Beberapa saat kemudian, Anto kembali dengan dua gelas kopi. Ia lebih suka mocachino, sedangkan Arum sering menikmati kopi late. Wanita itu tak begitu menghiraukan kedatangan Anto. Ia lebih sering menatap ke arah monitor seolah-olah itu adalah kekasih hatinya. Ia sedikit menyeruput late pemberian Anto, namun tangannya masih menggenggam mouse supaya pointer terus bergerak mencari informasi yang ia inginkan.
Anto seolah mengerti dengan sikap Arum. Ia terduduk santai di dekat koleganya sembari menikmati hangatnya mocachino di tengah hujan deras dan angin kencang. Sesekali kilat menyambar dan suara guntur menggelegar ke segala penjuru langit. Tapi, tidak ada yang lebih nikmat daripada sore yang ditemani kopi dan wanita cantik. Ia terlalu percaya diri jika dirinya mengungkapkan perasaannya. Lagipula cukuplah Arum sebagai kolega saja, itu sudah lebih dari cukup. Lagipula, hubungan asmara di dalam kantor jarang sekali berakhir baik. Jadi, ia berusaha mengubah perasaannya menjadi sebuah penghormatan sebagai sesama rekan kerja.
"Kamu lagi nyari apa, Rum?" tanya Anto penasaran.
"Rekaman CCTV halaman rumah sakit," jawab Arum singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari layar monitor.
"Hm, bukankah seharusnya kau mencari rekaman di dalam rumah sakit? Setiap lantai, setiap koridor, setiap pintu. Kenapa malah kau mencari di halaman?"
"Karena kamu nggak akan percaya apa yang aku temuin nanti."
"Maksud kamu apa?"
Arum menyandarkan tubuhnya ke kursi. Kemudian, ia meraih kopi late-nya dan meminumnya selagi hangat. Udara di ruangan itu sudah terasa menusuk kulit. Jarang sekali mereka menggunakan AC di gendung kantor karena daerah pegunungan memang terkenal dengan hawa sejuknya.
"Sebelum kejadian bermula, anak Jaka mengalami kecelakaan lalu lintas. Kebetulan saja aku melewati jalan itu di saat Andi terjatuh dari motornya. Ya, aku peduli dengan Andi. Dia juga masih SMA. Dia dibawa ke IGD RSI sekitar pukul delapan, setelah beberapa saat kemudian barulah Jaka menyusul ke sana. Setelah situasi di rasa kondusif, aku pamit pulang. Baru saja aku ingin menarik selimut dan buru-buru tidur, telfonku berbunyi. Ya sudah, malam itu aku tak tidur sampai keesokan harinya," jelas Arum.
"Jangan tersinggung, tapi aku belum paham maksud kamu soal temuan tadi," balas Anto dengan ekspresi penuh tanda tanya.
"Aku sudah menelusuri generator pembangkit listrik rumah sakit. Tidak ada tanda-tanda kerusakan apapun di sana yang bisa menyebabkan ledakan sebesar itu. Aku masih bertanya-tanya soal kaca-kaca yang pecah di sekitar area tempat parkir mobil. Seperti ada semacam energi yang amat sangat besar yang tiba-tiba saja dilepaskan dan menyebabkan kerusakan di sekitarnya."
"Hm. Mungkin petir? Atau angin?"
"Nggak mungkin lah."
"La terus, apa dong?"
Arum terlihat berpikir keras. Jari-jarinya kembali berada di atas keyboard dan dalam sekejap ia pun tenggelam dalam pencarian informasi yang sedari tadi dilakukan olehnya sepanjang hari. "Aku berusaha mengakses rekaman kamera pemgintai di area itu. Tapi, karena besarnya ledakan membuat beberapa bagian rekaman rusak dan sulit untuk dipulihkan. Sekarang, aku sedang berusaha untuk memulihkannya."
"Ya ... oke," sahut Anto singkat mengingat tak ada lagi yang dirasa perlu dikatakan olehnya.
Dalam sekejap, suasana menjadi hening. Baik Arum maupun Anto, keduanya tak mengeluarkan sepatah kata pun lagi. Arum terlihat sangat serius dengan pekerjaannya, sedangkan Anto hanya memperhatikan koleganya itu. Hingga tiba-tiba ponsel Anto berbunyi, ada panggilan masuk dari seseorang.
