Chapter 8
Your Name
"Maaf, aku membuatmu menunggu terlalu lama." Nick menarik sebuah kursi pantri, melepaskan jasnya lalu meletakannya dengan benar di sandaran kursi.
"Tidak masalah," ujar Vanilla. Senyum tampak di bibir manisnya. "Satu-satunya yang harus kau khawatirkan adalah gula darahmu."
"Mereka baik-baik saja." Nick berdiri di samping Vanilla, ia mengamati hidangan yang telah disiapkan oleh gadis itu. "Aku sepertinya mulai ketergantungan dengan masakanmu."
Vanilla terkekeh mendengar pernyataan Nick, sudah dua Minggu setiap hari pria itu datang ke dapur restorannya sepulang bekerja untuk mencicipi kopi dan minuman lain hasil racikannya, juga mencicipi masakan yang akan menjadi menu di restorannya nanti.
Nick menyukai semua makanan yang Vanilla buat, sama sekali tidak mengada-ada karena pada faktanya keterampilan tangan mengolah masakan dan mengolah kopi gadis itu memang bagus. Dan entah sejak kapan, momen minum kopi sore hari di dapur bersama Vanilla menjadi hal yang paling Nick tunggu-tunggu. Belum pernah dalam hidupnya begitu menanti pukul lima sore hanya untuk secangkir kopi atau teh, belum pernah juga di dalam hidupnya ia menggilai makan malam padahal selama ini ia sangat menjaga pola makannya demi menjaga otot tubuhnya. Nick telah melupakan itu, baginya kini kebersamaannya dengan Vanilla jauh lebih penting dibandingkan dengan otot tubuhnya. Ia bahkan rela bekerja lebih keras lagi agar sebelum pukul lima sore semua pekerjaannya selesai dan bisa segera bertemu gadis itu.
Setiap sore selama dua Minggu, Nick duduk menunggu dengan patuh sesuai yang Vanilla perintahkan karena gadis itu tidak menyukai saat ia menyiapkan hidangan ada orang lain yang ikut terlibat. Tetapi, bukan berarti ia tidak suka mengobrol di dapur. Mereka mengobrol, bercerita banyak hal tentang masa kecil, masa sekolah menengah atas, dan juga masa kuliah mereka.
"Aku rasa Beck adalah pria yang paling beruntung," ujar Nick setelah menyelesaikan Creame Catalalana.
"Sayangnya, aku belum pernah memasak untuknya." Vanilla menarik mangkuk Creame Catalalana di depan Nick, menumpuknya bersama dengan perlatan makan lain yang telah kosong.
Nick mengerutkan kedua alisnya. "Kau bercanda?"
Vanilla tersenyum pahit seraya mengedikkan bahunya. "Sejak aku kembali ke Barcelona, kami terus bersitegang. Kami bertengkar setiap kali bertemu, Beck menganggap kehadiranku adalah ancaman bagi hubungannya dengan sabun."
"Sabun?" pungkas Nick.
Vanilla terkekeh. "Sophie, aku memanggilnya sabun," katanya tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Nick tertawa mendengar apa yang dituturkan Vanilla. "Ternyata kau lucu juga, ya?"
"Di mata Beck, aku adalah gadis jahat. Padahal aku tidak pernah mengusik hubungannya dengan Sophie, maksudku... aku tidak pernah meminta Beck meninggalkan Sophie," ujar Vanilla, gadis itu berubah sedikit murung.
"Kupikir kau tidak tahu dengan Sophie itu." Nick mengamati wajah Vanilla dengan tatapan serius.
"Aku tahu, sejak Beck masuk kuliah, ia bertemu Sophie di hari pertama ia masuk kuliah. Beck setiap hari menceritakan bagaimana ia mengagumi Sophie kepadaku." Vanilla berhenti sejenak, ia mengingat-ingat bagaimana dulu Beck mulai menjauh darinya karena kehadiran Sophie, bahkan Beck pernah meninggalkan dirinya di perpustakaan, membiarkan ia akhirnya pulang menggunakan bus hanya karena Sophie memanggilnya dan meminta untuk diantarkan ke salon kecantikan.
Gadis itu kembali tersenyum masam, ia sepenuhnya sadar jika Beck memang tidak pernah mencintainya tetapi ia begitu yakin akan bisa memenangkan hati Beck suatu saat nanti.
"Kurasa jika kau mau, aku bisa membantumu agar Beck dan Sophie berpisah," ujar Nick.
Vanilla menggelengkan kepalanya. "Belum saatnya," katanya lirih.
"Wow!" Nick benar-benar merasa takjub dengan semua jawaban Vanilla. "Jadi, kau menunggu saat yang tepat?"
Vanilla justru menyeringai. "Tuhan telah mengaturnya, aku hanya tinggal menjalaninya."
