Unduh Aplikasi
5.49% Elbara : Melts The Coldest Heart / Chapter 20: Alvira Pingsan, El Murka

Bab 20: Alvira Pingsan, El Murka

"Lah mau kemana lo?"

Reza yang sedang makan kripik singkong pedas itu pun menatap El dengan heran. Pasalnya, sedari tadi cowok itu bertingkah tidak jelas. Ya walaupun wajah datarnya tidak berubah, tapi sebagai sahabat cowok itu ya Reza merasakan perbedaan dari raut wajah El.

"Gak." ucap El sambil meminum jus jeruknya, wajahnya terlihat tenang dan tetap datar tapi tidak dengan dengan sorotan matanya.

Mario yang sedang melahap satu mangkuk bakso dengan sambal 3 sendok itu pun menarik cairan bening yang terasa ingin keluar dari hidungnya, sangat sumringah kalau makan bakso pakai sambal tuh rasanya nikmat. "Ya elah paling nih ya El tuh lagi mikirin ucapan si Bian." ucapnya, setelah itu mengambil tisu untuk membersihkan hidung. Percayalah, di antara mereka yang paling ribet sendiri itu adalah Mario karena banyak gerak.

El menaikkan sebelah alisnya. "Sok tau." ucapnya, selalu saja singkat, padat, dan jelas.

"Iya lo sok tau." ucap Reza seakan-akan mendukung ucapan El untuk Mario. Jelas saja kalau saat ini Mario merenggut tidak suka.

"Dih apa-apaan lo berdua. Mau gue sumpel mulut lo pakai bakso yang super pedes?" ucap Mario dengan mulut yang penuh dengan kunyahan bakso, belum selesai menelan apa yang berada di dalam mulut namun sudah mengeluarkan suara untuk berbicara.

"Cemen lo, baru tiga sendok aja kepedesan." cibir Reza sambil terkekeh meledek. Ia menatap mangkuk bakso Mario yang warnanya tak terlalu merah namun kata cowok itu rasanya 'super pedes'.

"Lah gue nih ya termasuk rekor makan sambel tiga sendok, biasanya seujung sendok doang." Mario membela dirinya sendiri, ia merasa bangga karena bisa makan pedas lebih dari standar kebutuhannya.

Reza tersenyum sumringah, menatap Mario dengan menahan tawa. "Nah itu namanya cemen." ucapnya.

"Lebih cemen mana sama lo yang gak bisa-bisa dapetin hati Alvira?" tanya Mario dengan kunyahan bakso yang sudah masuk melewati tenggorokan dan berakhir pada sistem pencernaan.

Savage. Reza menelan salivanya dengan kasar. Ia seperti ingin memakan Mario saat ini juga. Sudah mati-matian dirinya melupakan cewek yang bernotabene sebagai adiknya El, namun Mario dengan wajah tanpa dosa mengingatkan dirinya kembali mengenai betapa pahit perasaan cintanya yang mungkin saja tak akan pernah memiliki balasan setimpal.

"Males gue sama lo ah."

Mario tertawa terbahak-bahak. "Dih, ambekan kaya bocah SD lo." ucapnya sambil mengelap keringat yang memenuhi pelipisnya menggunakan tisu yang memang selalu disediakan pada masing-masing meja kantin. Makan bakso atau mandi keringat, ya?

El menaikkan sebelah alisnya melihat tingkah absurd yang di tunjukkan oleh Mario dan Reza. "Cabut ah gue." ucapnya sambil beranjak dari duduk.

"Loh El mau kemana?" Tanya Reza.

"El, ini makanan lo buat gue ya, masih laper nih gue. Mana belum di makan, ya ampun rezeki anak shaleh." ucap Mario sambil menarik semangkuk mie ayam yang tadi di pesan Reza untuk El.

"Eh mau juga dong, bagi-bagi." ucap Reza sambil menarik mangkuk mie ayam itu ke tengah-tengah meja antara dirinya dan juga Mario.

Mario menepuk punggung tangan Reza yang tak sengaja mengenai tangannya. "Tangan lo bau kaya Priska nanti tangan gue alergi, gak usah pegang-pegang."

"Sialan lo nyamain gue sama Priska."

Beralih dari percakapan tidak jelas itu, El sudah keluar dari area kantin. Kakinya berjalan menuju ke kelas Alvira untuk melihat keadaan sang adik, selalu saja dirinya seperti patroli untuk mengetahui apa yang saat ini sedang di lakukan oleh cewek kesayangannya dari kecil.

