena Ayah, dan Ibuku telah bercerai, dan mereka telah menikah lagi. Jadi, aku ke sini juga karena ingin mencari kehidupan yang jauh lebih baik daripada di Hong Kong. Meskipun tanah ini asing. Aku merasa ini adalah rumahku."
Kalimat yang dilontarkan oleh Xiong Mei cukup membuat Maria kesal karena penuh dengan ketidak konsistenan.
"Memang dia adalah perempuan yang tolol yang tetap harus aku selamatkan," gumam Maria dalam hatinya.
.
.
Para orang China berpakaian serba hitam tengah duduk melingkar di ruangan mereka. Di antara mereka ada yang duduk di kursi khusus yang diukir motif naga. Di kursi bermotif naga tersebut, duduk seorang lelaki China berbadan tinggi, dengan kulitnya yang pucat, dan bermata sayu dengan rambutnya panjang lurus berwarna hitam. Dia adalah Kapiten Xue An, pemimpin salah satu Pecinan di Kota Medan dari Klan Xue.
Seorang lelaki berkepala botak memasuki ruangan tersebut dengan kasar, sehingga dia menjadi perhatian dari orang-orang yang ada di ruangan yang menatapnya dengan tajam. Xue Loa Han tidak mempedulikan tatapan tajam dari orang-orang yang ada di ruangan tersebut.
"Kakak, mereka semua telah dilumpuhkan," kata Xue Loa Han yang berdiri di dekat Xue An.
"Siapa yang melumpuhkan mereka?" tanya Xue An.
"Seorang perempuan berambut putih layaknya salju dan bermata hijau layaknya permata zamrud," jawab Xue Loa Han.
Ruangan tempat orang-orang China tengah berkumpul itu mendadak dingin dengan banyaknya es yang muncul secara tiba-tiba.
Orang-orang yang kumpul di sana terlihat terkejut akan munculnya salju dan mereka semua perlahan membeku menjadi patung es, kecuali Xue An.
Xue An berdiri dari kursinya dan merapihkan kerah bajunya. "Aku memang benar-benar spesial jika kau tidak membekukan diriku."
"Yah, kau memang spesial. Sehingga kau bisa lolos dari berbagai kasus yang menjeratmu. Kalau kau bukan sahabat Sultan Deli, kau mungkin sudah mendekam di penjara." Suara perempuan itu terdengar dingin, namun tegas, dan jelas.
Xue An hanya tersenyum tipis mendengar kalimat dari sesosok perempuan yang tak terlihat. Walaupun Maria tengah menyamarkan keberadaan dirinya, namun bagi Xue An, dia tahu berada di mana dia berada.
Xue An menjentikkan kedua jarinya, sehingga jilatan api segera menyambar Maria yang berada di seberangnya. Serangan tersebut membuat Maria bisa terlihat. Sehingga sudah bukan saatnya lagi bagi dia bersembunyi.
"Xue An, Naga dari Medan," kata Maria menatapnya dengan tatapan yang tajam dan suara yang dingin. Dia segera menarik pedangnya dan berlari menuju ke arah Xue An.
Xue An menghindari setiap serangan dari Maria dan mengambil sepasang pedang yang ada di belakangnya. Kedua pedang tersebut mengeluarkan api.
Maria dan Xue An bertarung dengan sengit di ruangan yang telah dipenuhi dengan es dan salju. Mereka bergerak dan saling serang dengan gerakan yang begitu cepat layaknya kilat.
"Iblis Es Mecklenburg-Schwerin, yah," kata Xue An tersenyum tipis.
Tebasan Pedang Xue An melukai pipi bagian kiri Maria sehingga memberikan luka gores. Namun suasana menjadi semakin dingin, di mana aliran waktu telah membeku. Maria dengan segera memanggal kepala musuhnya dan aliran waktu kembali normal. Tubuh Xue An jatuh dan kepalanya terpisah.
Maria membalikkan badannya dan menatap kepala Xue An yang terjatuh dengan ekspresi wajah yang tersenyum layaknya Iblis.
Walaupun kepalanya telah terpisah dari tubuhnya. Namun bukan berarti itu telah berakhir. Tubuh Xue An bergejolak hebat dan bermutasi menjadi Monster yang aneh. Dari leher Xue An keluar dua jenis makhluk seperti ular king cobra. Tubuh tersebut terus bermutasi, membesar dan berubah menjadi naga berkepala dua yang menghancurkan atap bangunan tersebut. Ekor naga tersebut menyepak Maria sehingga dia terpental jauh.
Naga berkepala dua telah muncul di Pecinan Xue. Orang-orang terlihat begitu kaget akan kemunculan naga berkepala dua tersebut. Naga tersebut menyemburkan api ke segala penjuru dan membakar Pecinan Xue.
Iblis telah bangkit dan membakar Pecinan Xue. Orang-orang berlarian ketika api membakar kampung mereka.
Seorang Perempuan China yang berusia tua menangis sambil menatap ke arah Naga berkepala dua yang tengah membakar kampungnya. "Xue An, kenapa kau begini? Kenapa kau menjual jiwamu kepada Iblis? Ibu tidak pernah mengajarimu seperti itu. Ibu benar-benar kecewa padamu, An!"
Semburan api bergerak dengan cepat dan api tersebut mengarah ke arah Nenek Xue. Perempuan tua itu masih di tempatnya dan sebuah tembok air berhasil menyelamatkannya dari semburan api.
Kabut yang cukup tebal muncul secara tiba-tiba dan menyelimuti Pecinan Xue.
Suara gemuruh tanah terdengar begitu jelas walaupun orang-orang mengiranya gempa. Muncul ratusan lonjakan batu yang mengarah ke arah naga berkepala dua tersebut dan menusuk tubuhnya dan mengangkatnya sampai ke atas.
Naga berkepala dua tersebut meraung-raung begitu keras dan tak bisa berkutik ketika tubuhnya tertusuk puluhan lonjakan batu yang begitu tajam. Secara perlahan tubuh Naga berkepala dua tersebut membeku, mengingat Maria tengah mengendalikan darah musuhnya dari jarak jauh agar bisa membeku. Naga tersebut membeku layaknya patung es. Lonjakan batu yang menusuk naga berkepala dua tersebut berjatuhan sehingga Monster tersebut ikut jatuh dan tubuhnya hancur berkeping-keping.
Maria merebahkan tubuhnya di lantai setelah berhasil membunuh Xue An.
"Setidaknya aku telah membunuh pelaku perdagangan perempuan di Kota Medan."
Cerita dark fantasy yang wajib kalian baca dan koleksi.