"Rum, aku mau ngangkat telfon sebentar ya. Tak tinggal dulu," kata Anto sambil menerima panggilan dari layar ponselnya dan segera melangkah keluar ruangan menuju koridor.
"Oke," jawab Arum singkat. Ia masih sangat terpaku pada layar monitornya itu.
Setelah beberapa menit terus berkutat dengan komputernya, mungkin Arum sedikit merasa jenuh dengan keadaan. Kedua matanya mulai berair dan terasa sakit karena terlalu lama berada di depan monitor. Tengkuknya juga terasa pegal dan kaku, punggungnya sangat berat karena terus membungkuk. Kepalanya seperti tertekan oleh sisi-sisi yang sempit. Ia memutuskan untuk rehat sejenak, itu pun setelah berkas rekaman yang ia cari berhasil dipulihkan.
Kini, Arum kembali menyeruput kopi late-nya. Ia menggunakan kedua tangannya untuk mengangkat gelas, seolah ia baru benar-benar menikmati minumannya itu. Pandangannya menyapu sekeliling, tak ada seorang pun di ruangan itu. Rasa-rasanya Dwi juga sudah meninggalkan gedung ini beberapa saat yang lalu, ia mendapat pesan dari Dwi kalau istrinya sakit dan harus segera pulang. Sedangkan Anto, entahlah sekarang dia di mana.
Setelah proses pemulihan selesai, cepat-cepat Arum memutar rekaman kamera pengintai di sekitar parkiran mobil rumah sakit. Ia menyetelnya pada menit ketika Jaka memasuki tempat itu. Ia memperhatikan rekaman dengan sangat teliti, barang kali ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Beberapa saat Arum memperhatikan rekaman itu, tak ada hal yang berarti yang terjadi. Cukup lama ia mengamati dan akhirnya ia tidak bisa menghindari rasa bosan.
Entah kenapa, pandangan Arum terarah pada jendela di dekat meja kerjanya. Rintik hujan menghantam kaca jendela, menciptakan melodi halus yang khas sehingga membuat suasana bertambah sendu. Hujan yang turun sudah tak sederas tadi, angin yang berhembus juga telah semakin pelan. Tapi, hawa dingin seolah bertambah pekat, membuat wanita itu menyilangkan kedua tangannya di dada.
Pikiran-pikiran liar kembali menyelimuti benaknya. Ia mulai membayangkan betapa para bapak bekerja keras demi sesuap nasi untuk anak-istrinya, remaja nakal yang babak belur karena tertangkap basah mencuri uang yang tak seberapa, wanita yang diperkosa hanya karena berjalan seorang diri melewati gang sempit nan sepi, dan yang lainnya. Sempat juga terbesit di pikirannya berbagai kejahatan kerah putih yang bisa dilakukan para people power.
Memang, dunia terlihat sangat tidak adil. Bagaimana orang kaya menghamburkan uang mereka seperti takkan pernah habis walau telah digunakan untuk pesta, wanita, dan minuman. Sedangkan mungkin di samping rumah mereka, ada sepasang bocah kecil kelaparan yang tengah berteduh di halaman ruko dengan memegang ukulele dan kantung plastik. Mereka berharap supaya hujan segera reda agar mereka bisa mencari secuil rupiah untuk makan malam.
"Memang zaman edan," gumam Arum pada udara.
Ketika ia mengembalikan pandangannya ke arah monitor, barulah ia menyadari jika ada kejadian luar biasa yang terjadi malam itu yang menjadi penyebab ledakan misterius. Terlihat jelas Jaka dan Andi berada di sana, dan yang satunya mungkin sesosok wanita. Ia tak tahu pasti karena wanita itu diselimuti bayangan gelap, lebih seperti asap hanya saja berwarna hitam. Ia benar-benar terkejut dan setengah tidak percaya tatkala melihat detik-detik ledakan itu terjadi. Terlihat jelas jika sosok wanita itulah yang menjadi penyebab ledakan di area parkir mobil rumah sakit.
"Apa-apaan ...." Arum belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika seseorang baru saja bernapas di lehernya.
"Tutup kasus ini atau nyawamu melayang," ujar suara tak bertuan.
***
"Memang zaman edan," gumam Arum pada udara.