Mendekati kelas sebelas yang Alvira tempati, cewek itu kini sedang duduk manis di kursi panjang depan kelas yang memang telah di sediakan oleh pihak sekolah.

"Alvira." Panggil El begitu melihat adik kesayangannya yang sama sekali tidak mengalihkan pandangannya ke lain arah, menatap lurus ke arah lapangan dengan binar kagum yang tercetak jelas di kedua bola matanya.

Merasa penasaran dengan apa yang di tatap Alvira, akhirnya ia mengikuti arah pandang adiknya. Ternyata, di tengah lapangan ada Bian yang sedang bermain basket bersama teman-temannya sambil bersenda gurau meramaikan suasana.

"Ra." Panggil El sekali lagi. Kali ini ia menarik pelan dagu Alvira supaya menatap ke arahnya, habisnya ia tak suka kalau di cuekin jadi berusaha untuk mengambil perhatian objek yang di panggilnya.

Alvira yang memang sedari tadi sangat serius pun akhirnya tersentak kaget, tiba-tiba melihat kehadiran sang Kakak yang sudah berada di sisinya. "Eh Kak Bara? sejak kapan ada disini sih? Kenapa gak manggil Alvira sih?" tanyanya sambil menurunkan tangan cowok tersebut dari dagunya.

"Lo tuli." ucap El dengan kesal.

"Yah jangan marah dong, abisnya Alvira lagi liatin Bian main basket, kece banget Kak!"

"Move on, Ra."

"Ya gak bisa gitu dong, masa tiba-tiba move on cemen banget. Bagi Alvira, Bian masih dan akan tetap selalu ada di hati aku. Gimana dia ke aku ya itu kan urusan dia, yang penting Alvira masih jadi Alvira walaupun status kita udah beda."

"Lo nanti sakit."

"Ya gampang, tinggal minum obat."

"Bukan it--"

"Kak Bara berisik ih, ganggu aja."

El menghembuskan napasnya, ia bersikap seperti ini hanya karena tidak ingin Alvira merasakan sakit hati. Sudah jelas Bian tidak menginginkan kehadirannya lagi, tapi Alvira dengan sejuta harapan masih mencintai cowok itu tulus dari hatinya. Terdengar sangat menyakitkan memang, seseorang yang ia cintai ternyata memilih tutup telinga dan tidak pernah memberinya peluang untuk masuk ke hati cowok itu.

"Tapi kan--"

Dug

"Awsh.."

"Alvira!"

Belum sempat El meneruskan ucapannya, sebuah bola basket dengan cepat menghantam kepala Alvira membuat cewek itu kini terjatuh pingsan di buatnya. Dan sial di saat bola melambung, ia sedang menatap Alvira dengan serius sehingga tak mengetahui kalau ada bola yang terarah dan mengenai sang adik.

Dengan cepat, El mengangkat tubuh adiknya ala bridal style lalu arah matanya menatap tajam ke arah lapangan. Suasana yang tadinya ricuh karena bersorak menyemangati cowok-cowok yang bermain basket pun menjadi hening. Ia memanggil seorang cowok yang baru saja keluar dari kelas Alvira, lalu menyuruh cowok itu untuk segera membawa adiknya ke ruang UKS.

Setelah itu, ia berjalan memasuki lapangan bersamaan dengan bola basket yang sudah di peluknya dengan tangan kanan. Ia menatap semua wajah yang tadi bermain basket, termasuk Bian.

"Siapa yang lempar bolanya?" tanya El yang terdengar jauh lebih dingin daripada biasanya, tatapan yang dapat di samakan dengan elang itu terlihat jelas membingkai di permukaan wajahnya.

Mereka semua bergeming, begitu juga dengan Bian. Cowok itu masih terkejut melihat Alvira yang pingsan akibat dari bola basket yang ia mainkan. Karena memang kencang karena berniat ingin mengoper bola, tahu sendiri bagaimana tenaga seorang cowok apalagi bola basket yang memang memiliki bobot berat.

Suasana menjadi sangat hening.

"Gue yang lempar, sorry." ucap Bian sambil berjalan ke arah El, dan berdiri tepat di hadapan cowok itu.

El tersenyum miring, lalu berdecih. "Pengecut lo." ucapnya sambil melempar asal bola basket yang tadi ia genggam. Tangannya mulai menarik kerah baju Bian. "Bajingan."

Semuanya diam, tidak ada yang berani melerai. Sudah kali ke lima Bian di perlakukan seperti ini oleh El hanya karena hal yang menyangkut Alvira. Karena siapapun yang berani menyakiti adiknya itu, maka mereka akan melihat seberapa tidak terkendalinya El.

