Sementara Rafka membersihkan dirinya, Latifah mempersiapkan pakaian ganti untuk sang suami. Lalu setelahnya ia keluar dari kamar, dan meminta pelayan untuk memasakkan makan malam mereka.
30 menit kemudian Rafka sudah rapi dengan pakaian santainya, ia pun keluar dari kamar setelah sholat Ashar terlebih dahulu.
Latifah yang melihat sang suami turun dari tangga langsung menyambutnya, ia menyiapkan alat makan untuk Rafka.
"Sudah selesai sholatnya mas?" Tanya Latifah pada Rafka.
"Alhamdulillah, baru saja selesai." jawab Rafka dengan tenang.
Latifah mengangguk paham, lalu ia menyiapkan makanan di piring Rafka. Lalu mereka makan bersama, setelah berdoa yang di pimpin oleh Rafka.
"Di habiskan makanannya mas" pinta Latifah pada sang suami.
"iya sayang" jawab Rafka.
Mereka pun makan bersama sampai akhirnya makanan itu habis, mereka pun berpindah tempat menuju ke ruang santai. Latifah bermanja ria di dalam pelukan Rafka, sedangkan Rafka asik mencium pucuk kepala sang istri yang di cintainya itu.
"Mas, aku mau cerita tentang kejadian hari ini." Pinta Latifah pada Rafka.
"Cerita saja sayang, mas akan dengar kok." Jawab Rafka memberi izin.
"Tadi aku pergi mencari angin ke taman kota, di sana aku bertemu dengan seseorang yang begitu baik dan membuatku merasa memiliki seorang teman." Ucap Latifah memulai ceritanya.
"Apa orang itu seorang laki-laki?" Tanya Rafka langsung mulai curiga.
Latifah tertawa kecil, suaminya itu benar-benar mudah terpancing cemburu. Padahal ia baru saja mulai bercerita, tapi Rafka sudah menunjukkan kecemburuannya begitu jelas.
"Astagfirullah mas, bukan." Jawab Latifah sambil menahan senyumnya.
"Oh aku pikir kamu bertemu laki-laki lain" balas Rafka tidak suka.
"Ya Allah mas ih, aku belum selesai cerita. Langsung Su'udzon aja, makanya denger dulu." Tukas Latifah mengingatkan.
"Iya, iya, maaf. Ya sudah lanjutkan, mas akan dengar sampai selesai." Balas Rafka dengan santai.
Latifah mengangguk, lalu ia kembali melanjutkan ceritanya yang terpotong itu.
"Aku bertemu seorang gadis cantik, dia sangat baik padaku. Aku melupakan tasku saat melepas sepatu di teras masjid, dan aku baru ingat saat sudah selesai sholat. Aku panik, eh tiba-tiba gadis itu mendekati aku lalu ia memberi salam. Aku pikir dia berniat jahat, tapi ternyata dia mau mengembalikan tas aku." Cerita Latifah panjang lebar.
Rafka tersenyum, ia memang sudah hafal dengan sifat istrinya yang selalu waspada.
"Makanya, lain kali jangan su'udzon dulu." Balas Rafka mengembalikan kata-kata Latifah sebelumnya.
"Iya mas maaf, aku khilaf. Tapi akhirnya kita berkenalan, terus berbincang banyak hal. Aku suka dekat dengannya, dia begitu lembut dan pengertian. Boleh tidak mas, lain kali aku ajak dia main ke rumah?" Jawab Latifah pasti.
"Tentu boleh sayang, kenapa tidak? Ajak saja, hitung-hitung sambil menemani kamu saat mas kerja." Balas Rafka mengizinkan.
"Iya mas, makasih ya. Mas memang yang terbaik, jadi makin cinta." Puji Latifah pada Rafka.
"Hm, mulai deh gombalnya." Balas Rafka senang.
"Tapi mas suka kan?" Goda Latifah pada Rafka.
Rafka tertawa kecil, di ikuti oleh Latifah setelahnya. Mereka benar-benar seperti pasangan yang baru saja menikah, sangat harmonis dan romantis.
Lagi dan lagi Rafka mencium pucuk kepala istrinya, ia benar-benar bersyukur memiliki istri yang cantik dan sabar seperti Latifah.
"Kamu ini, memang paling bisa ya buat mas tertawa." Puji Rafka pada Latifah.
