Bandung, Februari 1912
.
Suasana pagi itu di rumah keluarga Adinata tampak ramai. Beberapa pembantu dan tukang kebun diperintahkan untuk keluar mencari informasi dari tukang dokar, tukang sayur, pedagang keliling, dan tetangga di seputar Dagoweg*.
Seorang tukang koran yang lewat dengan sepeda ontelnya pun diberhentikan oleh penjaga rumah Adinata dan diinterogasi, apakah ia melihat orang mencurigakan di sekitar lingkungan mereka dan ia menggeleng.
Nyonya rumah yang berparas cantik dan mengenakan kebaya mahal tampak kalut menggendong bungkusan kain yang mirip bayi di pangkuannya, dan terlihat keranjang besar tergeletak di dekat gerbang. Putranya yang baru berusia dua tahun memegangi kain gendongan bayi itu sedari tadi, tidak mau melepaskannya.
"Kemungkinan bayi ini ditaruh di depan gerbang waktu para penjaga shalat subuh, Raden Ayu," kata kepala penjaga rumah dengan tampang menyesal, "dan kebetulan langsung ditemukan oleh Raden Arya. Kami sudah berkeliling mencari keterangan tetapi tidak ada yang melihat orang mencurigakan. Apakah Raden mau saya bawa bayi itu ke komis polisi biar mereka yang bawa ke panti asuhan?"
"Ya ampuunn....kasihan sekali kau, Nak..." Raden Ayu Nyimas Nawangwulan, nyonya rumah Adinata memandang prihatin bayi berkulit putih dan bermata cokelat dalam gendongannya.
Ini bukanlah kasus yang jarang terjadi. Entah ini perbuatan perempuan pribumi yang menjalin hubungan dengan seorang tuan Eropa dan menghasilkan anak di luar nikah, atau perempuan itu diperkosa hingga hamil dan untuk menutupi malu, anaknya pun dibuang ketika lahir.
Banyak anak yang bernasib serupa dan kini menghuni panti asuhan di pinggir kota. Mereka tidak bisa menyembunyikan jati dirinya karena kulit mereka putih kekuningan dan wajah setengah Eropa.
Nyimas pernah berkunjung ke salah satu panti tersebut bersama ayahnya ketika ia masih kecil, tidak pernah menduga seorang bayi seperti itu akan diletakkan di depan rumahnya.
Ia sadar, kedudukannya sebagai putri bangsawan dari keluarga berpengaruh mungkin menjadi pertimbangan ibu si bayi, sehingga memilih meletakkan keranjang berisi bayinya di gerbang rumah keluarga Adinata. Mungkin ia berharap keluarga mereka akan jatuh sayang kepada bayinya dan memelihara anak itu dalam segala berkecukupan.
Nyimas tidak tega mengirim bayi itu ke panti asuhan. Tetapi ia harus tunduk kepada suaminya. Ia membayangkan setelah mendengar tentang bayi yang dibuang di depan rumah mereka, suaminya akan mengirim bayi itu ke panti asuhan.
Meski begitu, dibawanya juga bayi itu masuk dan ditunjukkannya kepada suaminya yang sedang duduk memeriksa kasus yang ditanganinya di kantor jaksa.
Dugaan Nyimas benar. Ketika mendengar perihal bayi yang dibuang di depan rumahnya, Raden Panji hanya geleng-geleng kepala dan merutuk pelan kepada siapa pun yang tega membuang bayi seperti itu. Namun, ketika Nyimas membawa bayi itu mendekat, pandangan Raden Panji terpaku melihat mata bulat bayi perempuan itu menatapnya penuh harap.
Tangan bayi mungil itu mengayun dan menyentuh wajahnya tanpa sengaja. Ketika Raden Panji mengangkat tangan untuk menyentuh wajah bayi itu, entah kenapa tangan mungilnya sigap memegang telunjuk Panji, dan tidak mau melepaskannya.
Raden Panji terpaku dan menatap bayi itu dalam-dalam, hatinya meleleh saat tiba-tiba bayi itu tersenyum seperti malaikat dan menggenggam telunjuknya lebih erat.
Bayi yang tadinya bernasib malang itu tiba-tiba menjadi bayi paling beruntung di Hindia Timur. Raden Panji jatuh sayang kepadanya dan menolak mengirimnya ke panti asuhan. Dengan persetujuan istrinya, keluarga kecil Adinata akhirnya merawat anak itu seperti anak kandung sendiri.
Sang kakek yang saat itu berkedudukan sebagai bupati memberinya nama Paramita, tetapi karena wajahnya yang setengah Eropa, ia lebih sering dipanggil dengan nama Maria oleh ayah angkatnya. Pada masa itu Marie Curie baru memperoleh hadiah Nobel-nya yang kedua, dan Ayah sangat terinspirasi memiliki anak perempuan yang pintar.
Arya sangat menyukai bayi itu dan selalu mencuri waktu bermain dengannya kapan pun ia mendapat kesempatan. Saat mereka tumbuh bersama, Arya selalu mengajaknya ke mana pun ia pergi, termasuk bermain perang-perangan dengan teman-temannya.
Sebagai anak keluarga bangsawan mereka mendapat kehormatan bersekolah di ELS (Europeesche Lagere Shool) yang hanya menerima anak-anak Eropa. Sejak kelas satu ELS, semua teman sekolah mereka sudah mengenal Maria dan Arya sebagai cucu mantan bupati yang mendapat hak istimewa bersekolah di sekolah Belanda.
Mereka dikenal baik dan disukai semua orang. Tidak satu pun orang mempermasalahkan warna kulit mereka yang berbeda, sehingga Maria pun abai dengan kenyataan bahwa sebenarnya ia tidak mirip dengan keluarganya.
.
.
*Dagoweg = Jalan Dago (dalam bahasa Belanda "weg" artinya "jalan")
Cerita ini akan slow update ya, karena saya fokus menyelesaikan novel "The Alchemist". Nanti kalau sudah selesai, novel ini akan saya update teratur.
Terima kasih untuk yang sudah membaca =)