"Sorry gue gak sengaja, tadi meleset."

"Iya sama kayak otak lo yang meleset."

Bugh

Satu pukulan berhasil mendarat di rahang kanan Bian, membuat cowok itu langsung tersungkur di lapangan. Tidak puas hanya dengan satu pukulan, El menghampiri Bian lalu memukul cowok itu berkali-kali. Bian pun tidak melawan, lagipula ini memang salahnya dan ia pantas menerima resikonya.

Bugh

Bugh

Bugh

Mengenai rahang pipi sebelah kiri dan kanan secara bergantian.

Bugh

El menendang tubuh Bian sebagai pengakhiran dari luapan emosinya. Ia berdecih lalu menatap tubuh Bian yang sudah terkulai lemas sambil memegangi perutnya, padahal cowok lemah tapi bisa-bisanya memberikan luka dalam pada Alvira yang sampai sekarang permanen melekat di dalam pikiran cewek itu.

"Sekali brengsek, pasti selamanya brengsek." ucap El. Berkat dirinya, kini atmosfer di sekitar lapangan terasa sangat panas dan menegangkan bahkan mencekam. Lagipula, siapa memangnya yang berani bermain-main dengan El kecuali Bian? jawabannya adalah tidak ada yang berani.

"Jangan ngerasa jadi cowok paling keren kalau buat jaga satu orang cewek aja lo gak becus. Lo bukan sekedar cowok brengsek, tapi lo itu lebih dari kata sampah sekaligus cowok cupu yang mutusin hubungan cuma karena perihal salah paham. Gue benci lo karena lo pantes di benci, lo mantan sahabat yang paling pantes gue jauhi."

Selama El bersekolah disini, itu mungkin kalimat terpanjang yang di ucapkan olehnya. Ia berdecih, dengan wajah yang kembali datar mulai berjalan meninggalkan lapangan untuk pergi ke ruang UKS, tempat dimana kini Alvira sang adik kesayangannya berada.

Ia mempercepat langkah kakinya, lalu mulai memasuki UKS dan melihat cowok yang tadi ia suruh masih berdiri tepat di samping brankar yang ditempati Alvira.

"Thanks, lo boleh pergi." ucap El.

Cowok itu mengangguk singkat, bukan apa-apa, ia merasa takut dengan El walaupun cowok itu tidak bertindak apapun pada dirinya. Yang cowok takut dengan El, tapi yang cewek menggilai El.

El menarik sebuah kursi untuk di duduki olehnya. Ia menatap wajah Alvira, untung saja tidak ada luka membekas karena tadi bola basket mengenai samping kepala adiknya itu.

"Ra, bangun."

Napas El naik turun, ia tidak akan pernah terima jika melihat keadaan Alvira seperti ini. Ia mengelus puncak kepala Alvira, lalu mendekatkan dirinya untuk mencium kening cewek itu.

"Bian brengsek."

Ting

El menghembuskan napas, lalu merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya. Terdapat satu notifikasi dari Nusa.

| ruang pesan |

Nusa

Bara, nanti pulang sekolah bisa tolong mintain tas Nusa di Bian gak? Terus nanti tolong juga anterin ke rumah aku. Mau ya? Tolong... Nanti aku jelasin semuanya.

Jelasin? Memangnya El sepenasaran itu tentang apa yang terjadi dengan Nusa?

Elbara

Ya

| ruang pesan berakhir |

Entah kenapa ia justru mengetik balasan yang menyetujui ucapan Nusa. Ah sepertinya ia sedikit tertular virus kepo yang di sebarkan oleh cewek itu.

...

Next chapter


Load failed, please RETRY

Hadiah

Hadiah -- Hadiah diterima

    Status Power Mingguan

    Rank -- Peringkat Power
    Stone -- Power stone

    Membuka kunci kumpulan bab

    Indeks

    Opsi Tampilan

    Latar Belakang

    Font

    Ukuran

    Komentar pada bab

    Tulis ulasan Status Membaca: C20
    Gagal mengirim. Silakan coba lagi
    • Kualitas penulisan
    • Stabilitas Pembaruan
    • Pengembangan Cerita
    • Desain Karakter
    • Latar Belakang Dunia

    Skor total 0.0

    Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
    Pilih Power Stone
    Rank NO.-- Peringkat Power
    Stone -- Batu Daya
    Laporkan konten yang tidak pantas
    Tip kesalahan

    Laporkan penyalahgunaan

    Komentar paragraf

    Masuk