Latifah tidak menjawabnya, ia hanya memeluk Rafka semakin erat. Hal itu menandakan jika ia sangat mencintai Rafka, ia bersyukur bisa memiliki suami yang soleh dan sabar seperti Rafka. Bahkan di saat ia memiliki kekurangan pun, Rafka tetap menerima latifah apa adanya.
"Alhamdulillah, sudah adzan mas." Ucap Latifah.
"Iya, ayo kita siap-siap sholat berjamaah." Ajak Rafka pada Latifah.
"Iya" jawab Latifah dengan senyumnya.
Saat sedang asik saling melempar godaan, adzan maghrib pun mulai terdengar. Latifah dan Rafka langsung melangkah kembali ke kamar mereka, mereka akan bersiap untuk melaksanakan sholat maghrib berjamaah.
.
.
.
Di sisi lain seorang gadis cantik sedang merapikan kembali mukena serta sajadahnya, ia baru saja melaksanakan kewajiban sholat maghrib seperti biasa.
Aisyah, gadis cantik itu meletakkan perlengkapan sholatnya di tepi ranjang. Lalu ia melangkah keluar dari kamar, dan melangkah menuju dapur.
Sebentar lagi ayahnya selesai sholat, Aisyah harus menghangatkan kembali makanan yang tadi sore di buatnya. Karna sang ayah ternyata pulang lebih lambat dari biasanya, makanan itu pun menjadi dingin.
Tepat setelah makanan itu siap di atas meja, Umar yang merupakan ayah dari Aisyah pun keluar dari kamarnya. Ia menghampiri meja makan, lalu Aisyah langsung mencium tangan sang ayah.
"Makan dulu yah, sudah Aisyah siapkan." Pinta Aisyah dengan suara yang begitu lembut.
"Alhamdulillah, terima kasih nak. Ayo, kita makan bersama!" Ucap Umar dengan senyumnya.
Aisyah mengangguk, lalu ia menyendokkan makanan itu untuk sang ayah. Setelah sang ayah makan, barulah Aisyah mengambil makanan untuk dirinya sendiri.
"Bagaimana jalan-jalannya?" Tanya Umar penasaran.
Aisyah berhenti menyuap makanannya, lalu ia menjawab pertanyaan sang ayah dengan segera.
"Baik sekali yah, aku juga bertemu dengan seorang wanita. Dia sudah menikah, dan kami berbicara cukup banyak." Jawab Aisyah dengan senyum cantiknya.
"Alhamdulillah jika seperti itu" balas Umar senang.
"Iya yah, aku suka tinggal di sini bersama ayah. Insya Allah, kita akan baik-baik saja." Jawab Aisyah yakin.
Umar tersenyum, putrinya itu memang selalu bisa menenangkan perasaannya. Memang, mereka adalah pendatang di kota ini. Sebelumnya mereka tinggal di kota lain, tapi karna fitnah seseorang mereka harus pindah dan menjauh dari kota itu.
Akhirnya Umar menemukan pekerjaan baru di kota lain, karna itulah ia mengajak putri satu-satunya itu pindah ke kota ini.
"Terima kasih sayang, kamu sudah mau menemani ayah di saat susah seperti ini." Ungkap Umar sedih.
"Ayah, sudahlah. Semua ini takdir, kita harus menerima dengan lapang dada. Asalkan bersama dengan ayah, Insya Allah Aisyah bisa." Balas Aisyah menguatkan.
Umar mengangguk, lagi-lagi putrinya itu jauh lebih bijak dari dirinya. Ia benar-benar malu, karna tidak menerima takdir dengan ikhlas.
"Masya Allah, maafkan ayah sayang. Ayah lagi-lagi mengeluh, astagfirullah." Ucap Umar menyesal.
"Tidak apa ayah, ya sudah lebih baik kita habiskan dulu makanannya ya?" Pinta Aisyah pada sang ayah.
Umar mengangguk, lalu mereka pun melanjutkan acara makan malam mereka yang tertunda sebelumnya.
Hingga akhirnya makanan itu habis, Aisyah langsung merapikan alat makan yang kotor. Sedangkan sang ayah langsung masuk kembali ke kamarnya, ia harus istirahat untuk kembali berkerja besok.
Aisyah menatap pintu kamar sang ayah sedih, ia tau betul bagaimana keadaan sang ayah saat ini. Ayah nya itu masih tertekan karna fitnah keji itu, tapi Aisyah sangat yakin jika sang ayah tidak mungkin melakukan hal itu.