Kali ini rasa takjub Nick naik seratus kali lipat, gadis di depannya selalu membuat kejutan-kejutan yang mencengangkan. Ia semakin yakin jika Beck, sahabatnya itu bukan hanya memiliki gangguan penglihatan tetapi juga gangguan kewarasan.
Nick berdehem. "Jadi, dengan kata lain kau pasrah?"
Vanilla yang sedang meletakkan peralatan makan di bawah wastafel menoleh ke arah Nick. "Sama sekali tidak. Mengikuti takdir Tuhan bukan berarti pasrah. Kau lihat, aku sedang sibuk mengurus usahaku ini. Aku tidak memiliki waktu untuk memikirkan Beck apa lagi menikahinya dalam waktu dekat, yang pasti sekarang aku hanya ingin fokus pada pekerjaanku."
Nick tersenyum, ia tidak ingin melanjutkan pembicaraan seputar Beck yang membuatnya geram karena menyia-nyiakan gadis seindah Vanilla. "Kalau begitu lebih baik sekarang kita kembali," ujar Nick setelah memeriksa arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.
Vanilla yang sedang mencuci tangannya mengangguk, Xaviera tidak memperbolehkan ia mencuci peralatan yang telah ia gunakan. Jadi, benda-benda itu hanya di tumpuk di bawah wastafel setiap hari setelah ia menguji masakan bersama Nick. Ia mengeringkan telapak tangannya lalu mengambil tas dan jaketnya, keduanya melangkah keluar dari dapur setelah memastikan seluruh pintu terkunci dengan benar dan memastikan sistem keamanan bekerja dengan baik. Seperti biasa Nick mengantarkan Vanilla kembali ke rumahnya sebelum pukul delapan malam.
"Akhir pekan nanti, apa kau memiliki rencana?" tanya Nick ketika beberapa puluh meter lagi mereka memasuki kompleks perumahan kelas atas yang merupakan tempat tinggal keluarga Vanilla dan Beck.
"Tidak kurasa...," jawab Vanilla.
"Kalau begitu aku akan membuatmu memiliki rencana," ujar Nick, pria tampan itu menyeringai.
"Hah?"
"Aku akan menjemputmu nanti."
Vanilla menatap Nick dengan tatapan bingung hingga tanpa terasa gadis itu mengerutkan keningnya membuat Nick terkekeh.
"Temani aku menonton pacuan kuda," kata Nick.
***
Beck sedang berkutat dengan laptopnya sedangkan Sophie, gadis itu sedang duduk manis di depannya sambil membaca dokumen. Tidak ada percakapan berarti karena mereka sedang terlibat dalam proyek kerja yang sangat penting dan serius.
Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka, seorang wanita setengah baya berdiri di ambang pintu. Lucy Peyton, ibu Beck.
"Apa sekretarismu tidak memiliki ruang sendiri untuk bekerja?" itu kalimat yang pertama kali di lontarkan Lucy. Jelas nandanya tidak sedikit pun menunjukkan keramahan.
Beck mendongakkan wajahnya menatap wanita yang terakhir ia lihat saat natal enam bulan yang lalu.
"Madre? Kapan kau datang? Kenapa tidak memberi tahuku?" Beck tampak gugup menjumpai kedatangan ibunya yang tiba-tiba karena selama ini kedua orang tuanya tinggal di Madrid.
"Memberitahumu agar kau bisa menyembunyikan sekretarismu ini? Sudah aku peringatkan kau, Beck, aku tidak suka melihat kekasihmu ada di perusahaanku," ucap Lucy tegas sambil melangkah masuk ke dalam ruangan kerja Beck tanpa sedikit pun melirik ke arah Sophie yang langsung duduk dengan tegak dan kaku, sekaku papan.
"Ma...." Beck memberikan kode pada Sophie untuk keluar dari ruangan itu yang langsung dimengerti oleh gadis itu.
Namun, baru saja Sophie bangkit dari duduknya Lucy berbicara, "Oh ya, siapa namamu?" wanita berpenampilan glamor itu menatap Sophie dengan tatapan dingin yang mampu membekukan Sophie.
"Sophie, Tante," jawab Sophie sopan meski di dalam benaknya ia mengutuk sikap ibu Beck yang menanyakan namanya padahal mereka telah beberapa kali bertemu.
Lucy tersenyum sinis. "Kau bisa memanggilku, Nyonya."
Sophie hanya mengangguk, diam-diam ia menelan ludahnya.
"Mulai hari ini kau dipecat," ucap Lucy tanpa basa-basi.
* Madre = Mama.
* Creame Catalalana = puding khas Spanyol.
Bersambung....
Jangan lupa tinggalkan jejak komentar dan rate bintang.
Salam manis dari Cherry yang manis.